TintaSiyasi.com -- Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru dunia. Begitu pentingnya peran hutan di negeri ini bagi bumi. Hal ini disebabkan Indonesia termasuk negara yang memiliki hutan hujan tropis terluas ke-3 setelah Brasil dan Kongo. Tapi sayang, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) setiap tahun terus berulang. Kali ini karhutla terjadi di Provinsi Riau, hutan dan lahan yang terbakar mencapai 1.060,85 hektare. Luas area ini didata mulai periode Januari-Juli 2022.
Ketua Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Riau, Edy Afrizal, menyampaikan rekapitulasi luas lahan kejadian karhutla tersebut tersebar di berbagai kabupaten/kota di Riau. Terdapat 12 kabupaten dan kota yang mengalami karhutla. Empat kabupaten di antaranya menjadi kawasan paling luas mengalami karhutla. Penyebab karhutla tidak selalu diakibatkan oleh faktor kondisi cuaca. Beberapa kasus karhutla justru terjadi karena ulah manusia (kumparan.com, 05/08/2022).
Indonesia pun menjadi sorotan dunia karena kerusakan hutan yang semakin parah. Hutan yang luas dan hijau mengalami penyusutan setiap tahun. Penyebab karhutla terbesar di Indonesia ditengarai akibat ulah manusia, terutama dalam rangka pembukaan lahan.
Pembukaan lahan biasanya dilakukan pada saat musim kemarau dengan cara membakar hutan. Pembakaran hutan sangat menguntungkan karena lebih murah, cepat, dan efisien dibandingkan membuka lahan dengan cara menebang pohon. Hal inilah yang menyebabkan bencana kebakaran dan kabut asap kerap terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Setelah pembakaran hutan maka lahan tersebut disulap menjadi ribuan hektar kebun kelapa sawit.
Sesungguhnya, akar permasalahan karhutla bukan hanya perkara teknis saja, tapi menyangkut paradigma pengelolaan hutan dan lahan. Pembuat kebijakan telah gagal dalam membuat aturan tentang pengelolaan hutan. Hal ini karena pembuat kebijakan merujuk kepada sistem kapitalis. Pemerintah hanya sebagai regulator untuk membuat kebijakan sesuai dengan keinginan swasta yang mendukungnya ketika mencalonkan diri sebagai pemimpin.
Karakter kapitalisme yang menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan dan privatisasi, menjadikan pemerintah dengan leluasa menyerahkan pengelolaan kepada swasta atau pribadi. Sedangkan pemerintah cukup menerima pajak dari swasta. Ketika perusahaan swasta membuka lahan, tentunya mereka berpikir bagaimana membuka lahan dengan biaya murah dan menguntungkan. Maka pembakaran hutan menjadi pilihan tepat bagi mereka. Masalah kerusakan alam bukanlah perkara yang penting bagi perusahaan swasta. Maka wajar jika karhutla tidak akan pernah berakhir.
Karena itulah, karhutla akan sangat sulit diatasi dengan kapitalisme. Bahkan musibah akan terus terjadi. Hutan yang digadang-gadang menjadi paru-paru dunia malah menjadi terbakar dan menyebabkan sakit paru-paru. Seharusnya musibah yang terjadi menyadarkan para pembuat kebijakan untuk beralih ke sistem yang bisa mencabut akar permasalahan yang membelenggu negeri ini.
Hanya sistem Islamlah yang bisa menyelesaikan masalah ini dengan aturan-aturannya yang bersumber dari Allah SWT. Allah SWT berfirman, “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (TQS ar-Rum [30]: 41).
Paradigma Islam memposisikan hutan merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh diserahkan kepada individu atau swasta. Negaralah yang berperan sebagai pengelola hutan untuk kemaslahatan rakyat. Pengelolaan yang dilakukan negara akan mempermudah mendistribusikan hasil hutan untuk kepentingan rakyat. Selain itu negara bersama rakyat wajib menjaga kelestarian alam, karena Allah SWT pun telah memerintahkan manusia untuk memakmurkan bumi.
Masalah karhutla dan kabut asap akan segera berakhir dengan penerapan Islam secara kaffah. Sudah seharusnya negeri ini kembali kepada Islam, bukan bersikukuh berpegang kepada sistem kapitalis yang rusak. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Triana Noviandari
Pegiat Literasi
0 Comments