Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Biaya Perguruan Tinggi Mahal, Mimpi Sarjana Sudah Pupus


TintaSiyasi.com -- Mendapat gelar Sarjana adalah impian semua mahasiswa dan orang tuanya, namun terkendala dengan adanya kebijakan biaya di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta yang kian mahal. DPR RI memberikan pandangannya terkait ulasan soal kenaikan biaya rata-rata Perguruan Tinggi di Indonesia saat ini. Hal ini merespon ulasan kabar Nasional baru-baru ini tentang peningkatan gaji orang Indonesia yang tidak mampu mengimbangi biaya pendidikan tinggi untuk anaknya di masa depan.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengakui jika memang biaya kuliah di tanah air saat ini masih terbilang mahal. Dede Yusuf mengungkapkan, banyak orang tua tak melanjutkan studi kuliah sang anak lantaran benturan biaya. Biaya mahal tersebut, kata Dede Yusuf, tidak cukup tertutupi dengan sejumlah program pemerintah baik dari beasiswa Kartu Indonesia Pintar atau KIP (KedaiPena.com, 30/7/2022).

Media sosial belakangan ini tengah diramaikan mengenai tingginya biaya masuk universitas melalui seleksi mandiri. Adapun informasi banyak beredar di media sosial, termasuk Twitter. Salah satunya akun Twitter @mudirans yang mengunggah foto berisi persyaratan Jaminan Kemampuan Keuangan (JKK) bagi calon mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB). Diketahui, JKK tersebut yakni orang tua atau wali mahasiswa harus mencantumkan rekeningnya dengan nominal minimum Rp100 juta.

Konsultan Pendidikan dan Karir Ina Liem menyampaikan, penyebab mahalnya biaya masuk jalur seleksi mandiri di universitas disebut karena beberapa universitas negeri tengah didorong berbadan hukum (Kompas.com, 22/7/20).


Biaya Perguruan Tinggi Mahal, Bentuk Komersialisasi Pendidikan

Perguruan Tinggi adalah sumber dari segala ilmu dan wadah untuk mencetak generasi ilmuwan, kemudian ouput dari Perguruan Tinggi tersebut harus punya kapabilitas dibidangnya masing-masing dan orientasinya untuk kemaslahatan umat, berbeda dengan sistem pendidikan sekarang yang materialistik, mencetak para sarjana individualis, menjadi budak korporasi, mensejahterakan para kapitalis dan acuh terhadap problematika umat padahal mahasiswa merupakan agen perubahan, sebagai penyambung lidah masyarakat kecil dan lainnya.

Tidak heran ketika ada fenomena tersebut, karena melihat makin beratnya beban pembiayaan Perguruan Tinggi akibat komersialisasi pendidikan, dan lepasnya negara dari pembiayaan pendidikan serta makin besarnya beban pemenuhan kebutuhan hidup yang ditanggungkan pada penghasilan rakyat. Kondisi ini jelas akan mendorong pada makin lunturnya eksistensi dari Pergururan Tinggi tersebut sebagai sumber ilmu dan penghasil para ilmuwan.


Sistem Islam Menjamin Biaya Perguruan Tinggi serta Kembalikan Kehormatan Perguruan Tinggi

Negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan media belajar-mengajar yang lain, di samping membangun sekolah dan universitas untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang ingin melanjutkan penelitian dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan tsaqâfah, seperti fikih, ushul fikih, hadis, dan tafsir, atau bidang ideologi, teologi, kedokteran, teknik, kimia, maupun eksperimental sehingga negara akan bisa melahirkan sejumlah mujtahid dan para saintis.

Negara juga tidak bisa memberikan hak istimewa dalam mengarang buku-buku pendidikan untuk semua level. Seseorang, baik sebagai pengarang ataupun bukan, tidak bisa mempunyai hak cipta atau hak terbit apabila sebuah buku telah dicetak dan diterbitkan. Namun, jika masih berbentuk pemikiran yang dimiliki oleh seseorang dan belum dicetak ataupun diedarkan, maka seseorang bisa mendapatkan imbalan, ataupun kompensasi yang memadai atas jasanya. Layaknya gaji seorang pengajar.

Sekarang kampus tercoreng, mendapat cap sebagai tempat pencetak para tikus berdasi. Mereka pandai, punya jabatan, tetapi sayangnya korupsi. Jangan makin mencoreng kehormatan kampus dengan label sarang pergaulan bebas. Karenanya, mengembalikan kehormatan kampus (perguruan tinggi) sebagai institusi penyubur ilmu adalah menjadi sebuah keharusan. Hal itu hanya bisa kita wujudkan dalam tatanan sistem Islam. Kampus pada masa Islam berhasil menjadi mercusuar peradaban dengan segudang prestasi dan ilmu.
 
Dengan penerapan sistem Islam kaffah, tujuan mulia pendidikan dapat tercapai. Kampus akan menjadi pusat riset dan keilmuan bagi para pencari ilmu, yakni insan-insan mulia yang mempersembahkan ilmunya untuk kepentingan umat manusia, bukan menjadi insan yang terbelenggu dengan kepentingan korporasi demi mengejar prestasi dan nilai materi semata (MuslimahNews.com).

Jika pendidikan hari ini, baik input dan output sudah terlihat kegagalannya, masihkah kita berharap pada sistem pendidikan materialistik yang lahir dari ideologi kapitalisme? Padahal, sistem Islam memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas lebih baik. Sistem Islam berasal dari Pencipta, yaitu Allah SWT. Wallahu a’lam. []


Oleh: Nurhayati, S.Ak.
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments