Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Banyak Utang, Kok Bangga?


TintaSiyasi.com -- Setiap orang pasti tidak suka jika berteman dengan orang yang konsumtif dan suka berutang demi memenuhi nafsu belanjanya. Tidak mampu mengatur uangnya sendiri hingga langganan berutang. Dibayar kapan, wallahu a’lam. Ketidaksukaan itu sangat wajar. Karena orang konsumtif yang doyan utang itu parasit bagi orang lain. Apalagi barang yang dibeli tidak terlalu penting.

Islam pun menganggap perkara utang piutang merupakan perkara yang besar. Bahkan ayat terpanjang dalam Al-Qur'an, yakni Surat Al-Baqarah ayat 282 berisi tentang syariat utang piutang. Yaitu orang yang berutang hendaknya mencatat utang, saat pelunasan hendaknya ada saksi, dan tidak boleh membahayakan saksi atau penulis utang. 
 
Lain hal dalam prahara utang luar negeri kita. Di saat utang semakin membengkak menyentuh angka fantastis, justru pemerintah mengklaim bahwa utang Indonesia masih dalam batas wajar dan pasti dibayar. Bahkan utang tersebut diklaimnya utang produktif. Padahal beberapa proyek sebetulnya tidak begitu penting namun pemerintah bersikukuh untuk berutang. Seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan. Biaya pembangunan membengkak dan akhirnya ditanggung oleh APBN negara.
 
Dikutip dari Kompas.com (6/8/2022), dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan bahwa total utang Indonesia saat ini 7000 triliun. Apakah jumlah segitu merupakan jumlah yang kecil? Apakah perkara hutang merupakan perkara remeh?


Jebakan Utang

Sesungguhnya utang luar negeri tak lain bagai jebakan tikus. Kelihatannya nikmat, namun ternyata menjerat. Begitu pun utang luar negeri. Di dunia berasas kapitalisme, tidak mungkin ada negara maju yang murah hati memberi bantuan utang bagi negara lain tanpa maksud tertentu. Sebab, tidak ada kebaikan cuma-cuma. Sebagaimana slogan khas kapitalisme, “No free lunch”. Pasti di balik kebaikan piutang ada maksud terselubung.
 
Sejatinya piutang yang ditawarkan hanyalah umpan penarik negara-negara berkembang untuk masuk dalam jeratan kekuasaan empunya piutang tersebut. Dengan tawaran dana pinjaman yang menarik disertai bunga yang apik mengundang kesepakatan negara-negara yang tercekik. Dalihnya investasi, namun ending ceritanya bisa saja imperialisasi.
 
Tahun demi tahun berjalan, tanpa terasa berapa utang yang dijabani hingga akhirnya menumpuk. Belum lagi bunga yang menambah banyaknya jumlah tagihan. Bahkan jumlah bunganya lebih besar dari besaran utang pokok. Yang awalnya optimis mampu melunasi, pada akhirnya kalang kabut menutupi utang-utang yang jumlahnya kian meninggi. 
 
Maka kita belajar dari apa yang menimpa Sri Lanka. Bagaimana utang yang kian melilit hingga membuat rakyat terhimpit. Pemerintah akhirnya tak mampu melunasi utang-utangnya, sampai-sampai untuk sekadar memenuhi kebutuhan impor bahan bakar pun tak mampu. Krisis sosial dan pangan tak dapat dihindari. Akhirnya, Sri Lanka resmi dinyatakan bangkrut.
 
Ke mana negara-negara besar yang memberi piutang pada Sri Lanka? Yang membual janji manis piutang investasi pembangunan negeri. Pada akhirnya Amerika Sang Adidaya membuka topeng semunya dan menunjukkan seringai licik kapitalis. 


Batilnya Utang Riba 
 
Salah satu pukat harimau dalam rimba perutangan kapitalis adalah riba. Utang yang tadinya sedikit, bisa jadi berlipat-lipat hanya karena riba. Sekali telat membayar utang, bunga berlaku, siap-siap pihak pengutang harus menanggung beban semakin berat. Urusan waktu kapan akhirnya kata ‘pailit’ menghinggapinya.
 
Islam sendiri telah mengharamkan praktik riba. Karena orang yang berutang biasanya orang yang membutuhkan, sehingga Islam pun menganjurkan umatnya untuk menolong dengan memberi piutang. Apabila pihak pengutang belum mampu membayar, maka pihak pemberi utang hendaknya berlapang dada menunggu hingga mampu dibayarkan.


Pentingnya Berdaulat
 
Hendaknya negara berdaulat, berdiri di atas kakinya sendiri. Bukan sembarang menggantungkan tangan pada tempat yang salah. 
 
Daulah Islam menerapkan asas politik luar negeri yang mandiri. Artinya meminimalisir jeratan pihak luar ke dalam. Sebisa mungkin tidak berutang dan tidak sembarangan menjalin perjanjian internasional. Kalaupun daulah membangun hubungan dengan darul kufr dipastikan untuk maslahat umum dan mencermati betul akibat politisnya bagaimana. Segala tindak daulah dikancah internasional berpedoman pada syariat Islam. Maka ketika benar-benar terpaksa untuk berutang, tidak mengambil utang yang berbunga dan menghindari intervensi negeri pemberi utang. 
 
Namun dengan rapihnya sistem keuangan Islam, dapat dipastikan sangat kecil sekali peluang daulah berutang pada negara lain. Karena pos-pos pemasukan Baitul Mal strategis dan banyak, diimbangi dengan pos pengeluaran yang efisien dan menyejahterakan masyarakat. 
 
Sejarah menjadi saksi bisu nan jujur akan adidaya Islam pada masa silam. Islam menjadi adidaya dan memayungi dua pertiga dunia. Daulah menjadi sosok yang disegani oleh penguasa tiran dan dirindukan kehadirannya oleh rakyat berjiwa bersih. Maka Islam sebagai rahmatan lil aalamiin terwujud nyata.
 
Saat ini kita telah menyadarinya bersama bahwa kapitalisme dengan asas ekonomi ribawinya adalah batil dan membawa kesengsaraan bersama. Saatnya kembali pada peraturan Allah demi meraih ridha-Nya di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Qathratun
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments