TintaSiyasi.com -- Wajib pajak sejak dini, istilah ini bisa jadi benar dan juga salah. Jika mengacu pada sangkaan publik menanggapi kebijakan baru pemerintah tentang penggunaan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sekaligus menjadi NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) yang resmi diluncurkan tanggal 15 Juli 2022 dan ditransisikan hingga tahun 2023 dan berlaku sepenuhnya pada tanggal 1 Januari 2024 ini, menuai banyak sangkaan publik bahwa seluruh rakyat Indonesia otomatis menjadi wajib pajak termasuk bayi dan balita yang telah memiliki NIK. Namun, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyanggah bahwa setiap pribadi yang memiliki NIK tidak otomatis menjadi wajib pajak dan tidak diharuskan membayar pajak. Sebab wajib pajak tetap diatur berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang telah mengatur batasan wajib pajak dengan jumlah pengghasilan tertentu (bisnis.com, 24 Juli 2022).
Namun, jika mengacu pada realitas yang tengah berjalan di masyarakat, ungkapan wajib pajak sejak dini memang benar adanya karena sejak dini rakyat Indonesia telah wajib membayar pajak sesuai produk yang dikonsumsinya, bayi yang dilahirkan di rumah sakit atau tenaga medis wajib membayar pajak ketika membayar tarif tindakan medis tersebut. Jika bayi mengonsumsi susu formula dan popok sekali pakai juga membayar pajak dari harga produk tersebut karena perusahaan yang memproduksinya dan retail yang menjual membebankan pajak pada konsumen akhir. Seperti tanggapan ketua Umum Partai Garuda Teddy Gusnaidi atas reaksi Menteri Keuangan Sri mulyani terhadap tagar di media sosial yang menyerukan setop bayar pajak bahwa rakyat yang menyerukan dan tidak mau membayar pajak tidak layak tinggal di Indonesia, karena tidak mendukung kemajuan negara ini, Teddy berpendapat reaksi Sri Mulyani berlebihan terhadap tagar tersebut. Sebab menurut Teddy, rakyat Indonesia sebenarnya secara otomatis telah terikat dengan pajak dalam berbagai hal. Teddy mencontohkan konsumen rokok yang telah membayar pajak setiap kali merokok tanpa mereka sadari telah terikat dengan pajak, sehingga Sri Mulyani tidak perlu berlebihan bereaksi pada pihak yang menyerukan boikot pajak karena pada praktiknya sulit terlepas dari pajak di negeri ini (detik.com, 22 Juli 2022).
Hal yang harus menjadi perhatian adalah seruan #stopbayarpajak merefleksikan beratnya beban rakyat yang semakin terimpit dengan beragam pajak. Sebab pajak telah dijadikan sumber utama pemasukan negara selain utang. Alih-alih didengarkan oleh para penguasa, malah diancam pidana maupun sanksi moral. Tentu saja rakyat hanya dapat bersuara seperti halnya semut yang diinjak pun dapat menggigit, rakyat pun bisa dan seharusnya didengarkan ketika bereaksi, bukan justru diancam apalagi diusir dari Tanah Air tempatnya tinggal.
Di saat rakyat menyuarakan keinginan bebas dari beban pajak, justru pemerintah menerapkan aturan yang memastikan tidak ada yang lolos dari jerat pajak. Sebab, identitas kependudukan diintegrasikan menjadi kartu wajib pajak. Kebijakan jelas menggambarkan betapa rezim sekuler kapitalisme adalah rezim pemalak. Bukan pemberi riayah dan solusi bagi rakyat. Sama sekali tidak mau mendengarkan dan peduli terhadap keluh kesah rakyatnya.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Bahkan dalam Islam, negara tidak menarik pajak dari rakyatnya, sebagaimana hadis nabi Muhammad SAW, "Tidak masuk surga para penarik pajak" (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Selain melarang memeras rakyat dengan pungutan pajak, tentu saja sistem Islam memiliki mekanisme sistem perekonomian yang menjamin kesejahteraan rakyat tanpa harus memungut pajak dari rakyat. Dalam sistem ekonomi Islam kepemilikan diperhatikan dan tidak boleh dilanggar, ada jenis-jenis harta yang bisa dimiliki seluruh individu, tetapi juga ada jenis harta yang hanya dapat dimiliki dan dikelola oleh umat, di antaranya sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti air, rumput, dan api adalah milik umat serta hanya boleh dikelola oleh umat untuk kepentingan umat.
Sebagai pengelola, umat diwakili oleh negara yang bertugas melayani rakyat mengelola kekayaan alam dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Sehingga kekayaan alam dapat dinikmati seluruh rakyat dengan adil dan murah. Jika ada kelebihan kekayaan alam, dapat dijual ke luar negeri dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Namun, jika dari pengelolaan alam dan pungutan terhadap orang kafir yang tunduk dan menikmati fasilitas negara Islam (kharaj dan jizyah) tetap tidak mencukupi kebutuhan rakyat secara keseluruhan, barulah negara diperbolehkan memungut pajak yang hanya boleh dibebankan pada laki-laki dewasa Muslim yang kaya saja.
Untuk menghindari pemalakan sistemis melalui pajak yang mengikat rakyat Indonesia ini maka haruslah berjuang menerapkan kembalinya sistem Islam kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiah.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Leihana
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments