TintaSiyasi.com -- Hijab belakangan menjadi sorotan. Sayangnya, tidak dalam sorotan yang positif. Media ramai-ramai memberitakan soal dugaan pemaksaan pemakaian hijab terhadap seorang siswi SMA Negeri 1 Banguntapan. Siswi yang bersangkutan dikabarkan mengalami depresi akibat hal ini. Kepala Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY Budhi Masturi merespons kasus ini dengan menyatakan bahwa pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah negeri yang bukan berbasis agama bisa terkategori perundungan (kumparan.com, 30 Juli 2022).
Kejadian ini berbuntut penonaktifan tiga guru dan kepala SMAN 1 Banguntapan Bantul. Mendikbudristek Nadiem Makarim pun diminta agar menindak tegas sekolah negeri yang memaksa siswi mengenakan jilbab (cnnindonesia.com, 4 Agustus 2022), menyusul munculnya dugaan pemaksaan pemakaian hijab marak terjadi di sejumlah sekolah negeri di Indonesia.
Nahas sekali nasib hijab. Kali ini ia dituding sebagai ‘alat’ perundungan. Belakangan santer pula tuduhan hijab itu budaya Arab. ‘Dress code’ Muslimah ini juga diasosiasikan dengan terorisme, simbol patriarki dan diskriminasi terhadap perempuan. Bahkan, nilai hijab jauh merosot menjadi sekadar busana, seragam, atau formalitas belaka. Bukan sebagai pembuktian dan konsekuensi keimanan. Akibatnya, alih-alih dipandang sebagai bentuk perlindungan, penghormatan serta pemuliaan terhadap perempuan, stigma terhadap hijab berpusar di tengah masyarakat.
Seorang Muslim normalnya bahagia mengerjakan setiap perintah-Nya. Mengapa? Karena dari setiap penunaian perintah, Allah janjikan ridha dan surga-Nya. Dengan balasan yang sedemikian besar, Muslim akan ‘sat-set sat-set’ mengerjakannya. Sikap ini dicontohkan oleh kaum perempuan Anshar saat mendengar turunnya perintah mengenakan kerudung di QS. An-Nuur ayat 31. Sebab keimanan dan kepercayaannya kepada wahyu dari Allah SWT, semua perempuan langsung bangkit melepaskan kain sarinya tuk dipakai sebagai kerudung, seakan-akan pada kepala mereka terdapat burung gagak.
Sikap ‘kami dengar dan kami taat’ dan rasa bahagia mengerjakan perintah ini muncul dari ketakwaan pada masing-masing individu. Ketakwaan ini lahir dari proses berpikir berlandaskan kuatnya dalil (bukti) sehingga keimanan akan eksistensi Al-Khaliq Al-Mudabbir mengkristal tanpa keraguan. Sikap ini hanya bisa lahir dari pembinaan intensif yang berkelanjutan oleh keluarga, masyarakat, dan negara. Sayangnya, di sistem sekuler pembinaan semacam ini sulit dan mustahil didapat.
Sistem sekuler itu ‘menuhankan’ kebebasan. Urusan agama dianggap urusan privat, bukan untuk diperhatikan masyarakat dan negara. Seseorang jadi Muslim, agnostik, atau ateis ya suka-suka. Seorang Muslim mengerjakan perintah agamanya atau tidak, ya suka-suka karena itu hak asasinya. Sudut pandang kebebasan inilah yang membuat Muslim berpersepsi perintah Allah itu bak mubah, bisa dipilih mau atau tidak dikerjakan. Sudut pandang kebebasan ini pula yang kiranya sebabkan kewajiban hijab di sekolah dianggap perundungan. Kebebasan individu diposisikan lebih penting daripada ketakwaan individu Muslim pada Rabb-nya. Maka, tak heran ada Muslim yang berat, sulit bahagia, bahkan merasa terkekang saat mengerjakan perintah-Nya.
Ini diperparah dengan metode pengajaran agama di sistem sekuler. Pembelajaran agama yang intensif dikhususkan di sekolah agama saja, padahal semua Muslim itu wajib mengkaji agamanya. Di sekolah umum porsi pelajaran agama sangat minim. Itu pun diajarkan teoritis belaka sebagai prasyarat kelulusan, bukan dipelajari untuk diterapkan dalam keseharian. Akibatnya, tak terbentuk pemahaman yang benar terhadap syariat Islam. Alih-alih dipandang sebagai bukti cinta hamba kepada Penciptanya dan sebagai bahasa cinta Al-Khaliq kepada makhluk-Nya, syariat dipandang memberatkan, merepotkan, bentuk penindasan, pengekangan, dan hal negatif lainnya. Merebaklah pandangan ‘jangan bawa-bawa agama’. Pandangan inilah yang sebabkan kebijakan mewajibkan hijab di sekolah umum dianggap perundungan, bukan dipandang sebagai upaya dan andil sekolah mendidik siswanya untuk beriman dan bertakwa.
Sikap negara terhadap hijab juga memprihatinkan. Di negara sekuler ini, helm dianggap kewajiban disertai sanksi bagi yang melalaikannya, sementara hijab yang Allah wajibkan dianggap ‘pilihan’. Seseorang diberi kebebasan memilih pakaian yang mengumbar aurat, tetapi tidak boleh dipaksa untuk taat mengenakan hijab. Sikap negara semacam ini tentunya tidak akan berhasil mendidik masyarakat agar mementingkan kewajiban hijab. Sungguh berbeda jauh dengan sikap Rasulullah SAW. Beliau memastikan agar setiap warga negara perempuan dapat melaksanakan kewajiban berhijab dengan rasa tenang dan aman. Rasulullah sampai memerangi dan mengusir kaum Yahudi Bani Qainuqa dari Madinah tersebab pelecehan terhadap Muslimah yang mereka permainkan hijabnya.
Jelaslah, nasib nahas hijab seperti yang kita saksikan hari ini baru terjadi dan hanya terjadi setelah sistem sekuler menguasai negeri-negeri kaum Muslim pasca dihapuskannya sistem Kekhilafahan Islam tahun 1924. Hijab hanya dimuliakan sesuai kedudukannya saat sistem Islam kembali tegak. Sistem Islam akan menyelenggarakan pembinaan Islam mulai dari keluarga, masyarakat, hingga negara. Ketakwaan pada tiap individu akan terwujud hingga kebahagiaan dirasakan saat mengerjakan perintah-Nya. Kontrol di masyarakat pun terbangun sehingga kultur saling mengingatkan dalam ketaatan sangatlah lumrah, tak akan dianggap sebagai perundungan. Terakhir, di sistem Islam pun negara hadir menerapkan syariat Islam secara total hingga tak ada yang meremehkan kewajiban hijab atau berani menghalangi seseorang berhijab. Insyaallah sistem Islam itu, yakni khilafah berdasarkan metode kenabian, akan hadir sesuai janji-Nya sebagaimana diberitakan dalam bisyarah Rasul-Nya. Allahu a’lam. []
Oleh: Arif Susiliyawati, S.Hum.
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments