TintaSiyasi.com -- Belakangan ini tengah diramaikan media sosial mengenai tingginya biaya masuk universitas melalui seleksi mandiri. Adapun informasi ini banyak beredar di media sosial termasuk Twiter. Salah satunya akun Twiter @mudirans yang mengunggah foto berisi persyaratan Jaminan Kemampuan Keuangan (JKK) bagi calon mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada Sabtu (18/7/2020) kemudian diketahui JKK tersebut mencantumkan rekening orang tua atau walinya dengan nominal minimum 100 juta. Meskipun perguruan tinggi menyediakan beasiswa namun jumlahnya tidak sebanyak jalur mandiri yang sebagian universitas mematok 50% kuota.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengakui jika memang biaya kuliah di tanah air saat ini masih terbilang mahal. Dede Yusuf mengungkapkan banyak orang tua tak melanjutkan studi kuliah sang anak lantaran bantuan biaya. Ia pun mengakui bahwa biaya mahal tersebut tidak cukup tertutupi dengan sejumlah program pemerintah seperti beasiswa Kartu Indonesia Pintar atau KIP. Dampaknya banyak orang tua yang enggan menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Konsultan Pendidikan dan Karier Ina Liem menyampaikan, penyebab mahalnya biaya masuk jalur seleksi mandiri di Universitas disebut karena beberapa universitas negeri tengah didorong untuk berbadan hukum. “Sejak sebelum pandemi perguruan Tinggi Negeri (PTM) memang didorong untuk berbadan hukum supaya bisa menerima dana dari masyarakat, agar bisa lebih berkembang,” ujar Ina saat dihubungi Kompas.com, Selasa (21/7/2022).
Makin mahalnya biaya pendidikan tinggi, makin sulitnya rakyat Indonesia mengakses pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Walaupun beasiswa tersedia, hanya saja tidak semua orang bisa mengaksesnya dengan berbagai faktor. Salah satunya karena keterbatasan informasi, sekalipun di era digitalisasi seperti saat ini. Mahalnya biaya pendidikan tinggi sebagai bentuk komersialisasi pendidikan sudah sangat gamblang dilegalisasi di negara ini. Sebagaimana tertuang dalam pasal 4 ayat 2 UU perdagangan bahwa jasa pendidikan memang menjadi salah satu komoditas yang dapat diperdagangkan. Walaupun memang pengaturan jasa pendidikan ini tak dapat dilepaskan dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional maupun UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan Tinggi atau UU PT. Namun demikian, potensi komersialisasi pendidikan sudah terbuka lebar.
Komersialisasi pendidikan merupakan konsekuensi dari kerja sama internasional yang disepakati Indonesia dalam Pengesahan Agreement Establishing of The World Trade Organization. Tuntutan dari kesepakatan ini, Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan segala kesepakatan tersebut, termasuk meliberalisasi pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi di dalam GATS (General Agreement on Trade in Service atau Kesepakatan Umum Perdagangan Sektor Jasa) adalah komoditas yang dilatarbelakangi oleh motif ekonomi perdagangan. Sehingga wajib atasnya menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Karena itu, kita lihat faktanya saat ini bagaimana PTN didorong untuk berstatus BHP yang sebelumnya BHMN sejak tahun 2000. Supaya, negara bisa berlepas tangan dalam membiayai sektor pendidikan dan PT mencari sumber pembiayaan mengggunakan pola BLU yang akhirnya mengomersialisasikan pendidikan.
Beragam UU pun dilegalisasi supaya mempermudah jalannya liberalisasi ini dengan dalih ada UU yang melegalisasinya. Walaupun menyalahi payung hukum yakni UUD pasal 31 yang menyebutkan bahwasanya pendidikan merupakan hak seluruh warga negara, tapi tetap saja dilegalisasi. Lantas, apa gunanya payung hukum?
Mengabaikan tuntutan yang tertuang dalam GATS akan mempersulit posisi Indonesia pada perdagangan sektor lainnya. Karena sektor pendidikan disamakan dengan perdagangan pada sektor lainnya dan tentunya Indonesia tidak punya pilihan lain selain memenuhi tuntutan asing tersebut. Jika dirunut lebih jauh, terikatnya Indonesia dalam ratifikasi GATS merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalis yang mau tidak mau mengekor kepada si empunya kapitalisme. Sehingga Indonesia tidak bisa independen dan tidak punya kewibawaan untuk menentukan jalannya pendidikan secara mandiri.
Hal ini bisa saja tidak terjadi, jika Indonesia punya satu sistem yang khas yang berbeda dengan sistem kapitalis. Sistem yang benar-benar punya power dan bargaining position di tengah-tengah negara lainnya. Dan jika belajar dari sejarah, nyatanya ada satu sistem yang full power mengurusi urusan rakyatnya dan punya independensi dalam mengatur perpolitikan baik polugri maupun poldagrinya. Sistem tersebut yakni sistem Islam.
Sistem Islam akan menerapkan hukum syariat baik dalam tatanan politik dan ekonominya. Dalam tatanan politiknya negara berperan secara tegas sebagai penanggung jawab dan pelaksana langsung pengelolaan pendidikan. Sehingga negara akan benar-benar memperhatikan kesejahteraan bagi warga negaranya dan menjamin setiap warga negaranya bisa mengakses pendidikan yang layak dengan harga yang terjangkau bahkan gratis, tetapi dengan fasilitas mumpuni.
Di dalam Islam, pendidikan merupakan sesuatu yang menjadi hak rakyat yang ada di bawah naungan Khilafah Islam, baik itu Muslim maupun non-Muslim, kaya maupun miskin, pintar ataupun tidak. Sehingga pembiayaan pendidikan ditanggung oleh negara, termasuk gaji guru dan fasilitas pendidikan yang diperlukan untuk pembelajaran yang sempurna dan berkualitas.
Negara memiliki mekanisme yang baik agar sebisa mungkin rakyat tidak diminta untuk membiayai sesuatu yang harusnya menjadi hak rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, maupun fasilitas umum. Lalu pembiayaan pendidikan berasal dari Baitul Mal yang salah satu pendapatannya berasal dari pengelolaan negara pada kepemilikan umum seperti air, api, dan padang rumput. Sehingga segala sumber daya alam yang memegang seharusnya menjadi milik umum dan akan kembali pada rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka termasuk pendidikan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Nur Rahmawati, S.Pd.
Pemerhati Pendidikan
0 Comments