TintaSiyasi.com -- Tahun ini, Hari Anak Nasional (HAN) 2022 mengambil tema, yaitu 'Anak Terlindungi, Indonesia Maju'. Saat peringatan HAN seremoni perhatian, dukungan dan perlindungan diberikan secara simbolik. Sedangkan kebijakan yang ada justru secara masif total terhadap anak. Anak menjadi korban langsung maupun tidak langsung sistem sekuler kapitalis. Anak menjadi korban kemiskinan sistemik, korban bullying, korban Kekerasan seksual, dan lain-lain (Bobo.id, 17/07/2022).
Anak adalah permata keluarga. Keberadaan seorang anak di tengah keluarga mampu menghadirkan kehangatan dan keceriaan. Dalam ruang yang lebih luas, anak adalah generasi harapan bangsa. Di tangan merekalah terletak estafet keberlangsungan satu peradaban. Atas dasar ini, negara berperan menjamin seluruh hak-hak anak. Akan tetapi, apa jadinya jika negara gagal menjamin itu?
Berdasarkan data mengenai jumlah korban kekerasan terhadap anak, terlihat tren peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Merujuk data 2019, kasus kekerasan pada anak sebanyak 12.285, sedangkan pada 2020 menjadi 15.972.
Pada 15 Juli lalu, Presiden Jokowi menerbitkan Perpres 101/2022 Tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak. Ada tujuh strategi yang termaktub dalam peraturan ini.
Pertama, penyediaan kebijakan, pelaksanaan regulasi, dan penegakan hukum. Kedua, penguatan norma dan nilai anti kekerasan. Ketiga, penciptaan lingkungan yang aman dari kekerasan. Keempat, peningkatan kualitas pengasuhan dan ketersediaan dukungan bagi orang tua/pengasuh. Kelima, pemberdayaan ekonomi keluarga renta. Keenam. ketersediaan dan akses layanan terintegrasi. Ketujuh, pendidikan kecakapan hidup untuk ketahanan diri anak. Sayangnya, langkah tersebut belum menyentuh ranah sistem.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sendiri melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak sepanjang Januari 2022, terdapat 797 anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Jumlah tersebut setara 9,13% total anak korban kekerasan seksual pada 2021 lalu yang mencapai 8.730 kasus.
Hati siapa yang tidak miris melihat kasus demi kasus pelecehan seksual yang anak alami? Bahkan, dalam beberapa kasus, orang terdekat justru menjadi predator seksual pada anak.
Ekonomi yang serba sulit membuat anak harus turut menanggung beban. Tidak sedikit anak harus bekerja membantu perekonomian keluarga. Konsekuensinya, sebagian dari mereka memilih putus sekolah lalu bekerja. Apalagi biaya pendidikan pun kian meningkat. Saat bekerja inilah, anak-anak berada pada kondisi yang rentan terhadap kekerasan seksual.
Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI) menilai bahwa faktor ekonomi merupakan pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang makin meningkat, kemarahan terhadap pasangan, dan ketakberdayaan mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak.
Rasanya, begitu mudah kita temukan kasus kekerasan pada anak karena tekanan hidup di tengah keluarga. Saat memilih hidup di jalanan pun mereka harus bertaruh dengan preman jalanan dan pelaku kejahatan seksual, sungguh menyedihkan!
Meski negara menginisiasi peringatan HAN, kesannya sebatas seremonial belaka. Ini karena yang bertanggung jawab dalam menciptakan atmosfer yang tidak sehat bagi anak justru adalah negara. Sejumlah masalah yang harus anak hadapi, secara langsung merupakan dampak dari kebijakan negara.
Kebijakan tidak populis yang negara rumuskan berdampak langsung pada kehidupan sang anak. Kenaikan harga kebutuhan pokok berimbas pada tidak stabilnya ekonomi keluarga. Konsekuensinya, anak harus putus sekolah dan memilih bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
Kekerasan yang kerap anak alami di lingkungan keluarga juga banyak karena latar belakang tekanan hidup. Tidak sedikit anak yang harus merelakan masa kecilnya untuk bermain, berganti dengan dunia kerja yang tidak manusiawi. Ancaman kekerasan fisik berkelindan dengan kejahatan seksual dari para predator.
Atas dasar ini, kita layak bertanya, apakah tema peringatan HAN tahun ini sekadar slogan tanpa langkah strategis untuk melindungi anak? Jika negara benar-benar ingin mewujudkan perlindungan terhadap anak, selayaknya negara menempuh langkah strategis dan sistemis untuk melindung anak.
Islam memandang bahwa secara fitrah, anak berhak memperoleh perlindungan dan kasih sayang. Oleh karena itu, keluarga berperan menciptakan kehangatan, mendampingi tumbuh kembang anak, dan mengenalkan konsep dasar keimanan sehingga anak tumbuh sebagai hamba Allah yang taat.
Di sisi lain, masyarakat berperan mendukung perkembangan anak dengan bekerja sama menciptakan sistem sosial yang sehat dan ramah anak. Islam mengajarkan bagaimana menjaga hak antara sesama muslim, tidak saling mengejek, saling menjaga hak, juga menumbuhkan karakter untuk saling membantu (ta’awun). Orang tua tentu berperan besar mengenalkan sistem sosial islami kepada anak.
Sementara itu, negara berkewajiban untuk mengadopsi berbagai kebijakan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan rakyat. Negara wajib memenuhi kebutuhan mendasar rakyat dan memastikan terpenuhinya kebutuhan mereka secara utuh dan menyeluruh, individu per individu.
Negara juga wajib memperhatikan aspek sosial masyarakat, ekonomi, pergaulan, pendidikan, dan seluruh aspek kehidupan lainnya. Negara bertugas memberi jaminan keamanan, perlindungan terhadap harta, serta memastikan keselamatan jiwa. Ini semua sebagai langkah nyata melindungi rakyatnya.
Negara secara langsung memberikan perlindungan pada institusi keluarga sehingga anak terlindungi dan haknya sebagai anak pun terpenuhi. Dengan demikian, cita-cita untuk melindungi anak harus bersifat sistemis. Sebagai aset bangsa, dalam Islam pun segala aspek kehidupan anak dan yang lain pun di tuntun dengan syariat Islam, harus ada langkah strategis untuk melindungi anak agar kelak mampu menjadi generasi penerus peradaban.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Ai Sopiah
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments