Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Prof. Suteki Menengarai Ada Bandit-Bandit Berseragam

TintaSiyasi.com -- Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. menengarai ada bandit-bandit berseragam dalam kasus pembunuhan Brigadir J.

"Kita sedang menengarai bahwa ada criminal in uniform atau yang disebut dengan CIU, bahasa kasarnya itu bandit-bandit berseragam," urainya pada acara Perspektif PKAD: Ferdy Sambo Ditahan, Pelanggaran Etik atau Pidana?, Ahad (07/08/2022) yang disiarkan langsung di YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.

Prof. Suteki mengaku masih berpikir dan bertanya-tanya apa benar di dalam institusi itu ada semacam kriminal berseragam, “Semoga saja tidak ada," harapnya.

Ia menanyakan perihal Satgasus (satuan tugas khusus) di dalam tubuh Polri yang sempat ramai dibicarakan oleh netizen. Apa itu Satgasus? Biayanya dari mana? Realisasinya itu polisi di dalam polisi atau kekuasaan polisi dalam polisi atau bagaimana?,” lontarnya.

"Itu banyak dipertanyakan, bahkan ada yang menyatakan bahwa apakah Satgasus itu punya tugas tersendiri di luar. Maksudnya untuk mengkondisikan sesuatu, melakukan prakondisi dalam sesuatu tindak pidana, atau bisa jadi itu terkait dengan Densus dan seterusnya. Nah, saya kira sangat mungkin terjadi di sini," ulasnya.

Untuk itu, agar tidak jadi bungker, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Undip tersebut, Satgasus atau mungkin jika ada yang namanya criminal in iniform itu harus dibersihkan dulu.

"Saya yakin kalau itu dibersihkan kembali kepada fungsi Polri pada umumnya. Apa? Ya melakukan pelayanan, memberikan Kamtibnas, kemudian penegakan hukum kembali. Enggak usah dijejali dengan hal hal yang sifatnya sus-sus. Satgasus, Densus, ada apalagi nanti? Tidak boleh ada, kalau mau kasus ini betul betul berjalan," jelas dia.

Menurutnya, bungker itu terjadi karena ada bargaining position, sehingga ada tawar menawar.

"Maaf ya saya enggak tahu persis tubuh Polri itu boroknya seperti apa. Kalau kita lihat sepintas itu kan kayaknya sehat-sehat saja. Tetapi namanya suatu penyakit kan tidak selalu bisa kita deteksi dari luar. Nah, ini saya tidak tahu persis di dalamnya," bebernya.

Criminal in uniform, lanjut dia, bisa mengarah pada police state atau negara polisi, yaitu suatu sistem ketatanegaraan yang polisi memang dipakai untuk menjalankan kejahatan dalam penyelenggaraan negara. 

"Saya kira kita tidak ingin ya kalau negara ini menjadi police state," imbuhnya.

Oleh karenanya, dia menghimbau agar Komisi III DPR RI yang membidangi hukum harus segera bereaksi, tidak cukup perorangan, tetapi tim Komisi III harus segera bereaksi membantu penyelesain kasus pembunuhan Brigadir J.

"Dengan memanggil para pihak yang terkait langsung, khususnya Kapolri Jendral Sigit. Karena kasus kematian Brigadir Yoshua sudah membuat masyarakat resah, gelisah dan hampir menyerah," tandasnya.

"Kadang kita juga berpikir, lho kalau untuk kasus-kasus semacam ini kok kayaknya DPR RI itu bungkam alias bisu. Ini ada apa? Pura-pura tidak tahu atau memang benar-benar tidak tahu," lugasnya.

Sepengetahuan Prof. Suteki, kasus pembunuhan Brigadir J sudah hampir satu bulan, DPR RI belum juga memanggil Kapolri untuk dimintai keterangan.

Ia mengaku rindu kepada suara sosok anggota DPR yang menurutnya sangat vokal. "Nah, saya juga tanyakan, Mas Arteria Dahlan yang biasanya teriak-teriak ini kemana? Kok, enggak ada suaranya terdengar sama sekali?” cetusnya.

Reformasi Polri

Prof. Suteki juga mendesak agar dilakukan reformasi di tubuh Polri. Presiden harusnya turun tangan. Karena Kapolri di bawah kekuasaan presiden dan pertanggungjawabannya juga kepada presiden.

"Maka berulang kali presiden sudah ngomong tuh, dua, atau tiga kali, 'Tolong (perintah) supaya dilakukan pemeriksaan secara transparan, dibuka supaya terang, dan seterusnya.' Ini perintah presiden, jadi Kapolri juga harus betul-betul melakukan tindakan itu. Jikalau misalnya tidak mampu, ya lebih baik Kapolri mengundurkan diri, biar diganti oleh Kapolri yang baru," ungkapnya.

"Jadi nanti Kapolres Jakarta Selatan diberhentikan, Kapoldanya sekaligus. Kapolrinya mundur kalau enggak mampu," jelasnya.

Kembali ke tekad Kapolri yaitu presisi, lanjut Suteki, harusnya kasus kematian Brigadir J benar-benar dibongkar secara transparan.

"Ada transparansi, ada prinsip akuntabilitasnya, ada prinsip berkeadilannya, normalnya kan begitu," cetusnya.

Pakar Hukum tersebut mengutip pendapat dari Lawrence M. Friedman bahwa sistem hukum itu ada tiga unsur, yaitu berupa aturan hukum. Pertama, legal subtance, namanya substansi itu berarti aturan. Kedua, legal structure (struktur hukum), itu petugas dan kelembagaannya. Ketiga, legal culture atau kultur hukumnya,” urainya.

"Di era sekarang ini menurut saya yang paling urgen adalah pembenahan petugas dan kelembagaannya. Bersihkan institusi Polri dari criminal in uniform, dari bandit-bandit berseragam kalau itu ada. Maksudnya penjahatnya, kalau itu ada. Saya kira ada penjahat, yaitu yang menghilangkan, menghalang-halangi, merusak barang bukti, dan melakukan cover up," tegas dia.

Dia menyarankan untuk mendorong upaya Kapolri dan mengarahkannya pada penyelamatan institusi Polri.

"Cover up itu diatur tersendiri, terutama di dalam Pasal 222. Jadi menutup-nutupi termasuk penjahat. Nah, kalau ini terorganisasi atau terhubung antara satu dengan yang lainnya berarti apa, kalau enggak kita sebut sebagai criminals in uniform atau istilahnya itu bandit bandit berseragam," urainya.

Kasus Brigadir J dinilai oleh Prof. Suteki bisa menjadi cermin bagi Polri. "Kalau terjadi pembusukan pada kasus ini berarti apa? Penegakkan hukum di masa lalu masa sekarang itu tidak beda jauh dengan apa yang sekarang terjadi. Makanya saya katakan sebagai batu uji kualitas penegakkan hukum bagi Kapolri Pak Sigit," tandasnya.

Intrik

Prof. Suteki menilai kasus pembunuhan Brigadir J sangat jelas, tidak begitu rumit. Tetapi ketika melibatkan pejabat tinggi, ternyata membuat permasalahan ini menjadi sangat berbelit-belit kemudian menjadi rumit. "Boleh saya katakan istilahnya itu intrik-intrik," cetusnya.

Ia mengurai ada kasus pembunuhan, ada perbuatan hukum namanya pembunuhan, ada pembunuhnya yaitu Bharada Eliezer atau Bharada E.

Pengaitan kasus pembunuhan Brigadir J dengan  pelecehan seksual dan seterusnya, dinilainya menjadikan kasus itu semakin kabur.

"Lebih-lebih ketika ada proses yang menurut saya tidak wajar, misalnya penundaan pengungkapan yang sampai pada tiga hari. Dari hari Jumat kejadiannya baru hari Senin itu terungkap," katanya.

Padahal menurutnya, polisi biasanya selalu cepat dalam mengungkap kasus pembunuhan. "Nah, ini di luar kebiasaan," tandasnya.

Dari penundaan itu, ia menduga ada skenario atau rekayasa. "Bisa jadi berupa narasi-narasi yang sifatnya itu kebohongan-kebohongan. Nah, biasanya kalau kita lihat dari kasus-kasus yang ada itu dipakai untuk apa? Sebagai alat untuk cover up, jadi untuk menutupi," tegasnya.

Ia membeberkan cara cara yang dilakukan mereka. "Semisal menunda, membikin narasi, kemudian ada yang merusak barang bukti, bisa untuk menghilangkan jejak, menghapus rekaman, dan  seterusnya," imbuhnya.

Hal itu dinilainya sudah masuk pidana, tetapi mengapa dalam waktu yang hampir sebulan masih membahas pada masalah kode etik.

"Makanya saya juga meminta kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) harus terus memantau jalannya penyelesaian perkara ini secara terus menerus," pungkasnya.[] Heni

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments