TintaSiyasi.com -- Baru-baru ini, Bandung menjadi tuan rumah bagi agenda internasional Urban 20, yang menjadi bagian dari agenda G20. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung, Gin Gin Ginanjar mengatakan, Kota Bandung terpilih menjadi tuan rumah karena dianggap sukses membangun konsep ketahanan pangan mandiri melalui program Buruan SAE. Urban 20 kali ini mengambil tema meningkatkan ketahanan pangan kota dan menciptakan future work melalui urban farming yang berbasis budaya dan teknologi. Forum tersebut mencoba merumuskan gagasan dan solusi mengenai isu Ketahanan Pangan yang akan dibahas pada Presidensi G20. Acara ini didukung penuh oleh Milan Urban Food Policy Pact (MUFPP), Uni Eropa dan beberapa lembaga internasional lainnya. Untuk diketahui, Kota Bandung merupakan ketua Milan Urban Food Policy Pact (MUFPP) regional Asia Pasifik. MUFPP merupakan pertemuan para wali kota atau utusan kota dunia di Milan, Italia telah melahirkan Milan Urban Food Policy Pact (Pakta Kebijakan Pangan Perkotaan) (bandung.go.id, 02/07/2022).
Forum yang melibatkan kepala daerah secara internasional ini, membuat mereka terlibat aktif dalam menciptakan kebijakan secara langsung. Forum ini juga merangkul semua negara maju dan berkembang, sebagai anggota G20, untuk sama-sama menciptakan stabilitas perekonomian dalam skala kecil, dengan harapan, dampaknya bisa besar dan luas.
G20, Urban20, Alat Penjajahan
Sekilas, Urban20 sebagai bagian dari G20, tampaknya terlihat sebagai forum internasional yang luar biasa, terlebih bagi masyarakat Indonesia. Tahun 2022 ini, Indonesia menjadi presidensi alias tuan rumah G20. Mengutip dari g20.org, G20 adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (UE) yang memiliki kelas pendapatan menengah hingga tinggi, negara berkembang hingga negara maju. Anggotanya terdiri dari negara-negara dari berbagai kawasan di dunia, yakni Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Argentina, Brasil, Inggris, Jerman, Italia, Prancis, Rusia, Afrika Selatan, Arab Saudi, Turki, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Indonesia, Australia, dan Uni Eropa. Sementara Urban 20 adalah konferensi internasional bagian dari G20, dengan skala yang lebih kecil, melibatkan peran langsung kepala daerah dan kota. Dikutip dari sherpag20indonesia.com, Urban 20 (U20) adalah pertemuan outreach group yang bertujuan untuk membawa masalah perkotaan ke garis depan agenda G20. U20 merupakan forum bagi para pemimpin pemerintah daerah kota-kota U20, diantaranya untuk melakukan aksi terhadap iklim global dan pembangunan berkelanjutan kepada para pemimpin nasional. Komitmen dan pesan dari U20 dibagikan terhadap Presidensi G20 dan kepala negara.
Didaulat sebagai tuan rumah G20, Indonesia memegang peranan penting dalam konferensi serta forum internasional ini. Indonesia menduduki peringkat 10 dalam daftar paritas daya beli (purchasing power parity) di antara anggota G20. Indonesia di mata dunia diakui sebagai kekuatan pasar baru (New Established Emerging Market) dengan PDB di atas 1 Triliun dolar AS. Indonesia menunjukkan kepemimpinan di kancah global salah satunya dengan menjadi presidensi G20. Dari skala ekonomi, G20 adalah forum internasional yang merepresentasikan lebih dari 2/3 penduduk dunia, 3/4 perdagangan global dan 80% PDB dunia (diskominfo.bandungkab.go.id, 29/07/2022). Dengan banyak pujian serta catatan prestasi ekonomi Indonesia yang melampaui capaian negara-negara lain, Indonesia dengan percaya diri memiliki cita-cita bahwa negara ini akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Wajar jika akhirnya tataran lokal, seperti kepala daerah dan kota, diajak berperan secara aktif dan langsung dalam Urban 20, membawa isu-isu perkotaan atau daerah yang dinilai akan berdampak besar terhadap stabilitas ekonomi dunia, demi harapan dan cita-cita yang sudah disebutkan oleh pihak internasional tersebut.
Namun sejatinya, keterlibatan Indonesia pada forum G20 ataupun Urban20 tidaklah menjadi catatan yang membanggakan, atau bahkan membuat kondisi masyarakat Indonesia menjadi baik. Prediksi, prestasi, dan peringkat tersebut hanyalah kamuflase atau angan-angan di atas angin yang kosong. Produk domestik bruto yang selalu menjadi tolok ukur pertumbuhan ekonomi sesungguhnya tidak menggambarkan tingkat kesejahteraan setiap individu penduduk. Pertumbuhan tersebut hanya dihitung berdasarkan jumlah rata-rata, sedangkan penduduk berpenghasilan tinggi dan rendah jumlahnya sangat timpang. Justru penghasilan para kapitalis, atau pemilik modal yang berkontribusi terhadap angka PDB (produk domestik bruto), bukan mayoritas masyarakat yang berpenghasilan rendah. Ini sama sekali tidak mewakili kesejahteraan masyarakat.
Lagipula secara politik, posisi Indonesia tetap lemah di hadapan negara adidaya seperti AS, Inggris, Jerman, Prancis, Rusia, dan Tiongkok, yang juga menjadi anggota G20. Bagi Indonesia, forum semacam Urban 20 yang dalam forum itu mengangkat ketahanan pangan sebagai program unggulan, diprediksi akan bisa menaikkan produksi pangan dari petani dan akan menciptakan ketahanan pangan bagi masyarakat. Namun, masyarakat tidak boleh lupa. Pupuk dan pestisida, serta banyak teknologi dan produk untuk menunjang pertanian lainnya, masih diimpor oleh Indonesia. Misalnya, Indonesia adalah negara pengimpor pupuk terbesar bagi Tiongkok. Begitu pula dari Rusia, Australia, dan Kanada. Hal ini membuat Indonesia akan mudah disetir jika ketergantungan satu produk impor begitu besar. Belum lagi pada sektor strategis lainnya. Posisi dan daya tawar Indonesia akan selalu mengikuti arahan kepentingan kapitalis global. Indonesia berperan untuk memenuhi kehendak kapitalis global.
Setiap forum ekonomi internasional akan selalu mengikat negara yang terlibat. Mereka harus tunduk dan mengikuti ketetapan internasional. Hal itu sudah menjadi rumus baku kapitalisme melakukan penjajahan ekonomi. Tanpa menjajah, kapitalisme tidak akan bisa menancapkan hegemoninya. Selain itu, isu perkotaan dan daerah yang diangkat serta diteruskan ke forum agenda global G20, juga akan bisa memberikan data terkait persebaran potensi ekonomi masyarakat, ataupun kekayaan alam sebuah negeri. Sehingga hal tersebut akan menjadi lahan baru yang segar dan menggiurkan bagi para kapitalis untuk semakin melanggengkan neoimperialismenya.
Ketahanan dan Kemandirian Pangan dalam Islam
Dalam Islam, nilai PDB atau produk domestik bruto, bukan menjadi patokan untuk menentukan pendapatan nasional, atau melihat adanya peningkatan ekonomi suatu negara, atau bahkan melihat tingkat kesejahteraan rakyat. Islam melihat tingkat kesejahteraan rakyat secara individu per individu. Oleh karena itu, negara sangat memperhatikan aspek kesejahteraan seluruh rakyatnya secara terperinci, dan tidak menyerahkannya kepada swasta atau asing.
Dalam ketahanan pangan, Islam memiliki seperangkat sistem yang super lengkap. Paradigma Islam membangun ketahanan dan kemandirian pangan adalah dengan mengoptimalkan lahan pertanian sebagai lumbung pangan negara. Dalam tata kelola pangan, Islam memiliki sejumlah strategi jitu:
Pertama, mengoptimalkan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang tersedia serta penyediaan saprodi dan berbagai sarana pertanian dengan teknologi mutakhir. Ekstensifikasi dapat dilakukan dengan mengoptimalkan tanah mati sebagai lahan baru. Negara berusaha menyediakan semua sarana pertanian untuk mendukung petani memaksimalkan produktivitas pangan.
Kedua, distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang praktik penimbunan, kecurangan, monopoli, dan pematokan harga. Negara akan memberangus praktik-praktik perdagangan yang diharamkan.
Ketiga, mengutamakan kebutuhan pangan dalam negeri, yaitu tidak sembarang melakukan ekspor sebelum pasokan pangan negara tercukupi. Petani dalam Islam posisinya sangat krusial. Sebab di tangan merekalah produksi pangan terpenuhi. Negara juga tidak akan sembarang melakukan kebijakan impor. Negara akan mengupayakan secara optimal mewujudkan swasembada pangan dengan dua poin yang sudah disebutkan di atas, sehingga setiap kebutuhan rakyat bisa terpenuhi.
Jadi, bukan dengan segudang prestasi ekonomi yang dibuat oleh Barat atau menjadi tuan rumah bagi banyak konferensi internasional, yang menjadikan Indonesia kuat atau berpotensi menjadi negara maju. Melainkan untuk menjadi negara yang maju dan kuat adalah, Indonesia haruslah memiliki ideologi lebih kuat daripada kapitalisme. Bukan menjadi antek, atau pengikut yang justru membuat masyarakat dan negara ini menjadi sekarat. Ideologi itu adalah Islam, wahyu Allah SWT. Islam adalah ideologi dan sistem paripurna, dan menjadi ideologi yang bisa menjadi lawan tangguh bagi kapitalisme, sistem yang menjajah dunia saat ini. Penerapan Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti politik, pemerintahan, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lainnya, akan menjadikan Indonesia kuat. Sistem ini datang dari Allah SWT langsung yang tertuang dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah Rasulullah. Terbukti selama 13 abad, Islam telah menjadi ideologi dalam sebuah institusi (negara) adidaya warisan Rasulullah SAW.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Ariefdhianty Vibie H.
Muslimah Cinta Islam
0 Comments