TintaSiyasi.com -- Kondisi negara makin hari makin miris dengan semakin tergerusnya akidah islam pada penduduk yang mayoritas Muslim, kewajiban menjalankan syariat Islam dimusuhi terus menerus, dengan semakin banyak kalangan yang menyatakan bahwa berjilbab adalah tradisi orang Arab. Ini adalah salah satu bukti bahwa pendidikan di negeri ini diarahkan menuju jurang sekularisme, jauh dari agama.
Krisis akhlak sudah nyata di depan mata penggiringan arus pada jurang sekularisme. Akhir-akhir ini tersebar berita siswi SMA yang mengaku depresi karena paksaan guru untuk mengenakan hijab di sekolah. Bahkan, banyak pihak yang ikut terjun dalam menyelidiki kasus tersebut seperti Ombudsman RI (ORI) (detikjateng.com, 29/7/2022). Bahkan, Kepala ORI perwakilan DIY, Budhi Masturi mengatakan bahwa, tindakan guru BK tersebut dapat masuk dalam kategori pemaksaan bahkan perundungan.
Menyikapi kasus tersebut seharusnya lebih bijak karena semua terkait dengan psikologi pendidikan remaja. Tidak bisa serta merta semua turun tangan karena berita yang belum jelas. Melihat semua pernyataan yang dipublikasikan masih dugaan. Siswi itu saat mengikuti MPLS disebut nyaman-nyaman saja. Hanya saja pada tanggal 19 Juli, anak tersebut dipanggil oleh tiga guru Bimbingan dan Konseling (BK)--istilah baru dari Bimbingan dan Penyuluhan (BP). Saat itulah, diduga siswi itu dipaksa untuk menggunakan jilbab. Akibat peristiwa tersebut, siswi itu diduga depresi dan mengurung diri di kamar. Dia diduga tertekan. Peristiwa tersebut kemudian mendapatkan sorotan dari sejumlah pihak (kumparanNew, 31/07/2022).
Melihat kasus yang bergulir di atas, yang dipermasalahkan adalah tindakan guru dan aturan hijab di sekolah. Padahal, perlu kita sadari bahwa tugas guru adalah sebagai pendidik, dan aturan sekolah dibuat untuk melakukan pembiasaan yang baik bagi muridnya. Guru dituntut untuk mendidik murid-muridnya menjadi pribadi-pribadi yang baik dan berkarakter. Terlebih, melihat kondisi saat ini di mana arus modernisasi, pluralisme, dan paham-paham lain yang membahayakan generasi muda seperti pelajar, haruslah memiliki benteng pemahaman yang kokoh dalam membendung paham-paham racun tadi. Bukan seperti yang disampaikan oleh kepala Disdikpora DIY Didik bahwa peraturan memakai jilbab hanya untuk memenuhi kriteria kebhinekaan.
Sebagai orang tua seharusnya juga harus melihat dengan jeli, apa tujuan guru memberi saran untuk memakai jilbab itu, tidak ada seorang guru mendidik untuk menjerumuskan muridnya. Jika orang tua sadar dengan ajaran yang benar mungkin tidak ada kasus yang muncul bahwa pakai jilbab adalah paksaan dari pihak sekolah. Guru juga ingin memenuhi kewajiban untuk menyampaikan kebenaran dari ajaran Islam bahwa berhijab hukumnya wajib, bukan hanya sekadar menjaga toleransi. Oleh karenanya jika di rumah orang tua cukup ilmu agama untuk mendidik anaknya untuk memakai jilbab di saat usia balig, bahwa berjilbab adalah kewajiban seorang Muslimah sama dengan kewajiban yang lain jika ditinggalkan berdosa, maka antara pendidikan di rumah dan di sekolah nyambung.
Dalam kasus ini orang tua tidak paham dengan pendidikan Islam sehingga dia anggap pendidikan sekolah tidak nyambung dengan pola didiknya? Karena sistem demokrasi sekuler inilah biang keladi dari semua persoalan termasuk masalah ini. Karena sistem ini melarang para pengemban dakwah memberikan ilmu kepada masyarakat. Ilmu yang sudah seharusnya dimiliki oleh setiap individu kaum Muslim tidak tersampaikan. Ironis memang, justru pemerintah mengancam para pengemban dakwah dengan label yang menakutkan, radikal, teroris, dan segala macam bentuk kriminalisme terhadap pengemban dakwah, sehingga para pengemban dakwah sulit untuk melangkah mencerdaskan bangsa ini. Atas nama HAM, guru yang ingin mendidik sesuai dengan ajaran Islam yang benar mendapatkan tekanan.
Berbeda jika berdasarkan pandangan Islam. Dalam Islam, tempat pendidikan seperti sekolah merupakan tempat di mana para peserta didik dibina dan dididik oleh guru dengan tsaqafah Islam sebagai penguat untuk membentuk pribadi yang bersyakhsiyah islamiah. Dengan pemberian tsaqafah Islam dan pembiasaan-pembiasaan yang berdasarkan syariat, maka peserta didik akan membiasakan dan menjadi terbiasa dalam menerapkan aturan syariat tanpa ada rasa keterpaksaan.
Dengan demikian, seharusnya hijab tidak lagi menjadi permasalahan bagi para Muslimah, baik pelajar maupun non-pelajar selama ia masih beragama Islam. Karena, aturan hijab bukan hanya aturan sekolah semata, melainkan aturan yang datang langsung dari Allah SWT, sebagai Pencipta makhluk-Nya. Oleh karena itu, Sudah seharusnya Muslimah terikat dengan aturan ini tanpa keterpaksaan melainkan karena keimanan yang haq terhadap Pencipta. Serta, pandangan dan pemahaman ini hanya akan lahir dan terwujud apabila Islam menjadi poros dalam setiap aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Marsitin Rusdi
Praktisi Klinis
0 Comments