Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hilangnya Hak Generasi, Apa Penyebabnya?


TintaSiyasi.com -- Kementerian Kesehatan RI merilis status gizi anak Indonesia pascapandemi Covid-19 amat memprihatinkan yaitu meningkatnya angka kurang gizi pada anak. Sekretaris Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI dr. Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa setelah dua tahun pandemi, jumlah bayi kurus di Indonesia naik 15% atau sekitar 7 juta anak. Menurutnya, bayi kurang gizi merupakan tahap awal anak menuju stunting. Apabila malnutrisi terus terjadi dalam jangka waktu lama, anak berpotensi mengalami gagal tumbuh dan stunting. Kemenkes mencatat, kasus stunting di Indonesia masih 24,4%. Angka ini di atas standar WHO, yaitu 20% (Suara, 04/08/2022).

Stunting adalah kondisi terhambatnya tumbuh kembang balita akibat kurang gizi. Menurut WHO, 20% persoalan stunting sudah terjadi sejak bayi berada dalam kandungan. Walhasil, intervensi stunting harus dilakukan sejak sebelum lahir dan intervensi stunting yang utama adalah kecukupan gizi. Namun demikian, intervensi stunting ini sulit dilakukan jika persoalan kemiskinan tidak selesai. Ini karena faktor utama para ibu dan bayi mengalami malnutrisi adalah kemiskinan. Permasalahan anemia, misalnya, masih menjadi isu utama pada ibu hamil, sedangkan faktor terbesar pemicu anemia pada ibu hamil adalah stres dan kurang nutrisi.

Namun stres yang dialami oleh ibu hamil bukan karena perubahan hormon saja, tetapi juga karena persoalan hidup yang kian berat. Kemiskinan yang makin tidak terkendali menyebabkan kesehatan mental para ibu terganggu. Jangankan memenuhi nutrisi lengkap demi pertumbuhan janinnya, untuk bertahan hidup di tengah kebutuhan hidup yang amat tinggi pun mereka sudah susah payah. Setelah melahirkan pun, ibu menyusui seharusnya memperhatikan asupannya agar kualitas ASI terjaga. Namun, lagi-lagi hal tersebut sulit dilakukan di tengah penghasilan yang terus menurun. Bahkan, tidak sedikit para ibu yang lebih memilih memberikan susu formula murah pada bayi mereka agar bisa kembali bekerja.

Berbagai upaya dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan stunting. Akan tetapi, hingga saat ini upaya tersebut tidak membuahkan hasil nyata. Ini karena sejatinya persoalan stunting bukan sekadar persoalan kesehatan yang bisa selesai dengan mencukupi nutrisi ibu dan bayi. Lebih dari itu, ini merupakan persoalan sistem yang harus diselesaikan dengan perubahan sistem pula. Persoalan malnutrisi pada ibu dan bayi lahir dari problem kemiskinan yang struktural, sedangkan kemiskinan struktural diciptakan oleh kapitalisme. Sistem ini telah menjadikan fungsi negara sebatas regulator sehingga negara tidak berkewajiban menjamin kesejahteraan warganya. 

Sistem ini pun memiliki aturan baku dalam kepemilikan, yaitu liberalisme. Harta milik rakyat bisa dengan mudahnya berpindah kepada individu swasta bahkan asing. Negara tidak boleh menghalangi individu yang ingin memiliki pulau ataupun menguasai kepemilikan publik. SDA (Sumber Daya Alam) yang seharusnya mampu menjadi sumber dana untuk membiayai berjalannya negara, malah digondol korporasi. Jadilah negara mengemis pajak pada rakyat yang makin membuat kehidupan mereka terimpit. Sehingga Jelas, pangkal dari fenomena jutaan anak malnutrisi adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Padahal, anak atau generasi adalah aset bangsa yang seharusnya mendapat perhatian lebih. Di tangan mereka nasib bangsa ditentukan. 

Berbeda dengan kapitalisme yang tidak peduli nasib anak, Islam akan menjamin hak anak terpenuhi. Anak adalah bagian dari masyarakat yang wajib diurus negara. Islam menjamin kehidupan yang baik bagi anak saat dalam rahim maupun setelah lahir. Bukan hanya jaminan nutrisi, melainkan sepaket dengan pendidikan dan berbagai hak lainnya. Ini karena persoalan stunting adalah persoalan sistemis. Kapitalisme yang merusak telah sangat jelas menyebabkan anak-anak kehilangan haknya, termasuk hak hidup dengan kecukupan nutrisi. []


Oleh: Siti Munawarotil Milah
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments