Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tak Hanya Soal Ibadah Penyelenggaraan Haji Butuh Kesatuan Politik Islam


TintaSiyasi.com -- Selama musim haji, seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia berbondong-bondong memenuhi panggilan Allah SWT ke Baitullah dengan penuh antusias, tak terkecuali umat Muslim Indonesia. Apalagi sebagai negeri dengan jumlah mayoritas Muslim, maka sudah selayaknya jika kuota haji Indonesia pun lebih banyak. Akan tetapi agaknya tahun ini jemaah haji Indonesia harus rela memperpanjang lagi daftar tunggu antrean haji, sebab kuota tambahan 10.000 yang ditawarkan oleh pemerintah Arab Saudi tidak disetujui oleh pemerintah Indonesia yang dalam hal ini adalah Kementerian Agama.

Seperti dilansir dari KumparanNews, (03/07/2022), menyampaikan bahwa Kementerian Agama telah mengambil keputusan untuk tidak menggunakan 10.000 kuota haji tambahan dari Saudi. Hal tersebut disampaikan oleh Prof Hilman Latief selaku Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Menurutnya, Kemenag tidak mengambil 10.000 kuota tersebut disebabkan karena waktu yang sudah mepet dan pemerintah tak ingin layanan haji berkurang drastis hanya karena memaksakan pertambahan jumlah kuota. Adapun Kemenag menerima surat pemberitahuan soal kuota tambahan adalah pada 21 Juni 2022 malam, sementara batas akhir proses pemvisaan jemaah haji regular pada 29 Juni 2022. Kemudian penerbangan terakhir jemaah reguler ke Saudi besok harinya. 

Sementara itu Saudi meminta kuota tambahan tersebut masuk ke dalam sistem, sehingga harus diberikan kepada jemaah haji reguler. Di sisi lain, jemaah haji khusus tidak bisa terbang sebelum jemaah reguler dipastikan terbang terlebih dahulu. Karena itu kuota ini juga tidak bisa diberikan pada jemaah haji khusus. Belum lagi pertimbangan lain terkait persiapan akomodasi untuk penginapan jemaah, katering, dan transportasi selama di Arab Saudi. Tentu perlu ada pembahasan lagi dengan DPR sebab butuh anggaran baru, terutama biaya masyair (biaya yang diminta Saudi untuk di Arafah, Muzdalifah, Mina).

Padahal sebelumnya Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) telah mengingatkan Kementerian Agama (Kemenag) agar tidak buru-buru menolak tambahan kuota haji yang diberikan pemerintah Saudi kepada jemaah Indonesia. Sebab menurutnya, tambahan kuota tersebut merupakan niat baik Pemerintah Saudi yang harus diapresiasi. Namun ternyata hal tersebut ditolak secara sepihak oleh Kemenag tanpa dimusyawarahkan secara formal dengan para wakil rakyat di DPR, padahal ternyata persetujuan penambahan tersebut sudah cukup lama disampaikan secara resmi yaitu sejak 21 Juni 2022. Untuk itu jika dianggap mepet dari sisi waktu, mestinya sejak awal sudah bisa dibahas sesegera mungkin bersama Komisi VIII DPR-RI. Sayang, rapat yang sudah diagendakan justru dibatalkan sepihak oleh Kemenag (detiknews, 01/07/22)


Butuh Lobi dan Diplomasi Tingkat Tinggi

Seperti diketahui bersama, berdasarkan keterangan Dirjen PHU Kemenag bahwa surat resmi dari Pemerintah Arab Saudi terkait penambahan kuota jemaah Indonesia saat itu terbit pada Selasa (21/6). Tentunya masih ada jarak sekitar 12 hari dari kloter keberangkatan terakhir jemaah Indonesia di tanggal 3 Juli 2022. Hal serupa pun disampaikan oleh komisi VIII DPR RI. Yang mana telah mengusulkan agar Pemerintah melakukan lobi tingkat tinggi guna mendapatkan kuota haji. Pun menyuarakan aspirasi masyarakat Indonesia agar ada penambahan kuota haji sehingga dari situ bisa memangkas lama antrean jemaah.

Karenanya, saat Pemerintah Saudi memberikan tambahan kuota haji tersebut seharusnya diterima dengan baik bukan malah ditolak oleh Kementerian Agama. Yang lebih aneh lagi hal itu dilakukan sepihak tanpa melalui persetujuan formal dengan Komisi VIII DPR RI. Meski dalam UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, penetapan kuota merupakan keputusan Kemenag. Akan tetapi jika diperhatikan dari segi urgensi maslahat umat, alangkah baiknya jika pihak Kemenag dapat duduk rembuk bersama dengan Komisi VIII DPR RI demi mendapatkan solusi terbaik bagi umat serta menjaga hubungan yang baik dengan pihak mana pun.

Persis sama dengan saran yang disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Syura PKS. Disampaikannya bahwa apapun keputusan yang diambil terkait kuota haji, sebaiknya dilakukan melalui jalur pembahasan serta kesepakatan bersama dalam forum Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR RI sebagai mitra Kementerian Agama.

Dari sini pula anggota Komisi VIII ikut bertanya-tanya, mengapa Kemenag tidak menyetujui adanya penambahan kuota haji. Padahal awalnya ada undangan Rapat Kerja antara Komisi VIII DPR RI dengan Menteri Agama guna membahas soal informasi adanya penambahan 10.000 kuota pada tanggal 23 Juni lalu namun anehnya pertemuan tersebut justru dibatalkan. Tak hanya itu masyarakat dan juga calon jemaah haji pun ikut mempertanyakan hal tersebut. Apalagi Kemenag memutuskannya secara sepihak dan baru memublikasikan penolakan itu pada 29 Juni 2022.

