TintaSiyasi.com -- Fenomena generasi muda di negeri ini makin hari makin membuat geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, generasi muda yang sejatinya sebagai penerus peradaban, kondisinya malah makin memprihatinkan. Kasus-kasus kerusakan moral generasi terus bergulir hingga saat ini. Generasi yang liberal dan makin kebal nasihat. Gempuran tayangan dan informasi yang semakin bebas diakses, kemudian ditiru dan menjadi viral.
Kasus bullying ekstrem dan di luar nalar yang terjadi di kasus Tasikmalaya dan mewabahnya racun Citayam Fashion Week (CFW) adalah bukti nyata perusakan dan pembajakan potensi generasi terjadi sistemis, sedangkan negara hanya membuat kebijakan dan pernyataan normatif.
Jangan sampai Hari Anak Nasional (HAN) menjadi seremonial belaka. Forum tersebut setidaknya harus membahas hal krusial menyangkut permasalahan anak-anak Indonesia. Namun, hati-hati, jangan sampai salah menentukan akar permasalahannya. Penanganannya bisa gagal fokus, bahkan bisa menyebabkan persoalan bertambah berat saja.
Kompleksitas permasalahan yang menimpa generasi, mulai dari kekerasan seksual hingga fenomena Citayam Fashion Week (CFW), misalnya, harus dipandang utuh sebagai satu permasalahan yang menimpa umat manusia. Problem ini bukan permasalahan ekonomi maupun kesehatan semata.
Puncak peringatan HAN pada 23 Juli 2022 diharapkan mampu mendorong langsung peran serta masyarakat maupun lembaga untuk peduli terhadap persoalan anak. Persoalan anak yang masih menjadi fokus pemerintah hingga kini adalah angka kekerasan seksual terhadap anak yang kian hari kian bertambah pesat.
Di sisi lain, perhatian pemerintah makin minim. Alih-alih mengarahkan dan membuat program yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan, justru arus moderasi beragama digencarkan di berbagai lini, termasuk lembaga pendidikan dan pesantren. Walhasil, generasi makin sekuler, kehilangan arah dan makin tidak terkendali.
Persoalan mendasar atas kejahatan seksual anak sejatinya lahir dari budaya liberal yang semakin mendarah daging dalam benak masyarakat. Pelaku melakukan hal demikian semata ingin melampiaskan syahwat, tidak peduli terhadap anak didik, bahkan anak kandung sekalipun! Mereka merasa bebas melakukan apa saja.
Inilah liberalisme akut yang telah diidap umat. Apalagi kini makin marak penyakit sosial semisal pedofilia yang makin menambah kekhawatiran akan nasib generasi.
Budaya liberal ini menjadikan anak-anak bebas melakukan apa saja yang mereka suka. Berpacaran, seks bebas, hingga L68T, menjadi lumrah di tengah maraknya kejahatan seksual. Pakaian serba minim dan terbuka makin digandrungi anak-anak muda. Mereka berkeliaran malam hari demi nongkrong di tempat-tempat keramaian. Bukankah ini pula yang membuka pintu terjadinya kejahatan seksual?
Sepatutnya negara mengeluarkan kebijakan dengan perubahan arah orientasi dan pembinaan generasi. Perubahan mendasar dan menyeluruh itu menuntut pemberlakuan Islam, menutup semua pintu penyebaran nilai, aturan, dan perilaku liberal.
Haram bagi negara mengambil untung dari perilaku liberal rakyat yang dilabel kreatifitas, menjadi jalan keuntungan bagi kaum kapitalis dan wajib bagi negara menutup semua celah kerusakan perilaku generasi.
Setelah jelas persoalan mendasarnya, yakni liberalisme, maka solusi atas kejahatan seksual pada anak adalah membuang paham tersebut. Setiap elemen harus bekerja sama bahu-membahu menyingkirkan budaya liberal di tengah umat, khususnya generasi muda. Langkah awal adalah dengan menjelaskan kerusakan pemahaman ini pada masyarakat.
Liberalisme lahir dari sekularisme, yaitu paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Paham ini membuang agama dari benak umat dalam mengatur tingkah lakunya dan membenarkan setiap perbuatan meski terlarang dalam agama. Padahal, agama seyogyanya menjadi pegangan yang akan menyelamatkan umat manusia dari kerusakan.
Di sisi lain, sistem pendidikan wajib terdepan dalam menjauhkan generasi dari liberalisme, yaitu dimulai dari menancapkan akidah Islam pada peserta didik agar mereka tidak kehilangan jati diri.
Sedari dini, anak-anak harus sadar tujuan hidupnya adalah untuk mencari ridha Allah SWT. Ketakwaan inilah yang dapat mengantarkan mereka pada perilaku yang selalu terikat syariat. Mereka akan berpikir sebelum bertindak, mampu membedakan antara perbuatan yang mengundang murka dan yang mendulang pahala.
Kemudian pemerintah, harus menjadi yang terdepan dalam menjaga umatnya —khususnya generasi muda— dari segala marabahaya. Sekularisme liberal adalah bahaya yang harus secepatnya dihilangkan dengan cara menerapkan aturan Islam kaffah dalam sistem pemerintahan. Setiap kebijakan tidak boleh menyimpang dari ajaran Islam. Begitu pun sifat sistem sanksi yang mampu menebus dosa dan menjerakan.
Terakhir, pemerintah wajib menjaga suasana keimanan masyarakat dengan menerapkan kebijakan dan mengontrol media. Hal ini agar generasi muda fokus menjalankan misinya menjadi hamba mulia yang bermanfaat bagi sesamanya. Mereka akan senantiasa mengisi hari-harinya dengan amal saleh yang akan mengantarkan pada tingginya peradaban manusia. Insyaallah. []
Oleh: Elyarti
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments