TintaSiyasi.com -- Indonesia merupakan negeri kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau yang terhampar dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai suku bangsa, agama, budaya dan adat istiadat yang beragam pula. Tak dapat dipungkiri memang beragamnya suku bangsa di negeri ini menjadi suatu keunikan tersendiri dan menjadi objek menarik untuk diperbincangkan.
Banyak pihak menilai potensi keberagaman ini, jika terjalin dengan baik akan menjadi kekuatan besar sekaligus kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Akan tetapi perbedaan ini juga berpotensi menjadi pemicu konflik, bahkan ada yang menilai masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam agama ini mempunyai kecenderungan kuat terhadap identitas agama masing-masing dan berpotensi konfik. Karenanya dibutuhkan adanya saling keterbukaan (inklusif) antar agama sehingga terjalin kerukunan antar umat beragama di negeri ini.
Ahmad Zayadi, Kakanwil Kemenag Jatim menilai kesadaran kolektif penduduk di Nusantara terus mengalami dinamika sejarahnya. Pada akhirnya identitas ke-Indonesiaan tersebut terbentuk dalam tempo waktu yang tidak singkat, namun hasil dialog sejarah panjang dari generasi ke generasi. Tak salah jika para founding father, para pendiri bangsa menyepakati ‘Bhinneka Tunggal Ika’ sebagai semboyan negara Indonesia. Sayangnya, keunikan yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya itu belum semuanya disadari oleh setiap masyarakat.
Masih ada saja orang yang memahami seolah-olah Indonesia hanya dimiliki satu kelompok saja. Sikap ini yang tidak jarang melahirkan perilaku diskriminasi, intoleransi, intimidasi, bahkan bisa sampai perang saudara. Padahal keragaman agama, suku, budaya sudah ada sejak lama. Demi menjaga keharmonisan dan persatuan dalam perbedaan bangsa Indonesia, semangat Bhinneka Tunggal Ika mau tidak mau harus dirawat dan dijaga secara bersama-sama (Kemenag.go.id).
Jika jika cermati, siapa pun sepakat keberagamaan merupakan hal yang alami dan harus dirawat dan harus dijaga bersama-masa, hanya saja yang menjadi masalah bagaimana merawatnya sehingga negeri ini selalu berada dalam ridha dan keberkahan Allah SWT?
Ahmad Jayadi sendiri berpendapat sikap inklusivisme atau keterbukaan merupakan kunci keberhasilan untuk merawat keberagaman. Ia menyandarkan apa yang dilakukan Wali Songo. Menurutnya, Wali Songo sangat peka dan bijaksana dalam menghadapi keragaman suku, budaya dan agama di Nusantara. Mereka melakukan akulturasi budaya lokal dengan dikombinasikan substansi ajaran Islam. Dakwah dengan media budaya dinilai sangat efektif untuk mengambil simpati masyarakat Nusantara, yang kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam tanpa paksaan. Ia pun menambahkan, bahwa sikap inklusivisme atau keterbukaan Wali Songo terhadap budaya lokal inilah menjadi peletak dasar keramahan Islam di tanah Nusantara.
Sedangkan Menag Yaqut Cholil Qoumas menyatakan bahwa moderasi beragama akan bisa mewujudkan kerukunan, karena akan memoderasi cara umat memahami dan mengamalkan agama. Ada empat indikator seseorang dikatakan memiliki pemahamaan keagamaan yang moderasi, yaitu komitmen kebangsaan yang kuat, toleransi beragama, menghindari kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal.
Konsep moderasi beragama, kata Menag, dapat diterapkan dalam konteks semua bangsa. Sebab, nilai-nilai moderasi bersifat universal. Anti kekerasan dan toleransi, misalnya, sangat dibutuhkan untuk melakukan resolusi konflik. Penguatan komitmen persatuan bangsa dan penghormatan terhadap tradisi suatu bangsa juga merupakan keharusan untuk membangun kerukunan. Ke depan, kearifan lokal provinsi-provinsi lain di Indonesia juga bisa terus dielaborasi untuk memperkuat konsep moderasi beragama (Kemenag.go.id).
Dari tokoh-tokoh Kemenag ini, tampak nyata ada perhatian lebih terhadap budaya dan menilai budaya ini akan mampu mempersatukan keberagamanan yang ada di negeri ini dan dapat menjaga terwujudnya kerukunan antar umat beragama di negeri ini. Benarkah budaya akan mempersatukan keberagaman? Lalu, bagaimana sebenarnya posisi budaya menurut Islam?
Relasi Islam dan Budaya
Sebenarnya relasi Islam dan budaya itu jelas kaidahnya. Islam menjadi standar, sedangkan budaya adalah objek yang distandarisasi. Jadi kalau budaya lokal itu sesuai dengan Islam, kita tidak dilarang untuk mengambilnya. Misalnya, memakai iket yang menjadi penutup kepala khas laki-laki Sunda. Sebaliknya, jika budaya lokal itu tidak sesuai dengan Islam, maka tidak boleh kita amalkan. Misalnya, mengenakan kemben atau kebaya bagi perempuan Jawa. Jelas itu akan menampakkan aurat seorang Muslimah, hal ini tentu saja diharamkan.
Nah, masalahnya, posisi budaya lokal ini oleh Menag dan para pengusung moderasi Islam akhirnya dijadikan standar. Sebaliknya, ajaran Islam justru menjadi objek standarisasi demi terwujudnya kerukunan. Jadi Islam harus ditundukkan dan dikalahkan di bawah budaya. Inilah sesungguhnya kekeliruan nyata dan fatal, karenanya tidak bisa diterima. Mengapa? Seharusnya ajaran Islam itu diposisikan sebagai furqân (pembeda antara hak dan batil) bagi budaya lokal. Oleh penganut moderasi Islam, budaya lokal itu posisinya dibalik. Akhirnya dijadikan furqân, yakni dijadikan standar atau tolok ukur untuk menilai ajaran Islam, jelas ini merupakan penyimpangan.
Inilah salah satu bahaya yang harus dipahami umat, atas nama moderasi agama keyakinan pada ajaran agama dan ketaatan pada syariatnya harus ditundukkan dengan budaya. Umat dipaksa membiarkan sesuatu yang bertentangan dengan agamanya.
Benarkah Budaya Akan Menyatukan Keberagaman?
Sesungguhnya keberagaman dalam suatu masyarakat merupakan hal yang alami dan Islam tidak pernah mencela adanya masyarakat yang plural. Allah SWT telah menyampaikan hal ini dalam Qur’an surah al-Hujurat ayat 13 yang artinya, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Ayat di atas menyebut seluruh manusia tanpa kecuali, artinya mengurai prinsip dasar hubungan manusia yang menegaskan kesatuan asal-usul manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dengan warna kulit yang tidak sama, laki-laki dan perempuan. Penciptaan ini bertujuan agar manusia saling mengenal yang satu dengan yang lain. Ditegaskan pula manusia yang beragam itu sesungguhnya setara di hadapan Allah. Yang membedakannya adalah ketakwaannya. Ayat ini juga menjelaskan keberagaman menurut Islam adalah hal yang wajar. Artinya, masyarakat yang plural atau beragam itu sunatullah yang kita terima sebagai suatu kenyataan. Jadi sangat salah jika menganggap bahwa Islam itu antikebinekaan.
Terlebih lagi fakta tak terbantahkan, selama 14 abad negara Islam menguasai hampir 2/3 dunia, tak pernah terjadi penjajahan, diskriminasi maupun eksploitasi terhadap warga asli negeri tersebut. Islam, saat pertama kali Rasulullah mendirikan negara Islam di Madinah, sama sekali tidak memperlihatkan arogansi keagamaan atau kesukuan malah justru membawa semangat persaudaraan dan persamaan. Berbagai suku bangsa yang pada awalnya bertentangan, bahkan bermusuhan dipersaudarakan oleh kalimat laa ilaaha illallaah.
Oleh karenanya bukan budaya yang mampu mempersatukan keberagaman ini, tapi akidah dan aturan Islam. Hanya di bawah satu aturan yang sama dan kepemimpinan yang satu, sejak masa Rasulullaah, Khulafaur Rasyidiin dan kekhilafahan setelahnya. Khilafah merupakan sistem pemerintahan warisan Rasulullah SAW yang telah tegak menaungi umat manusia di dunia selama belasan abad. Khilafah berhasil tampil sebagai role model sistem kenegaraan yang mampu memberi manfaat dan kebaikan bagi umat non-Muslim, baik yang hidup sebagai warga negara ahludz dzimmah, maupun yang hidup di luar negara khilafah sebagai muahid (yang terikat perjanjian), serta musta’min (yakni orang kafir yang masuk ke negeri Islam dengan jaminan). []
Oleh: Murdiyah
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok
0 Comments