Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ojo Bandingke Meneh


TintaSiyasi.com -- Ojo dibandingke meneh (jangan dibandingkan lagi). Sudah tiba masanya bagi umat Islam untuk mengambil keputusan, tegas bersikap, melakukan perubahan untuk kemerdekaan sesungguhnya.

Waktu 77 tahun sudah cukup untuk merasakan. Waktu 100 tahun sudah terlalu lama jika hanya untuk mempertimbangkan. Tujuh puluh tujuh tahun mestinya cukup bagi Muslimin Tanah Air untuk merasakan penderitaan akibat kemerdekaan semu. Merdeka tanpa menerapkan syariat Islam tak ubahnya merdeka dari kandang harimau, tetapi masuk ke sarang singa. Lepas dari penjajahan fisik, faktanya, tanpa syariat Islam, penduduk negeri ini masuk ke dalam perangkap neoimperialisme para penjajah kapitalis.

Waktu seratus tahun tanpa khilafah, pastinya lebih dari cukup bagi kaum Muslim untuk membandingkan betapa sempitnya hidup tanpa penerapan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) oleh institusi negara. Makin hari, perekonomian umat makin sulit akibat kerakusan para kapitalis. Di balik kursi para penguasa, mereka mengeruk kekayaan negara yang mestinya untuk kesejahteraan rakyat. 

Beginilah realitas hidup dalam sistem sekuler kapitalis. Sistem sekuler, yaitu sistem yang memisahkan agama dai kehidupan dan negara, telah membuat kaum Muslim yang telah Allah pilih sebagai umat yang terbaik (khairu ummah), kini justru menjadi pesakitan, menjadi alas kaki kapitalis. Kemakmuran dan kemajuan yang dirasakan umat Islam, keberkahan yang dicurahkan Allah kepada negeri-negeri Muslim, perlahan seolah sirna. 

Kegemilangan peradaban selama 13 abad masa Kekhilafahan Islam, tergantikan dengan kebobrokan peradaban kapitalisme. Di era kapitalisme, teknologi bisa saja serba canggih, semua serba digital. Akan tetapi, akal manusia dibuat tumpul, tingkah polahnya pun kembali jauh ke belakang, ke masa dark age (masa kegelapan), masa jahiliyah (zaman kebodohan).

Bagaimana tidak, negara hari ini justru mengapresiasi generasi yang berbusana kurang bahan, bahkan yang terkesan urakan sekalipun. Ini tampak pada menjamurnya peragaan busana jalanan ala Citayam Fashion Week di berbagai penjuru. Sementrara di sisi lain, negara justru garang, mengerahkan kekuatannya untuk memberi sanksi guru yang mendidik siswi Muslimahnya agar berjilbab.

Selain itu, alih-alih menjaga akidah umat Islam, sekalipun berpenduduk Muslim terbesar, negara justru mengapresiasi dan senantiasa memberi panggung bagi pemuja makhluk astral, menggelar karpet merah untuk pawang hujan di momen besar kenegaraan. Tidakkah ini bagai kembali ke masa ketika manusia belum tertunjuki jalan Tauhid? Padahal, selalu mengklaim ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di momen puncak perayaan HUT Kemerdekaan pun, negara memberi penghargaan kepada bocah yang berhasil “menggoyang” (mengajak berjoget) seisi istana dengan nyanyian dewasa yang tidak mendidik.

Sementara, di sisi yang lain, negara tuli dan buta terhadap prestasi generasi yang memenangkan olimpiade sains maupun hafiz Qur’an di ajang internasional. Negara mendadak miskin untuk memberi apresiasi terhadap anak bangsa yang memiliki kecerdasan intelektual positif.

Negara pun bergeming ketika kaum menyimpang pelaku gay, lesbian, transgender, biseksual, dan semisalnya berani unjuk gigi. Diamnya negara ini sungguh mengindikasikan keberpihakannya. Saat yang sama, di sisi lain, negara justru lantang menebar islamofobia degan narasi-narasi radikalisme dan intoleransi terhadap pemuda-pemuda yang bangga akan identitas Muslimnya.

Negara sekuler memang memiliki pandangan kehidupan yang berbeda dengan Islam. Alhasil, cara penjagaannya terhadap rakyat dan generasi pun tak sama dengan perspektif Islam. Jika Islam memandang negara wajib menjaga akidah umat Islam, mendidik generasi agar taat kepada Allah di samping berhasil memakmurkan dunia dengan sains dan teknologi, tidak demikian dengan sistem sekuler. Negara sekuler justru menjerumuskan generasi kepada kehancuran dengan perilaku bebas dan menyimpang.

Dalam hal politik dan ekonomi pun demikian. Politik demokrasi ala sistem sekuler tidak pernah benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat. Para politisi sistem sekuler justru memanfaatkan rakyat untuk memuluskan kepentingannya. Ekonomi kapitalis sistem sekuler pun hanya mementingkan keserakahan para kapitalis, mengabaikan kebutuhan dasar rakyat. 

Hal ini jauh bertentangan dengan sistem politik dan ekonomi Islam yang menempatkan negara sebagai pengayom, pelayan dan pelindung rakyat. Islam mewajibkan pemimpin (kepala negara) sebagai penanggung jawab atas semua urusan rakyat dan kelak di akhirat, Allah akan meminta pertanggungjawaban tersebut.

Tak terbantahkan lagi. Jika dibandingkan, sistem sekuler kapitalis nyata-nyata bertolak belakang dengan Islam. Sudah semestinya umat Islam jengah dengan kesempitan hidup di alam kapitalisme ini. Sebab, seratus tahun hidup dalam sistem sekuler, umat Islam dan generasi Muslim di ambang kehancuran. Pilunya lagi, bukan hanya kesulitan hidup di dunia, bisa jadi juga di kehidupan akhirat.

Sebab, bagaimanapun, Islam telah menetapkan bahwa haram hukumnya bagi umat Islam hidup tanpa kepemimpinan Islam lebih dari tiga hari. Sementara, sejak Khilafah Utsmaniyah diruntuhkan Barat melalui tangan Mustafa Kemal Attaturk la’natullah ‘alaih pada 3 Maret 1924, sudah satu abad umat Islam hidup tanpa khilafah (sistem pemerintahan Islam).

Padahal, para ulama telah menyatakan bahwa penegakan khilafah adalah mahkota kewajiban (tajul furud). Tanpa khilafah, ada sekian banyak kewajiban yang telah Allah tetapkan menjadi tidak bisa terlaksana. Sebaliknya, dengan tegaknya khilafah, tidak hanya umat Islam yang akan merasakan kesejahteraan, melainkan seluruh makhluk. Sebab, Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Ditambah lagi, kelak di akhirat, umat pun akan selamat.

Karena itu, saat ini bukan lagi masanya bagi umat Islam untuk membanding-bandingkan semata untuk mempertimbangkan alternatif solusi atas karut-marut kehidupan. Namun, sudah saatnya umat mengambil sikap untuk perubahan secara revolusioner dengan penerapan Islam secara kaffah. Dengannya, kesengsaraan hidup di sistem sekuler kapitalis akan berakhir, tergantikan dengan kesejahteraan dan kemuliaan hidup dengan Islam. 

Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya. “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan” (QS al-A’raf: 96). []


Oleh: Saptaningtyas
Mutiara Umat Institute
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments