TintaSiyasi.com -- Kebakaran hutan dan lahan kerap kali terjadi di Indonesia. Sejak awal tahun 2022 telah terjadi 131 peristiwa kebakaran hutan dan lahan telah terjadi (republika.co.id). Salah satu contoh peristiwa kebakaran adalah sebagaimana yang dilaporkan oleh Balai Pengendalian Perubahan Iklim Kebakaran Hutan Kementerian Lingkungan Hidup Wilayah Sumatera Selatan bahwa telah terjadi peningkatan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatera Selatan pada 2022. Yakni mencapai 240 hektare (jawapos.com).
Selain di daerah Sumatera Selatan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau juga mencatat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seluas 651,65 hektare pada Januari sampai Juni 2022. Seluruhnya berhasil dipadamkan tim gabungan (merdeka.com). Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemadam Kebakaran (Damkar) Bintan Timur mencatat, setidaknya ada dua kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di awal tahun 2022. Kepala UPT Damkar Bintan Timur Nurwendi menuturkan, dua lokasi itu yaitu di Kampung Wacopek, Kelurahan Gunung Lengkuas seluas kurang lebih satu hektar. Lalu di Kampung Lengkuas, Kelurahan Kijang Kota seluas kurang lebih dua hektare (pikiran-rakyat.com).
Kebakaran hutan umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia baik disengaja maupun tidak disengaja saat membuka lahan untuk kegiatan perkebunan dan pertanian. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Stasiun Meteorologi El Tari Kupang BMKG Agung Sudiono Abadi. Selain itu kebakaran juga terjadi akibat tindakan warga yang membuang puntung rokok ataupun petasan yang membuat api mudah tersambar pada rumput atau daun yang kering (tribunnews.com).
Dengan adanya fenomena kebakaran ini pemerintah Indonesia mulai mengantisipasinya. Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen TNI Suharyanto. BNPB telah membentuk Desa Tangguh Bencana Karhutla sebagai upaya pencegahan. Selain itu BNPB juga melakukan edukasi kepada publik terkait mitigasi karhuta. Di sisi lain, BNPB juga mendorong pemerintah daerah untuk melakukan mitigasi jangka panjang berbasis vegetasi (pikiran-rakyat.com).
Fenomena kebakaran hutan dan lahan kerap terjadi di Indonesia. Kebakaran ini tidak hanya terjadi pada satu wilayah saja di Indonesia. Tapi juga di beberapa tempat lainnya. Meski ini bukan pertama kalinya terjadi, namun pemerintah Indonesia seolah kurang sigap dalam mencegah atau mengatasinya. Mengapa demikian? Jika kita dalami maka penyebab sesungguhnya dari kebakaran hutan ini dikarenakan adanya kerakusan dari manusia. Pembukaan lahan dilakukan dengan membakar hutan tanpa memperhatikan aspek yang lain. Inilah karakter asli dari kapitalisme. Menghalalkan segala cara demi mendapatkan keuntungan. Padahal jika kita lihat maka pembukaan lahan dengan cara dibakar akan menyebabkan matinya flora dan fauna. Juga kandungan biota yang ada di permukaan tanah.
Dalam kasus kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia meskipun sudah diatur dalam undang-undang yaitu pada pasal 26 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Namun selama ini pemerintah kurang tegas dalam menjalankan undang-undang tersebut. Apalagi jika melibatkan para pemilik modal. Di sisi lain pemerintah juga memberikan hak guna kepada perusahaan. Ini kemudian menggeser fungsi dari hutan. Selain itu juga menggeser penggunaan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh rakyat kebanyakan namun dengan hak guna ini akan membatasi penggunaan pada orang-orang yang memiliki modal saja. Ini adalah salah satu bentuk kapitalisasi hutan. Apalagi bagi pemegang hak guna ini maka keuntungan adalah yang utama. Pembukaan lahan dengan membakar merupakan salah satu upaya yang mudah dan murah. Sehingga jalan inilah yang ditempuh. Tanpa peduli efeknya bagi yang lain.
Dalam hal distribusi tanah, pemerintah Indonesia memang sangat tidak adil. Pembagian pengolahan lahan lebih banyak diberikan kepada para korporasi daripada kepada rakyat. Padahal korporasi ini jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan rakyat yang jumlahnya berjuta-juta. Pemerintah sangat loyal dalam memberikan izin kepada para investor, tanpa peduli dampak buruknya dalam jangka panjang. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), pada awal tahun 2021, terdapat total 8.588 izin usaha pertambangan atau 44 persen dari luas daratan di Indonesia. Bahkan, sebanyak 738 izin di antaranya terhubung dengan kawasan rawan bencana. Selain untuk pertambangan, perizinan juga diberikan kepada perkebunan. Menurut organisasi non-pemerintahan TuK Indonesia, pada tahun 2015, sebanyak 29 taipan mengendalikan 25 grup usaha besar yang menguasai 5,1 juta hektare dari 10 juta hektare lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas itu hampir setengah luas Pulau Jawa. Inilah buah dari sistem kapitalis. Sistem hukum yang ada justru lebih berpihak pemilik modal.
Ini berbeda dengan sistem Islam. Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasul SAW bersabda: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api" (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Sebagai milik umum maka hutan haram diserahkan hak gunaya kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan pelaksanaan syariat ini maka akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dalam hal pengelolaannya, maka pengelolaan kepemilikan umum dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. Hal ini tentunya dilakukan dengan tujuan untuk melestarikan rakyat. Sehingga akan terjadi keseimbangan agar kepentingan ekonomi, rakyat, dan kelestarian hutan. Selain itu, negara juga harus melakukan proses edukasi di tengah masyarakat membangun kesadaran mereka untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.
Namun jika masih ada kebakaran hutan akan segera dilakukan upaya penanganan oleh pemerintah. Selain upaya penanganan ketika terjadi kebakaran pemerintah juga melakukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kebakaran. Menggunakan manajemen dan kebijakan tertentu dengan memanfaatkan teknologi mutakhir dan dengan memberdayakan para ahli serta masyarakat umum. Dengan demikian maka kebakaran hutan bisa dicegah dan diantisipasi sebelumnya.
Wallahu a'lam alam bishshawab. []
Oleh: Desi Maulia
Praktisi Pendidikan
0 Comments