Untuk itu diharapkan ke depannya masalah terkait penyelenggaraan ibadah haji, dapat dilakukan semaksimal mungkin melalui lobi tingkat tinggi dalam hal alokasi kuota haji bagi Indonesia. Pun seyogianya hal tersebut dilakukan jauh hari sebelumnya yaitu sejak awal persiapan penyelenggaraan ibadah haji, misalnya untuk tahun 1444 Hijriah atau 2023 Masehi. Harapannya, agar masalah serupa tidak terulang kembali.


Tak Cukup Hanya Diplomasi, Butuh Kesatuan Politik

Dari uraian fakta tentang panjangnya antrian haji dan rumitnya regulasi pelaksanaannya serta posisi diplomasi antara Saudi dan Indonesia, makin menegaskan bahwa urusan haji bukanlah sesuatu hal yang sederhana akan tetapi dibutuhkan kesatuan politik umat Islam. Namun kesatuan yang dimaksud tidak mungkin terbentuk selama penguasa masih bermaindset pada sekuler kapitalisme, yang sudah barang tentu berdampak pula dalam penyelenggaraan ibadah haji. 

Sistem sekuler kapitalisme menjadikan penguasa tidak bersungguh-sungguh dalam melayani umat, tak ayal ibadah haji yang seharusnya menjadi manifestasi dari persatuan kaum muslim di seluruh dunia justru diredupkan oleh sistem ini. Sekat-sekat nation state yang dibentuk oleh sistem kapitalisme menjadikan urusan wilayah antara kaum Muslim di seluruh dunia terkendala dengan visa. Salah satu masalah teknis yang kerap dijadikan alasan penguasa sehingga tidak jadi memberangkatkan ibadah haji rakyatnya. Sementara itu, sistem ini pun menjadikan ibadah haji sebagai lahan bisnis, naudzubillahi min dzalik.

Untuk itu kesatuan politik umat Islam hanya dapat terwujud dalam naungan sistem khilafah. Sebab jika diibaratkan, khilafah itu seperti rumah tempat bernaung bagi seluruh umat Islam di dunia tanpa ada batasan kebangsaan. Khilafah pun menjadikan negara sebagai pelayan dalam mengurusi rakyat.

Islam menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan (manajerial) yaitu, sistemnya dibuat sesederhana mungkin (basathah fi an-nizham), kemudian eksekusinya cepat (su’ah fi al-injaz), dan ditangani oleh mereka yang profesional di bidangnya. Untuk itu ketika khilafah mengurus persoalan haji yang notabene adalah bagian dari syiar Islam maka sudah barang tentu layanan tersebut dilakukan dengan upaya maksimal tanpa terkendala pada urusan diplomasi maupun hal lainnya. Yang mana semua itu akan ditempuh dengan beberapa kebijakan yaitu:

Pertama. Khilafah membentuk departemen khusus, yang akan bertugas mengurusi haji dan umrah dari pusat hingga daerah. Di antaranya berkaitan dengan persiapan, bimbingan pelaksanaan, hingga pemulangan ke daerah asal. Guna mempermudah pelaksanaannya, departemen ini pun dapat bekerjasama dengan departemen kesehatan dalam menangani kesehatan jemaah termasuk departemen perhubungan yang dalam hal ini akan mengurusi transportasi massal. Regulasi tersebut pun menjadikan publik dilayani dengan cepat dan baik.

Kedua. Jika negara harus menetapkan ONH (Ongkos Naik Haji) maka besar kecilnya dana akan ditentukan berdasarkan jarak wilayah dengan Tanah Haram yaitu Makkah dan Madinah pun akomodasi yang dibutuhkan dimulai dari keberangkatan hingga kembali dari Tanah Suci. Selain itu khilafah pun mampu membuka opsi rute darat, laut dan udara dengan konsekuensi biaya yang berbeda. Adapun penentuan biaya tersebut ditetapkan bukan berdasarkan paradigma bisnis seperti yang dilakukan oleh kapitalisme yaitu menetapkannya atas untung dan rugi, akan tetapi menitikberatkan pada pelayanan umat sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah terdahulu. Salah satunya pada masa Khalifah Sultan Abdul Hamid II, di mana pada saat itu khilafah membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Sedangkan, jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, adalah Harun al-Rasyid yaitu Khalifah Abbasiyah yang sudah membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz, kemudian menetapkan pos layanan umum sebagai penyedia logistik termasuk didalamnya dana zakat bagi mereka yang kehabisan bekal yang dibangun pada masing-masing titik jalur haji. 

Ketiga. Khilafah akan menghapus visa haji dan umrah. Sebab negeri-negeri Muslim dalam kekhalifahan merupakan satu kesatuan wilayah, yang mana para jemaah haji hanya perlu menunjukkan kartu identitas yaitu bisa berupa KTP atau paspor. Adapun visa hanya berlaku bagi kaum muslim yang menjadi warga negara kafir baik kafir harbi maupun fi’lan.

Keempat. Negara akan mengatur kuota haji dan umrah dengan memperhatikan:
Pertama. Kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup.
Kedua. Kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan, yaitu ditunjang dengan database jemaah haji yang akurat. Dengan demikian konsep ini akan mempermudah Khilafah dalam rangka memprioritaskan jemaah haji yang layak diberangkatkan terlebih dahulu.

Kelima. Khilafah akan membangun infrastruktur Makkah – Madinah seperti di antaranya perluasan Masjidil Haram, masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi para jamaah haji dan umrah. 

Demikianlah pengaturan ibadah haji dalam sistem Khilafah Islamiah yang tidak mungkin ditemukan dalam sistem sekuler kapitalisme seperti saat ini. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Rahmiani Tiflen, S.Kep.
The Voice of Muslimah Papua Barat
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments