Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ketika Aturan Berhijab Dianggap Bikin Depresi Siswi


TintaSiyasi.com -- Sekolah adalah salah satu dari sekian banyak lembaga Pendidikan di negeri ini yang diharapkan mampu mencetak generasi mendatang yang tak hanya berilmu tetapi juga berakhlak mulia. Namun, bagaimana jika sekolah dan para pendidiknya justru dianggap merundung dan membuat depresi muridnya karena sebuah peraturan?


Anjuran Hijab Dianggap sebagai Pemaksaan

Setelah sekian lama umat Muslim merasa lega karena siswa-siswi sudah mengenakan seragam yang jauh lebih sopan, rok panjang semata kaki dan celana panjang sejak SD hingga SMA, kini sebuah kasus yang terjadi di SMAN Banguntapan, Jogjakarta, mencuatkan kembali polemik tentang penggunaan hijab di area sekolah yang sebenarnya sudah sering terjadi. 

Dilansir dari Kumparan News tertanggal 31 Juli 2022 silam, seorang siswi diduga tertekan setelah dipaksa mengenakan hijab oleh guru BK di sekolah tersebut. Bahkan siswi yang diberitakan mengurung diri di kamar setelah kejadian mengalami depresi hingga butuh bantuan psikolog [Detik.com, 29 Juli 2022].

Kasus yang terjadi di SMAN Banguntapan ini dijadikan alat untuk memicu dikuaknya kembali kasus-kasus sebelumnya tentang dugaan adanya pemaksaan menggunakan hijab di lingkungan sekolah. 


Ketika Sang Ibu Menggugat

Adalah Herprastyani Ayuningtyas, ibunda dari siswi yang depresi akibat kasus dugaan pemaksaan hijab yang melakukan gugatan kepada pihak SMAN 1 Banguntapang, Yogyakarta. Herprastyani yang seorang Muslimah berhijab meminta pihak sekolah, pemerintah DIY, serta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bertanggung jawab penuh atas depresi yang menimpa putrinya usai pemaksaan hijab tersebut. Dia menginginkan putrinya yang saat ini terguncang pulih seperti sedia kala [Medcom.id, 5/8/2022].

Dalam sebuah surat terbuka yang ditulis, Herprastyani mengungkapkan bahwa putrinya sudah terbiasa dengan tekanan dikarenakan kondisi kedua orang tua yang sudah berpisah. Baginya, dia tetap menghargai keputusan dan prinsip sang putri yang memilih tidak mengenakan hijab sebab setiap perempuan memiliki hak untuk menentukan model pakaiannya sendiri. 

Tentu terasa miris mendengar pernyataan ini dari seorang ibu. Ini karena ibu merupakan madrasatul ula, pendidik paling dasar dan paling utama seorang anak. Jika sang ibu saja tidak memahamkan kewajiban menutup aurat kepada putrinya sebagaimana ketentuan Allah yang dijalankannya, malah memberi kebebasan berpakaian sesuai ingin, bagaimana bisa kita mengharapkan orang lain semisal gurunya untuk membuat paham? 


Tantangan Pendidik Membangun Generasi Taat Beragama

Sungguh pilu rasanya mendapati fakta bahwa kasus ini berbuntut kepala sekolah dan guru yang diberhentikan sementara dari jabatan mereka. Betapa tantangan pendidik untuk memahamkan generasi tentang kewajiban taat kepada Allah semakin besar. Padahal, negara kita jelas merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak dan sudah sepatutnyalah gadis yang sudah memasuki baligh diperintahkan menutup aurat. 

Jika sekadar imbauan mengenakan hijab dianggap pemaksaan, pelanggaran HAM, lalu mau jadi apa generasi penerus bangsa yang mayoritas Muslim ini ke depannya? Jika perhatian dan kepeduliaan guru terhadap ketaatan siswinya atas aturan Allah demi kebaikan justru membuatnya dituntut, lalu masih adilkah kita menuntut moral siswa-siswi negeri ini jadi lebih baik di tangan mereka? 

Tak heran jika saat ini banyak guru yang memutuskan hanya menjalankan kewajiban memberikan materi ajar tanpa mendidik moral sebab enggan berurusan dengan hukum. Kalau sudah begini, bagaimana dan kepada siapa lagi kita menyerahkan pendidikan moral, etika, terlebih akhlak anak-anak kita?

Tentu ini adalah kehancuran yang sangat besar bagi manusia terutama umat Muslim ketika sosok guru tak lagi dihormati dan dihargai, terlebih ketika menyampaikan aturan Allah. Siswi Muslim yang telah baligh dan telah wajib hukum berhijab kepadanya pun merasa terpaksa, terintimidasi, bahkan depresi ketika diingatkan gurunya. 


Islamofobia dan Buah Agama yang Dipisahkan dari Kehidupan

Potret kasus sejenis ini adalah bukti tak terelakkan bahwa produk pendidikan sekuler kapitalis hari ini hanya menghasilkan generasi yang fokus akan pencapaian akademik semata tetapi lalai membangun iman, takwa, bahkan moral anak bangsa. Negara adalah salah satu unsur penting yang bertanggung jawab dalam hal ini karena negara merupakan pencipta kurikulum sekolah di mana untuk kurikulum terbaru sudah sangat minim pendidikan agama dan alhasil sukses memisahkan agama dari kehidupan siswa-siswi negeri ini. 

Sebuah kasus serupa tapi tak sama terjadi di Bali dalam beberapa tahun lalu, saat seorang siswi SMAN Denpasar dilarang mengenakan hijab dan diberi pilihan pindah sekolah jika tetap bersikeras [Merdeka.com, 8/1/2022]. Pun kasus lainnya baru-baru ini di SDN Gunungstoli di mana seorang siswi menangis karena dilarang mengenakan hijab di sekolah [Kompas.co, 14/7/2022]. Jika benar Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi hak beragama yang tertuang dalam undang-undang dan sangat anti intoleransi, lalu mengapa kasus pelarangan hijab masih terjadi? Mengapa pada kasus penganjuran berhijab jadi viral dan dicap sebagai pemaksaan lalu menghebohkan negeri sementara kasus sebaliknya justru seperti teredam dan hilang begitu saja. 

Tentu hal ini merupakan dampak dari opini buruk tentang Islam yang digulirkan secara masif selama ini dan membentuk Islamofobia di masyarakat. Umat Islam secara perlahan tapi pasti mulai dipisahkan dari ajaran agamanya, dari aturan Rabb-nya jika ingin bermasyarakat dan telah dimulai sejak di bangku pendidikan.


Islam Adalah Agama Ilmu

Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi ilmu dan pendidikan. Dalam Al-Qur'an sendiri Allah SWT telah berjanji memuliakan kedudukan para penuntut ilmu dibanding hamba lainnya. Al Imam Al Ghazali pernah menyampaikan, esensi dari ilmu adalah untuk mengetahui apa itu ibadah dan ketaatan. Dengan ilmulah, manusia diharapkan mampu menjalani kehidupan sebaik-baiknya, mencari ridha Allah, dan bekal untuk pulang ke kampung akhirat.

Manusia diciptakan dengan tujuan untuk menyembah Rabb-nya dan semua kewajiban ketaatan seorang Muslim sudah melekat kepadanya sejak memasuki usia baligh. Maka, sudah pasti untuk menciptakan generasi yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak islami, dibutuhkan sistem pendidikan berlandaskan Islam yang memperkenalkan, mengajarkan, hingga membiasakan aturan Allah kepada para siswa dari usia awal persekolahan. Agar ketika memasuki usia baligh, setiap siswa mampu taat dan ridha dengan syariat karena memahami kewajibannya sebagai hamba dan untuk apa dirinya diciptakan di dunia ini.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Virlyana Rahman
The Voice of Muslimah Papua Barat
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments