Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Dukun Bergerak, Negara Bertindak

TintaSiyasi.com -- Saat ini masyarakat sedang dihebohkan dengan pemberitaan buhul-buhul syirik yang tampaknya sedang santer bertebaran. Di zaman modern saat ini, tapi kenyataannya dunia gaib ternyata masih menjadi idaman yang sering diperbincangkan. Padahal kita ketahui bahwa mayoritas penduduk negeri ini adalah Muslim, tetapi pada faktanya praktik perdukunan seakan tidak bisa ditinggalkan begitu saja oleh masyarakat kita ini.

Belakangan ini mencuat kasus ilmu gaib yang mengatasnamakan pengobatan. Namun proyek itu tiba-tiba luluh lantak setelah berbagai taktik perdukunan dibuka oleh Marcel sang Pesulap Merah. Marcel merupakan YouTuber yang berhasil membuka mata masyarakat tentang tipu daya praktik dukun dengan membongkar berbagai triknya. Akibatnya, ada seorang dukun yang memperlihatkan ia memiliki “sertifikat perdukunan” dari Majelis Brajamusti. Ia bermaksud membalas Pesulap Merah atas tindakannya terhadap Gus Samsudin (dukun yang dibongkar oleh Marcel, ed.). Dalam laman TikTok-nya, orang tersebut meminta pertolongan pada makhluk gaib untuk mengirim teluh pada si Pesulap Merah (Suara, 07/08/2022).

Miris, apa yang terjadi menunjukkan makin jelasnya lerusakan akidah di depan mata, bahkan ada yang mengaku dukun “bersertifikat”, di mana peran negara tercinta kita ini? Sebetulnya memang karena lemahnya iman. Tradisi kepercayaan terhadap hal-hal perdukunan memang telah ada sejak dahulu. Hingga Islam datang, tradisi itu perlahan hilang karena Islam melarang praktik kemusyrikan. Islam mengharamkan tindakan mempersekutukan Allah SWT sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya, orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka; tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun” (QS Al-Maidah: 72). Ironisnya, meskipun Islam telah datang ke negeri ini selama berabad-abad, tradisi syirik ternyata makin banyak saja.

Banyak masyarakat yang masih percaya hal-hal berbau syirik, seperti mendatangi dukun ketika sakit, ingin kaya, ingin dilancarkan urusannya, bahkan ketika ingin menjadi anggota legislatif atau pemimpin rakyat di berbagai tingkatan. Fenomena ini mengisyaratkan bahwa kelemahan iman melanda penduduk negeri ini. Islam menjadi sebatas simbol dan aturannya sebatas ibadah ritual.

Banyak yang masih meyakini praktik perdukunan dan takhayul. Selain itu juga lemahnya iman dan masih kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap kemusyrikan ternyata menjadi ajang bagi sekelompok orang untuk mendapatkan materi. Mereka berperan sebagai dukun, orang pintar, bahkan “kiai” (agar tampak islami). Bukan hanya itu, mereka pun menyampaikan praktik perdukunannya dengan membawa-bawa Islam agar masyarakat percaya. Bahkan, mereka mematok tarif yang tidak sedikit. Semua itu mereka lakukan demi memenuhi pundi-pundi harta.

Selain iman yang lemah (atau bahkan bisa jadi tidak beriman pada Allah), mereka sesungguhnya telah terpengaruh paham kapitalistik. Demi mendapat kekayaan, mereka rela melakukan praktik perdukunan dan penipuan. Praktik tersebut tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan ada semacam “padepokan” yang mengorganisasi dengan melayani dan menawarkan berbagai macam ilmu gaib dengan berbagai keunggulan. Mereka juga mematok harga di setiap ajian yang ditawarkan. Ketika sudah selesai, mereka akan mengeluarkan “sertifikat” untuk menguatkan kepercayaan konsumen agar mau terus mengeluarkan uang besar demi tujuannya.

Sebagai seorang Muslim harusnya kita bertanya mengapa selama ini negara membiarkan fenomena ini terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tanpa disadari, makin hari akidah kebanyakan kaum Muslim makin melemah. Tentu tidak bisa kita mungkiri, ada pihak yang harus bertanggung jawab atas semua ini. Saat ini, syiar kemusyrikan makin masif dipertontonkan. Para dukun juga aktif bermain media sosial. Hal ini tentu bukan sekadar masalah lemahnya iman individu muslim, melainkan juga akibat lemahnya penjagaan negara atas akidah umat. Negara tampak diam atau tidak serius menyelesaikan masalah kemusyrikan, bahkan ikut terang-terangan mempercayai praktik syirik dengan dalih melestarikan budaya nenek moyang, seperti kasus pawang hujan beberapa waktu lalu.

Berbeda jauh dengan Islam. Allah SWT sangat membenci praktik syirik, bahkan aktivitas ini merupakan dosa besar bagi pelakunya. Islam mengancam siapa saja yang berlaku demikian, tidak akan diampuni oleh Allah SWT. Rasulullah SAW pun meminta umat Islam untuk menjauhi dosa tersebut. Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan (al-muubiqaat).” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa yang membinasakan tersebut?” Beliau bersabda, “(1) Syirik kepada Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang haram untuk dibunuh kecuali jika lewat jalan yang benar, (4) memakan riba, (5) memakan harta anak yatim, (6) lari dari medan perang, (7) qadzaf (menuduh wanita mukmin yang baik-baik dengan tuduhan zina)” (HR Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89).

Maraknya praktik perdukunan tidak lain karena negara ini memberi sinyal bahwa hal itu boleh dilakukan. Ini tidak bisa ditampik karena landasan aturannya adalah sekularisme. Berbeda dengan Islam, negara yang berlandaskan Islam akan mengambil kebijakan sesuai syariat Allah. Salah satu fungsi penerapan aturan Islam adalah untuk menjaga akidah umat. Dengan demikian, negara akan mengeluarkan aturan yang melarang praktik syirik dan perdukunan sebab semua itu berlawanan dengan Islam.

Negara akan memberi sanksi bagi siapa pun yang melakukan praktik tersebut, setelah memberikan pembinaan. Keimanan masyarakat akan terus dikuatkan melalui kajian, seminar, ataupun pembinaan yang bersifat kontinu dan berkesinambungan. Segala wasilah yang biasa dipakai untuk promosi para dukun akan diblokir dan dihapus. Dengan begitu, praktik syirik tidak akan menjamur seperti sekarang.

Sudah sangat jelas bahwa penjagaan akidah bagi individu tetap membutuhkan peran negara yang berdaulat. Oleh karenanya, pemimpin Muslim tidak boleh membiarkan kerusakan iman dan kemusyrikan ini terjadi berlarut-larut. Hanya saja, sistem Islam satu-satunya yang mampu menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Demi panggilan iman, masihkah kita mau berharap pada sistem selain Islam? 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Wina Apriani
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments