TintaSiyasi.com -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui bahwa utang Indonesia terbilang besar. Namun, menurutnya Indonesia mampu membayar utang tersebut.
"Orang bilang kita ini utangnya banyak, betul Rp 7.000 triliun. Tapi kita bandingkan itu hanya 41 persen dari produk domestik bruto (PDB) kita," ujar Luhut dalam acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) Tahun 2022, di Sentul International Convention Center di Bogor, sebagaimana disiarkan YouTube PPAD TNI, Jumat (5/8/2022).
Luhut pun menyebutkan, tingkat utang pemerintah Indonesia saat ini jauh lebih aman dibandingkan negara-negara lain di dunia. Selain kemampuan mengatasi utang, Luhut juga mengungkapkan kemampuan Indonesia mempertahankan nilai tukar rupiah agar tidak melemah (Kompas.com, 06/08/22).
Saat ini Indonesia dan negara berkembang lainnya diproyeksikan mengalami peningkatan utang. Sebab sistem ekonomi kapitalis yang diadopsi negeri ini menjadikan utang sebagai skema rutin pembangunan ekonominya. Dalam hal ini dosen ekonomi politik IPB Dr Muhammad Findi (2011) dalam slide mata kuliah ekonomi politik utang menyebutnya sebagai "jebakan utang". Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya terjebak dalam jerat utang yang membuat mereka senantiasa bergantung dengan negara pemberi utang (negara kreditur). Dengan bunga utang yang semakin tinggi membuat negara penerima utang (negara debitur) akan kesulitan untuk mengembalikannya. Akibatnya sejumlah kebijakan negara dapat disetir oleh negara pemberi utang.
Negara-negara kapitalis menggunakan jebakan utang untuk melakukan penjajahan secara ekonomi dan mengintervensi negara penerima utang. Negara penerima utang akan dijadikan sapi perahan yang diambil dan disedot segala harta dan kekayaannya oleh negara-negara pemberi utang. Oleh sebab itu menggunakan utang luar negeri untuk mendanai proyek negara bisa membahayakan eksistensi suatu negara. Karena dalam setiap pemberian utang, negara-negara kreditur selalu memaksakan persyaratan yang memberatkan, bahkan kadang merugikan. Mereka akan mendesak agar dalam perumusan setiap kebijakan ekonomi negara debitur harus sesuai dengan kepentingan negara-negara kreditur. Akibatnya kedaulatan dalam pengelolaan ekonomi akan terampas.
Selain itu, utang jangka pendek yang diberikan oleh negara-negara kreditur bisa menghancurkan mata uang negara debitur dengan membuat kekacauan moneter. Sedangkan utang jangka panjang dapat menyebabkan kekacauan APBN, sehingga negara akan kehilangan aset yang menjadi jaminan utang negara.
Lebih dari itu, utang akan membebani rakyat. Pasalnya jika utang semakin tinggi jumlah kas negara yang tersedot untuk membayar cicilan utang dan bunganya juga makin besar. Sehingga kapasitas APBN untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat makin kecil. Pemerintah tentu akan melakukan penekanan pengeluaran dengan mengurangi subsidi untuk rakyat dan penambahan pemasukan yaitu dengan menaikkan pajak. Alhasil rakyatlah yang akhirnya menjadi semakin susah.
Kondisi ini sungguh ironis. Mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki SDA yang berlimpah. Memiliki cadangan minyak yang siap diproduksi sebanyak 8 miliar barel. Cadangan gas yang tersedia sebanyak 384,7 TSCF (Trillion Standard Cubic Feet) dengan produksi 2,95 TSCF per tahun. Jumlah cadangan batu bara tersedia 58 miliar ton per tahun. Ditambah lagi dengan kekayaan hutan dan hasil lautnya. Tapi kekayaan yang berlimpah ini tidak mampu menambah pendapatan negara. Kemana hasil pengelolaannya selama ini?
Harusnya dari hasil pengelolaan SDA yang berlimpah, Indonesia mampu memiliki pendapatan negara yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun faktanya tidak demikian. Pemasukan negara dari SDA di APBN justru porsinya lebih sedikit bila dibandingkan pemasukan dari pajak. Alhasil defisit anggaran belanja negara pasti selalu terjadi. Untuk menutupinya maka negara kembali berutang.
Namun ada yang beranggapan, tidak masalah utang makin besar selama masih bisa bayar. Ada juga anggapan bahwa utang masih aman karena rasionya terhadap PDB masih kecil. Kisaran 30-an persen. Mereka beralasan, toh banyak negara yang rasionya di atas 100% masih aman-aman saja.
Padahal menurut ekonom Indef, Bhima Yudhistira, risiko utang tidak bisa dilihat hanya dari rasio utang terhadap PDB. “Metode ini banyak diragukan, terutama pasca krisis utang di Eropa tahun 2011 lalu,” jelas dia. Negara seperti Spanyol dan Irlandia akhirnya harus ditalangi oleh IMF. Padahal rasio utangnya terbilang masih dalam batas aman dibandingkan dengan Yunani (Koran-jakarta.com, 27/5/2017).
Kondisi ini terjadi akibat dari sistem demokrasi kapitalis yang diterapkan oleh penguasa negeri ini. Dalam sistem demokrasi kapitalis SDA dijadikan sebagai objek untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengindahkan kesejahteraan rakyat. Negara hanya berperan sebagai regulator atau fasilitator yang siap mengijinkan siapa saja yang memiliki modal untuk mengelolanya. Sehingga pengelolaan seperti ini hanya akan menguntungkan para pemilik modal, sedangkan negara akan kehilangan sumber pendapatannya. Penerapan sistem demokrasi kapitalis yang rusak ini akan terus membawa kesengsaraan bagi rakyat dan jauh dari keberkahan.
Selain bisa membangkrutkanan negeri ini, tentu seluruh utang itu disertai bunga alias riba yang diharamkan oleh Islam. Justru di situlah masalah terbesarnya. Pasalnya, utang disertai riba itu pasti akan memunculkan bahaya terbesar: datangnya azab Allah SWT. Rasul SAW bersabda:
« إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ، فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ »
Jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).
Selain itu, perekonomian yang dibangun di atas pondasi riba tidak akan pernah stabil. Akan terus goyah bahkan terjatuh dalam krisis secara berulang. Akibatnya, kesejahteraan dan kemakmuran yang merata untuk rakyat serta kehidupan yang tentram akan terus jauh dari capaian.
Alhasil, utang luar negeri itu harus segera diakhiri. Perekonomian juga harus segera dijauhkan dari riba. Perekonomian harus segera diatur sesuai syariah Islam. Dengan pengaturan yang demikian, negara tidak akan terus menerus dibebani utang luar negeri berikut bunganya. Rakyat pun tidak terus menerus dirugikan dengan berbagai macam pungutan pajak karena hasil dari sumber daya alam lebih dari cukup untuk membiayai pengurusan rakyat. Bahkan, akan sanggup memakmurkan dan mensejahterakan mereka.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Eulis Nurhayati
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments