TintaSiyasi.com -- Sudah 77 tahun negeri ini merdeka. Terbebas dari sasaran amunisi penjajah. Tak ada yang terluka, tak ada yang ketakutan, tak ada yang terancam nyawa dan kehormatannya.
Penjajahan fisik telah usai. Namun apakah memang sudah benar-benar merdeka mengingat masih banyak rakyat negeri ini yang belum terpenuhi hak-haknya. Anak-anak banyak yang belum dapat mengakses pendidikan, sebuah keluarga belum memperoleh tempat hunian yang layak dan ada yang menempati kandang ternak. Dalam perlindungan nyawa, makin ke sini makin banyak nyawa melayang. Seorang ibu membunuh anaknya, sebaliknya anak membunuh orang tuanya. Baru-baru ini, pembunuhan juga terjadi di lingkungan sekolah. Dan mirisnya, pemegang tanggung jawab pemberi keamanan justru menunjukkan kekejiannya dengan membunuh warga sipil dan sesama anggota kepolisian.
Terjadi banyaknya masalah yang menunjukkan ketidakberdayaan negara dalam menunaikan amanahnya, tidak juga membuat pemerintah melakukan evaluasi. Dalam memperingati perayaan kemerdekaan tahun ini, istana kepresidenan justru menyemarakkannya dengan hal-hal yang sia-sia dan kurang mendidik. Bagaimana seorang anak yang berumur belasan tahun (sekira 12 tahun), Farel menyanyikan lagu percintaan yang hanya layak dinikmati orang dewasa. Sangat menjijikkan, di tengah kondisi yang memprihatinkan dengan lonjakan harga pangan akibat kenaikan harga BBM, pemerintah ibarat menari-nari di atas luka.
Apakah dibenarkan memaknai kemerdekaan dengan berhura-hura, padahal kemerdekaan diperoleh dengan pengorbanan tetesan darah? Apakah dibenarkan memaknai kemerdekaan dengan mengumbar kejumawaan dengan melalaikan aturan Tuhan, padahal kemerdekaan adalah anugerah dari Dzat Yang Maha Kuasa yang memberi kekuatan kepada bangsa Indonesia untuk lepas dari penjajahan. Maka di tahun ke-77 ini, kita patut merefleksikan kemerdekaan dengan berfokus pada makna hakiki kemerdekaan.
Jika kita renungkan, kemerdekaan adalah meliputi tiga hal, yakni kemerdekaan level individu, masyarakat dan negara. Negara yang merdeka adalah sebuah negara yang individu masyarakatnya berperilaku sesuai keyakinannya. Maka jika penduduk negeri ini ada mayoritas Muslim maka haruslah seorang Muslim diberikan kebebasan untuk merefleksikan kehidupannya sesuai dengan apa yang dia yakini, yaitu agama Islam yang berisi akidah dan ideologi. Negara sebagai pelayan memastikan tangung jawabnya untuk melindungi kepentingan kaum Muslim, memastikan tak ada penistaan agama Islam, ajarannya, ulama, dan sebagainya.
Masyarakat yang merdeka adalah masyarakat yang terjaga pola pikir dan pola sikapnya sesuai dengan agama yang diyakini (Islam). Negara harus dapat menjaga pula identitas masyarakat Muslim. Negara harus dapat menutup segala pintu masuk budaya asing selain Islam yang merusak. Seperti budaya K-Pop, LGBT, dan budaya menyesatkan lainnya yang masuk melalui makanan, film, fashion, dan sebagainya.
Sedangkan, merdeka di level negara adalah kondisi saat negara mampu terbebas dari penjajahan, baik secara fisik, politik, ekonomi, dan juga budaya. Negara mampu secara independen terlepas dari tekanan negara lain, juga terlepas dari kungkungan budaya asing. Negara mampu menunaikan tanggung jawabnya untuk menjamin kesejahteraan rakyat, melindungi kepentingan rakyat, dan memelihara kehidupan rakyat dengan terus waspada terhadap segala bentuk ancaman baik secara fisik maupun secara diplomatik. Negara harus dapat membaca berbagai bentuk kerjasama, apakah menguntungkan bagi rakyatnya ataukah tidak.
Sehingga di era kekinian, jika sebuah negara gagal menunaikan amanahnya untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat, maka negara itu dapat dikatakan sebagai negara yang belum merdeka (secara non-fisik) atau negara jajahan. Sebab, tak jarang kita dapati, atas nama liberalisme, negara-negara besar seperti Amerika dan China melalui forum-forum dunia, melakukan tekanannya terhadap negara lainnya. Negara-negara besar, dalam menjaga eksistensi dan pengaruhnya di dunia, juga menggunakan pemikiran, gaya hidup dan budaya yang merusak. Atas nama globalisasi sebuah bangsa dipaksa untuk meninggalkan identitasnya. Begitu juga dengan negeri-negeri Muslim. Dalam kondisi inilah kemerdekaan negara terancam. Terpengaruhnya sebuah negara terhadap asing, sehingga permisi terhadap pemikiran pemikiran merusak seperti sekularisme, liberalisme, hedonisme, individualisme, modernisme maka sejatinya sebuah negara belum merdeka, karena sebuah individu, masyarakat, dan negara telah tertawan hidupnya oleh budaya asing. Akibat gempuran budaya dan.pikiran asing, terjadilah pengabaian tanggung jawab negara sehingga tak ada jaminan pekerjaan, jaminan perlindungan kehormatan, harta, dan nyawa.
Untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki, tak ada jalan lain kecuali dengan mensyukurinya lalu menerapkan aturan Allah SWT dengan penuh kesadaran bahwa mengingkari aturan Allah adalah wujud kelalaian dan kezaliman yang berbuah laknat. Allah mengganjar kesempitan dan kesusahan hidup di dunia dan jika sampai meninggal dunia belum taubat, maka neraka jaminannya, na'udzubillah.
Untuk merefleksikan kemerdekaan dalam level negara, adalah dengan menyesuaikan arah dan tujuan bernegara sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Sebuah negara yang menerapkan aturan Allah dalam berbagai kebijakannya. Hanya dengan inilah kemerdekaan, baik secara individu, masyarakat, dan negara dapat terwujud.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Liyah Herawati
Kelompok Penulis Peduli Umat
0 Comments