TintaSiyasi.com -- Tetiba seruan kembalikan seragam seperti dulu (tanpa hijab) menjadi trending di twitter. Seiring siswi SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul DIY, mengaku dipaksa berhijab oleh guru BK sehingga diduga mengalami depresi. Peristiwa tersebut terjadi pada Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (KumparanNews, 31/7/2022).
Menanggapi berita tersebut, Kepala Disdikpora DIY, Didik Wardaya mengatakan, sekolah yang diselenggarakan pemerintah tidak boleh melakukan pemaksaan, berhijab itu atas kesadaran. Sekolah harus mencerminkan kebhinekaan. Hal tersebut merujuk pada Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Kepala ORI DIY Budhi Masturi akan menelusuri peristiwa tersebut. Dia menilai pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah negeri yang bukan berbasis agama bisa masuk kategori perundungan. Buntut kasus ini, Budhi Masturi mendesak Disdikpora DIY mengevaluasi layanan pendidikan di seluruh SMA Negeri, yang merupakan tanggung jawab Disdikpora tingkat provinsi.
Senada dengan Budhi, Didik menegaskan jika nanti terbukti ada pelanggaran atau pemaksaan agar mengenakan hijab maka akan diterapkan pasal tentang perundungan (detik.com, 29/7/2022). Bila sekolah tersebut terbukti bersalah, maka Dinas Pendidikan akan menggunakan Peraturan Pemerintah Nomer 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sanksi terhadap pelanggar aturan itu kata dia disesuaikan dengan tingkat kesalahannya. Gubernur DIY seolah tidak mau kalah, mengambil tindakan menonaktifkan kepala sekolah beserta tiga guru di SMA tersebut.
Paradigma Sistem Pendidikan Sekuler
Isu seragam hijab seolah tak henti, senantiasa berulang menyeruak di ruang publik. Setahun silam, kasus serupa menimpa salah satu siswi di Padang. Meski aturan seragam hijab bertujuan baik, toh regulasi ini berbenturan dengan cara pandang sekuler liberal. Cara pandang ini sering dipergunakan untuk menghakimi sesuatu. Padahal sejatinya pemikiran ini hanya menjauhkan umat dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Bahkan tak jarang mengobok-obok isi Al-Qur'an dan hadis demi kepentingan mereka.
Buntutnya, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 Menteri yang berisi Penggunaan Pakaian Seragam Sekolah dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah. SKB pada dasarnya untuk mengembalikan esensi seragam sekolah sebagai pilhan guru atau siswa tanpa paksaan. Meski akhirnya regulasi SKB 3 Menteri ini kandas di MA, tapi tidak menyurutkan pengusung kebebasan untuk memperjuangkannya.
Pembatalan SKB ini disayangkan oleh KPAI. Menurutnya, SKB 3 Menteri ini telah sesuai dengan HAM dan sejalan dengan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan SKB menjamin bahwa pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam serta atribut dengan kekhususan agama (voaindonesia.com, 8/5/2021).
Psikolog Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Ifa Hanifah Misbach, mengatakan pencabutan SKB 3 Menteri terkait busana di lingkungan sekolah, merupakan pencederaan terhadap hak individu yang bebas mengekspresikan diri sesuai ketentuan Undang-Undang (voaindonesia.com, 6/6/2021).
Tak bisa dipungkiri, sistem sekuler liberal telah mengkooptasi negeri ini. Sistem yang menepiskan agama dari kehidupan, di mana kebebasan individu sangat diagungkan. Atas nama kebebasan dan HAM, seseorang bebas berekspresi, termasuk cara berpakaian, sekalipun itu bertentangan dengan syariat Islam. Maka wajar lahir berbagai seruan kebebasan dalam berpakaian, meski mengumbar aurat. Bahkan seruan "Kembalikan Seragam Seperti Dulu (tanpa hijab)" menjadi trending di Twitter.
Inilah buah penerapan sistem sekuler liberal di negeri yang mayoritas Muslim ini. Cara pandang ideologi ini sangat berpengaruh terhadap kebijakan pendidikan yang diterapkan. Keberadaan penguasa justru menjadi penjaga dan pelindung kebebasan individu. Berpakaian merupakan hak individu untuk berekspresi, negara tidak boleh campur tangan. Bahkan sekolah yang merupakan sarana mewujudkan manusia beriman dan bertakwa sebagaimana tujuan pendidikan nasional pun tak berdaya. Lembaga pendidikan yang bertugas mencetak generasi yang baik bagi masyarakat tidak berfungsi secara optimal.
Berhijab merupakan kewajiban bagi Muslimah yang sudah baligh. Sudah seharusnya tenaga pendidik mengedukasi peserta didik agar taat terhadap ajaran agamanya, termasuk dalam berpakaian, justru menjadi korban. Sungguh ironi, ketika mereka melaksanakan tugasnya mengedukasi, melaksanakan amar makruf nahi mungkar justru diduga melakukan perundungan, dituduh mengajarkan intoleransi sehingga layak diberi sanksi.
Lebih mirisnya lagi, sistem pendidikan sekuler hanya mengutamakan materi, abai menanamkan keimanan dan kesadaran keterikatan anak didik terhadap syariat Tuhannya. Wajar, muncul generasi yang menjunjung tinggi kebebasan. Abai bahkan terpaksa dalam melaksanakan perintah agamanya. Tenggelam dalam arus hedonisme, materialisme, ragu terhadap ajaran agamanya bahkan bangga menentang aturan Tuhan. Selama sistem sekuler diterapkan maka syariat Islam akan senantiasa diobok-obok, bahkan dijadikan momok oleh penguasa maupun media sekuler. Padahal Islam datang sebagai solusi atas permasalahan yang kita hadapi. Lantas, masihkah sistem yang rusak dan merusak ini kita pertahankan?
Sistem Islam Mencetak Generasi Takwa
Sistem Islam mewajibkan negara menyelenggarakan sistem pendidikan berlandaskan akidah Islam. Pendidikan dalam Islam bertujuan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam, baik aqliyah (pola pikir yang islami) maupun nafsiyah-nya (pola sikap islami). Untuk membentuk kepribadian Islam sesuai tujuan pendidikan Islam maka negara akan menetapkan aturan untuk membangun keimanan berkesinabungan pada anak didik dan kesadaran keterikatan terhadap hukum syarak dengan pembiasaan dalam keseharian. Sehingga lahir anak didik yang penuh kesadaran melaksanakan perintah Allah bukan karena keterpaksaan.
Berhijab, yakni mengenakan kerudung dan jilbab di kehidupan umum merupakan pola nafsiyah seorang Muslimah. Dia akan mengenakannya dengan kesadaran sebagai wujud keimanannya kepada Sang Khaliq bukan karena terpaksa. Iman mengharuskan seorang hamba tunduk dan taat pada setiap perintah dan larangan Allah SWT.
Kondisi tersebut hanya bisa terwujud dengan menerapkan sistem pendidikan Islam yang kurikulumnya berbasis akidah Islam. Setiap pelajaran dan metodologinya dibuat selaras dengan asas itu. Bisa dipastikan, pelajaran untuk memahami tsaqafah Islam akan mendapatkan porsi yang utama dan disesuaikan waktunya bagi ilmu-ilmu lainnya.
Penerapan Islam kaffah akan melahirkan tiga pilar yang kokoh, yakni individu-individu yang kuat akidah, bersegera melaksanakan perintah Allah SWT. Didukung dengan masyarakat bertakwa yang peduli beramar makruf nahi mungkar, sehingga pembentukan kepribadian Islam pada generasi akan lebih mudah dam alami. Karena umat memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama yakni syariat Islam. Kebahagiaan adalah ketika mendapatkan ridha Allah SWT. Hidup mengejar keberkahan dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Masyarakat tak segan-segan akan menasehati bila ada yang melanggar syariat, termasuk ketika ada yang tidak berhijab.
Pilar terakhir adalah negara sebagai penjaga dan pelindung warganya. Negara menerapkan sistem pendidikan berdasarkan akidah Islam, sekaligus menjaga agar masyarakat tidak terpengaruh pada ide-ide sekuler liberal dan lainnya yang akan merusak dan menghancurkan umat. Negara juga menerapkan sistem sanksi berupa takzir bagi warga negara yang tidak mau berhijab. Sanksi bertujuan sebagai penebus dosa bagi pelaku dan pencegah agar orang lain tidak ikut bermaksiat. Itulah penjagaan yang sempurna di dalam Islam.
Dengan penjagaan seperti itu, maka lahir generasi yang berkepribadian Islam yang sangat tinggi sebagaimana generasi terdahulu pada masa keemasan dan kemuliaan Islam. Sejarah telah membuktikannya.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Ida Nurchayati
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments