Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kedok Radikal, Bendera Kebencian kepada Islam Makin Berkibar


TintaSiyasi.com -- Isu radikal kerap menjadi perbincangan tak berkesudahan. Pemerintah semakin menekan untuk segera membentengi masyarakat dari terpaparnya virus radikalisasi. Terkhusus para remaja, pemerintah melihat ide radikal yang konon di usung oleh sejumlah kelompok, bertujuan untuk mencuci otak para remaja. Kini pemerintah menghimbau untuk fokus pembentengan ide radikal pada taraf pendidikan, agar dapat mencegah menjalarnya ide radikal di tengah para pelajar.

Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono mengatakan, berlangsungnya tahun ajaran baru dunia pendidikan, khususnya tingkat perguruan tinggi harus meningkatkan kewaspadaan terhadap gerakan kekerasan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang disandarkan pada pemahaman agama yang salah. Ia mengklasifikasikan gerakan tersebut berupa intoleransi, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme. 

Berdasarkan catatan Global Terrorism Index 2022 menyebut bahwa sepanjang tahun 2021, terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia. Korban meninggal akibat aksi tersebut mencapai 7.142 jiwa. Dalam keterangan tertulisnya, Jum’at (12/8/22), Gatot mengatakan, “Tidak sedikit dari jumlah tersebut adalah anak anak, perempuan, dan golongan usia renta, hal ini menunjukkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan”. Ia juga mengatakan bahwa aksi terorisme dimana data yang dimiliki oleh Densus 88 menunjukkan angka yang tinggi. Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari gerakan radikalisme yang tujuan utamanya menyasar kalangan anak muda dengan masuk ke wilayah pendidikan. “Dalam lima tahun terakhir ini saja, dunia pendidikan kita khususnya kampus, masih menjadi incaran utama kelompok radikal-terorisme” tambahnya. Ia menyatakan sebagaimana yang dilaporkan oleh PPIM (2020), 24,89% mahasiswa Indonesia terindikasi memiliki sikap intoleran. Dari sumber lain, Alvara Research (2020) melaporkan bahwa 23,4% mahasiswa dan pelajar Indonesia mengaku anti-Pancalisa dan malah pro-khilafah.

Radikalisme sendiri memiliki beragam makna. Makna yang pertama, radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan ketiga, radikalisme adalah sikap ekstrem dalam aliran politik. Gatot menerangkan terkait pergerakan radikalisme. Ia menjelaskan, radikalisme terjadi secara bertahap dan dengan kadar yang berbeda-beda pula. Umumnya, radikalisme bermula dari intoleransi, yakni sebuah pemahaman dan sikap yang menolak keberadaan kelompok lain dan risih dengan perbedaan. 

Namun faktanya yang ada di tengah-tengah kita, sering kita jumpai, baik di televisi, media sosial, bahkan kehidupan riil, stempel radikalisme senantiasa disematkan kepada orang-orang yang memperjuangkan agama Islam. Seakan radikal tidak dapat dilepaskan dari Islam. Seorang Muslim yang ingin menjaga keislamannya, menunjukkan kuatnya ia dalam memegang pondasi syariat Islam, justru dianggap fanatik terhadap agamanya. Bagi yang menyuarakan Islam segera dilontarkan puing-puing kata radikal, yang menjadikan Islam sebagai momok yang menyeramkan. 

Ada apa sebenarnya di balik stempel radikal yang seakan dipaksa menjadi prangko agama Islam? Pasca-perang dingin, AS telah memilih Islam sebagai lawan dari ideologi nya yang mengancam nilai, kebijakan, dan hegemoni globalnya. 

Di depan kongres AS, (20/09/2002), Presiden Bush mengajak seluruh pemerintah global untuk melawan terorisme, bentuk perjuangan bagi orang yang mempercayai kemajuan dan pluralisme, toleransi, dan kebebasan. Pernyataan Bush ini mengindikasikan bahwa perlawanan terhadap terorisme adalah melawan ideologi yang mengancam nilai-nilai ideologi kapitalisme-pluralisme, toleransi dan kebebasan, di mana AS dan sekutunya (Barat) berperan sebagai penjaga kapitalisme global. Dalam sebuah diskusi tentang Global War on Terrorism (GWoT) di Washington DC (5/9/2006), Bush kembali menguat kan bahwa terorisme adalah mereka yang memiliki cita-cita mewujudkan kekuasaan politik yang disebut Khilafah. Menurutnya mereka berharap dapat membangun utopia politik yang penuh kekerasan di Timur Tengah, yang mereka sebut Khilafah di mana semua akan di atur secara global oleh ideologi kebencian mereka. 

Jelaslah, berbagai narasi yang mengaitkan aksi teror dengan Islam, yang pada faktanya memang bertentangan dengan nilai-nilai kapitalisme, menunjukkan bahwa perang peradaban yang dikatakan ‘memerangi terorisme' sejatinya adalah perang melawan ideologi Islam, Islam sebagai tata aturan dan nilai-nilai kehidupan, yakni Islam politik.

Pergerakan AS semakin kencang. AS mulai mendorong keterlibatan “komunitas Muslim” di negara-negara mayoritas Muslim dan minoritas Muslim, serta pemerintahan global, dan Indonesia pun menjadi target untuk mengikuti program yang sedang di lancarkan oleh Barat. Jangkauan pencegahan kontraterorisme pun semakin luas, AS merangkul pendekatan ke seluruh tingkatan masyarakat yang harus mendukung upaya Barat bersama. Maka, mulailah babak baru melawan Islam dengan melibatkan aktor dan sasaran yang lebih luas.

Tergambar dengan jelas, bahwa stempel radikal yang kerap di semat kan kepada Islam, sejatinya berasal dari arahan Barat. Dengan kronologi tersebut, Barat sengaja memonterisasi Islam di benak kaum Muslim sendiri. Dengan dijadikannya sistem kapitalis global sebagai dasar berbagai negara, maka menjadi keniscayaan setiap ideologi, ide-ide ataupun nilai yang bertentangan dengan ide kapitalisme dianggap sebagai ancaman besar, harus di musnahkan, meskipun di negara yang mayoritasnya adalah Muslim. Menjadi keniscayaan juga, kaum Muslim menjadi takut dan enggan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai ideologi Islam. Barat berhasil menumbuhkan bibit-bibit kebencian di benak kaum Muslim terhadap ajaran agamanya sendiri. 

Tak lupa Barat membidik para pemuda, untuk dijadikan pengemban ide-ide mereka. Khususnya pemuda muslim menjadi kata kunci dalam isu perang melawan terorisme dan ekstremisme. Dengan memberikan beragam fasilitas yang bermaksud untuk menunjang kreativitas pemuda, sejatinya di selipkan tujuan tertentu untuk keberlangsungan program Barat sendiri. Melalui proyek-proyek keterampilan, pelatihan kejujuran, beasiswa, kesempatan keterlibatan masyarakat dan pelatihan kepemimpinan. 

Potensi besar yang dimiliki pemuda Muslim di arahkan untuk menjalankan strategi global hingga nasional, atas nama melawan terorisme dan ekstremisme. Jadilah potensi pemuda Muslim di bajak, untuk menjalankan program Barat dan melemahkan Islam di waktu yang sama.

Maka pemerintah Indonesia juga tak bakal tinggal diam. Kapitalisme yang dijadikan sebagai dasar negaranya, berhasil merubah para pemimpin negeri ini yang seharusnya menjaga Islam salah satunya sebagai agamanya, justru dibuat takut bahkan menganggap akan menghancurkan tatanan kekuasaannya. Maka wajar, jika pemerintah cukup ketat dalam menjaga dunia pendidikan dari pengaruh radikalisme, yang dianggap dapat merusak rasa intoleran dalam diri pelajar. 

Pada hakikatnya, program kontraterorisme sejatinya ingin menghancurkan Islam menggunakan para penganutnya sebagai agen-agennya. Menghilangkan rasa keimanan dan ketundukan terhadap seluruh syariat Islam. Pendidikan yang dibingkai dalam sistem kapitalis akan melahirkan pelajar yang justru memusuhi agamanya sendiri. Benci dengan agamanya bahkan merasa terancam. Inilah sebenarnya tujuan Barat. Dari awal penyematan kata radikal sampai pada tahap pemilihan agen-agennya yang berasal dari kaum Muslim. 

Maka penting bagi seorang pendakwah yang menyuarakan ide ideologi Islam di tengah-tengah umat untuk mengetahui gerak laju paham kapitalisme. Menyampaikan ke tengah-tengah umat betapa kejamnya sistem saat ini yang berusaha untuk menjauhkan individu dari syariat Tuhannya. Menjadikan sosok Tuhan sangat menakutkan beserta syariat-Nya. 

Pemuda Muslim harus sadar bahwa mereka adalah kunci keberhasilan Barat melawan Islam, sekaligus kunci keberhasilan dan kemenangan Islam. Potensi yang dimiliki oleh pemuda Muslim, menjadikan mereka sebagai garda terdepan untuk mengembalikan kejayaan Islam dalam naungan khilafah. Bekal terpenting dalam perjuangan dakwah adalah menumbuhkan keimanan dalam benak umat yang akan melahirkan ketaatan kepada Allah, tunduk kepada syariat-Nya, dan menumbuhkan kebencian terhadap musuh-musuh Allah. Keduanya adalah bekal terpenting seorang Mukmin untuk tetap dalam agamanya. Keimanan akan melahirkan ketaatan dan ketundukan terhadap syariat, dorongan kuat untuk melaksanakan syariat serta memperjuangkannya. Juga keyakinan bahwa khilafah adalah janji Allah dan bisyarah dari Rasulullah, bukan berupa khayalan apalagi sebuah ancaman.

Umat harus disadarkan bahwa saat ini orang-orang kafir ingin memberikan tipu daya untuk menyesatkan umat. Dengan dalih deradikalisasi, atau penanganan terhadap ide radikal sejatinya ingin menjauhkan ummat dari nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Dalam QS. Al-Baqarah : 257, yang artinya : 

Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Wallahu a’lam. []


Oleh: Priety Amalia
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments