TintaSiyasi.com -- Tak terasa kita telah memasuki bulan Muharam setelah melewati bulan Dzulhijah. Bulan baru Muharam termasuk juga tahun baru dalam penanggalan bulan Hijriyah. Kita sebagai kaum Muslim patut berbahagia menyambut bulan tersebut, terlebih di tahun baru Hijriyah ini kita sudah tidak terbelenggu dengan adanya virus Corona sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Tahun baru, semangat baru. Saatnya kita memulai sesuatu yang baru dengan penuh semangat menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, inilah saatnya kita hijrah secara total.
Jika berbicara tentang hijrah, jangan sampai kita memaknainya dengan perubahan diri dari perbuatan jelek menjadi baik, atau pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Hijrah itu perubahan yang sampai memberikan pengaruh atau memberikan perubahan. Sebagaimana hijrahnya Rasulullah SAW, dari Makkah ke Madinah.
Hijrah Rasulullah SAW dari Makkah al-Mukarramah ke Madinah al-Munawwarah tercatat sebagai peristiwa penting dalam sejarah Islam dan sirah Rasulullah SAW. Tidaklah mengherankan kalau Khalifah Umar bin al-Khaththab ra menjadikan hijrah Rasullah SAW itu sebagai tahun pertama saat penetapan kalender Islam.
Hijrah Rasulullah SAW tidak bisa dilepaskan dari dakwah. Ia merupakan pembatas antara fase dakwah Makkah dan Madinah. Di Makkah Rasulullah SAW belum punya kekuasaan. Keamanan juga belum ada di tangan kaum Muslim. Rasulullah baru menyampaikan secara lisan dakwahnya. Saat di Madinah, barulah Rasulullah SAW masuk pada fase penerapan ajaran-ajaran Islam secara praktis. Sejak itu Madinah menjadi tempat yang layak untuk menjadi Negara Islam yang pertama.
Dari hijrah Rasulullah SAW ini, kita belajar tentang ketaatan. Rasulullah SAW hijrah bukanlah karena takut. Tidak ada yang ditakuti Rasulullah SAW kecuali Allah SWT. Hijrah juga bukan karena Beliau khawatir nyawa terancam. Tentu karena Beliau yakin akan selalu dilindungi oleh Allah SWT. Beliau berhijrah tidak lain untuk memenuhi perintah Allah SWT. Untuk membangun peradaban Islam di Madinah. Membangun negara yang didasarkan pada prinsip tauhid dan menegakkan hukum yang berdasarkan syariah Islam.
Hijrah Nabi SAW tentu berdimensi politis. Pasalnya, sebelum hijrah, terjadi Baiat Aqabah II oleh kaum Muslim di Madinah kepada Rasulullah SAW. Baiat ini merupakan baiat penyerahan kekuasaan (istilâm al-hukm) kepada Rasul SAW sekaligus pengangkatan beliau sebagai amir (pemimpin) Madinah. Dengan kata lain, Baiat Aqabah II menandai pengangkatan Rasul SAW sebagai kepala negara di Madinah. Dengan demikian sejak Baiat Aqabah II itu secara de jure Yatsrib (Madinah) telah berubah menjadi Dâr al-Islâm. Sejak itu kekuatan yang terwujud di Madinah adalah milik Islam dan kaum Muslim. Tinggal menunggu Rasul SAW hijrah ke Madinah sehingga Madinah berubah menjadi Dâr al-Islâm secara de facto.
Alhasil, pasca hijrah, selain tugas kenabian dan kerasulan, Rasulullah SAW juga menjalankan tugas kenegaraan, yakni sebagai kepala Negara Islam. Tegasnya, hijrah Rasul SAW merupakan tonggak pendirian Daulah Islam (Negara Islam), penegakan sistem Islam, penerapan syariah Islam sekaligus pembentukan masyarakat Islam.
Karena itu, di antara spirit hijrah yang paling penting adalah spirit penegakan sistem pemerintahan Islam, penerapan syariah Islam serta pembentukan dan pembangunan masyarakat Islam. Spirit hijrah semacam ini sejatinya mendorong kita saat ini untuk segera meninggalkan sistem dan hukum yang bukan dari Islam, lalu menerapkan sistem dan hukum Islam. Caranya dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam semua aspek kehidupan. Tentu dalam sebuah institusi pemerintahan Islam, sebagaimana Daulah Islam yang pernah dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah pascahijrah. []
Oleh: Nanis Nursyifa
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments