TintaSiyasi.com -- Kampus seharusnya menjadi kawah candradimuka, tempat lahirnya cendekiawan, orang-orang intelek, ilmuwan dan pencetak generasi cemerlang penerus bangsa di masa mendatang. Namun, sungguh memprihatinkan kampus malah dijadikan tempat korupsi. Bagaimana nasib pendidikan di negeri ini jika civitas academicanya malah tersandung kasus korupsi?
Dikutip dari TribuneJabar.id, (21/08/2022). Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila) Profesor Dr. Karomani ditangkap Tim KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Jum’at (19/08/2022). Operasi senyap yang dilakukan KPK sebagai tindak lanjut informasi masyarakat terkait dugaan suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di Universitas Negeri Lampung tersebut.
Rektor Unila Profesor Dr. Karomani dan beberapa pejabat kampus lainnya, ditangkap beserta barang bukti kartu ATM dan buku tabungan sebesar Rp1,8 miliar. Diduga suap yang diterima Karomani hingga lebih dari Rp5 miliar, karena meluluskan calon mahasiswa baru yang mengikuti Seleksi Mandiri Masuk Unila (Simanila). KPK menduga, Karomani memasang tarif Rp100 juta hingga Rp350 juta untuk meluluskan calon mahasiswa yang mendaftar melalui jalur mandiri.
Profesor Dr. Karomani merupakan salah satu rektor yang paling lantang memerangi radikalisme. Menurut Karomani, erguruan tinggi sebagai tempat lahirnya para intelektual harus steril dan terbebas dari terpaparnya paham radikalisme. Menjadi pertanyaan besar, mengapa orang-orang yang lantang memerangi radikalisme justru perilakunya merugikan masyarakat. Ada apa dengan mereka? Apakah ini hasil revolusi mental yang digembar-gemborkan?
Dunia pendidikan kembali tercoreng, kampus yang seharusnya menjadi kawah candradimuka, pencetak cendekiawan, ilmuwan dan penerus generasi cemerlang untuk masa mendatang malah menjadi tempat praktik korupsi. Civitas academika yang seharusnya memberi teladan, berakhlak mulia, justru memberi contoh buruk bagi pendidikan. Profil seperti apa yang akan dibentuk pada mahasiswa jika para pendidiknya saja begitu?
Kasus korupsi yang dilakukan pejabat negeri ini sudah sering terjadi, tetapi kasus korupsi yang dilakukan para pendidik tentu sangat memprihatinkan. Tentu bukan karena aspek moral pribadinya saja, melainkan ada persoalan sistemis di negeri ini yang menjadikan kasus korupsi menjadi penyakit laten yang sulit diberantas. Korupsi yang terjadi di negeri ini sudah seperti fenomena gunung es.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, membeberkan data perkara dan terdakwa korupsi dari 2018 hingga 2022. Pada 2018 terdapat 1.053 perkara dan 1162 terdakwa. Pada 2019 terdapat 1.019 perkara dan 1.125 terdakwa. Pada 2020 terdapat 1.218 perkara kasus dan 1.298 terdakwa. Pada 2021 terdapat 1.282 jumlah perkara korupsi dengan total terdakwa 1.404 orang (Merdeka.com, 22/05/2022).
Sungguh miris. Tentu fenomena kasus korupsi terjadi bukan hanya karena mental yang bobrok, tetapi sudah terstruktur, dan sistemis. Kasus pelecehan seksual, seks bebas, LGBT, ayam kampus, melangitnya biaya kuliah, hingga kasus suap calon mahasiswa baru menjadi momok dalam dunia pendidikan saat ini. Berbagai problem yang hingga kini belum terselesaikan menambah panjang potret buram pendidikan tinggi di negeri ini.
Semua karena sistem sekuler kapitalis yang rusak dan merusak yang diadopsi negara. Menjadi rahasia umum di sistem sekuler, setiap aktivitas yang dilakukan baik individu, masyarakat hingga negara semuanya dijauhkan dari agama. Agama hanya sebagai ritual ibadah saja, sedangkan ketika bermuamalah dan beraktivitas agama tidak dijadikan pedoman. Inilah salah satu yang menjadi akar masalah selama ini.
Jika saja agama dijadikan pedoman hidup dalam beraktivitas, tentu perbuatan tercela seperti korupsi tidak akan terjadi. Karena setiap individu akan senantiasa merasa diawasi, dan takut akan pertanggungjawaban di akhirat atas semua perbuatannya ketika di dunia. Halal dan haram menjadi prioritas utama dalam beraktivitas. Norma agama menjadi tolok ukur dalam setiap perbuatan, baik individu, bermasyarakat maupun bernegara.
Sistem kapitalis telah melahirkan individu-individu yang materialistis. Standar pencapaian sukses seseorang dilihat dari jabatan, titel yang berderet-deret, hingga kekayaan melimpah. Sehingga korupsi, nepotisme, dan kolusi menjadi jalan untuk memenuhi segala keinginannya. Untuk memperoleh jabatan di sistem kapitalisme tentu harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Pendidikan pun dikomersialisasikan, sehingga tujuan pendidikan tak lagi mencerdaskan anak bangsa, tetapi menjadi ladang bisnis yang sangat menguntungkan para kapitalis.
Dunia pendidikan yang kian materialistis dan komersial. Ukuran-ukuran ekonomi kian hari menjadi patokan keberhasilan akreditasi. Jual beli ijazah, manipulasi dana penelitian, suap menyuap, menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Jika sistem sekuler kapitalis ini masih dijadikan aturan dalam bernegara, sampai kapan pun kerusakan yang ditimbulkan tidak akan terselesaikan secara sempurna dan paripurna.
Hanya Islam satu-satunya sistem yang mampu menyelesaikan problematik yang terjadi selama ini. Pendidikan dalam Islam menjadi hak dasar yang wajib negara fasilitasi. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membimbing dan mendidik seseorang untuk memahami ajaran agamanya. Output pendidikan diharapkan memiliki kecerdasan berpikir (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan memiliki kecerdasan spiritual (SQ) untuk bekal hidup menuju kesuksesan dunia dan akhirat.
Permasalahan global pendidikan sekuler adalah fakta yang harus diatasi. Solusinya adalah penerapan sistem pendidikan Islam oleh negara melalui penerapan Islam kafah (Khilafah Islamiah) yang menjadikan Islam sebagai ideologi dan syariat Islam sebagai dasar pengaturan segenap aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Hanya dengan sistem pendidikan Islam, tata kelola pendidikan akan mencapai puncak kegemilangan.
Pendidikan Islam mampu melahirkan mutiara-mutiara umat yang berkontribusi aktif menyelesaikan problem masyarakat. Sejarah mencatat sistem pendidikan di masa kejayaan Islam pada abad ke-8 mampu mendongkrak seluruh lini kehidupan masyarakat. Banyak ilmuwan Muslim yang mampu berkontribusi dalam ilmu pengetahuan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Sri Haryati
Aktivis Muslimah
0 Comments