Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Umat Islam Butuh Khilafah untuk Menentukan Dua Hari Raya


TintaSiyasi.com -- Sudah bertahun-tahun negeri ini mengalami hari raya yang berbeda. Ada yang mendahulukan pelaksanaan shalat Ied-nya dan ada juga yang mengakhirkannya. Berbeda memang hal yang biasa, bahkan adanya perbedaan merupakan rahmat sebagaimana sebuah ungkapan yang masyhur menyebutkan "perbedaan adalah rahmat". Namun, apakah perbedaan yang sering dan terus terjadi dalam penetapan dua hari raya akan menjadi rahmat?

Oleh sebab itu, perlu untuk menjelaskan akar masalah mengapa bisa selalu terjadi perbedaan dalam penentuan dua hari raya. Apakah semata-mata karena adanya perbedaan dalam penggunaan dalil serta perbedaan dalam memahaminya? Yang dalam hal ini masih dibolehkan berbeda, selagi masih menggunakan dalil dalam beramal. Karena perbedaan tersebut berada pada ranah khilafiyah (masing-masing memiliki dalil yang diduga paling tepat). Namun, jika hal ini terus-terusan terjadi, maka akan menimbulkan kebingungan bahkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.

Kalaulah perbedaan tersebut karena perbedaan dalam memahami dalilnya, tetap harus dijelaskan mana dalil yang lebih rajih/dalil yang lebih tepat dalam hal ini. Walaupun tidak dipungkiri kemungkinan besar akan terjadi perdebatan. Dan perlu juga untuk dipahami debat dalam Islam hukumnya boleh. Karena kebolehan membantah (jidal) sebagaimana yang terdapat dalam surat an-Nahl ayat 125. .."bantahlah (debatlah) dengan cara yang baik..". Oleh karena itu, membantah atau mendebat suatu yang dirasa tidak sesuai dengan yang dipahami berkaitan dengan dalilnya kurang rajih, maka boleh dibantah untuk mendapatkan suatu kepastian kebenarannya. Selagi tidak terjadi debat kusir yaitu debat yang bukan lagi ingin mendapatkan kebenaran, tapi kemenangan. Setelah debat tersebut menjadi debat kusir, maka debat seperti ini wajib untuk ditinggalkan.

Dan jika perbedaan tersebut disebabkan oleh letak geografis yang berbeda, karena mengikuti Mazhab Imam Syafi'i, misalnya, maka di sini perlu dipahami dalam kondisi yang bagaimana bisa berbeda dan apakah seterusnya akan berbeda? Sementara letak geografis Indonesia dengan Arab Saudi hanya selisih 4 jam lebih dulu dibandingkan Arab Saudi. Jadi secara logika justru terbitnya hilal di Indonesia lebih dulu terlihat dibandingkan Arab Saudi. Namun mengapa bisa Arab Saudi lebih dulu yang melihat hilal dibandingkan Indonesia?

Dan perlu juga dipahami umat bahwa, Imam Syafi'i menetapkan jika hilal terlihat di siang hari sebelum melewati waktu yang diharamkan untuk shalat (sekitar pukul 7 pagi hingga pukul 11.30) maka puasa wajib dibatalkan pada waktu itu juga. Dan jika memungkinkan untuk shalat Ied maka shalat Ied pada waktu itu juga. Namun jika hilal sudah telihat setelah waktu yang diharamkan untuk shalat tersebut atau setelah waktu Zuhur maka dilanjutkan puasa (Ramadhan) dan besoknya baru dilaksanakan shalat Ied (Idul Fitri). Nah, ini untuk penetapan awal dan akhir Ramadhan atau awal Syawal, yang mana penentuan ini harus dengan melihat hilal pertama. Yang kemungkinan hilal pertama ini bisa berbeda. Namun, kalau mengikuti rukyat hilal global, perbedaan ini juga bisa diatasi.

Sementara saat ini adalah penentuan waktu puasa Arafah dan shalat Idul Adha yaitu 9 dan 10 Dzulhijjah, yang memungkinkan hilal sudah besar dan bisa kembali dirukyat untuk mendapatkan kepastian sudah berapa hari. Apalagi saat ini teknologi dan alat telekomunikasi sudah semakin canggih. Justru lebih mudah untuk memantau hilal dan menyampaikan informasinya ke seluruh dunia.

Namun, jika perbedaan tersebut terjadi disebabkan lebih kepada paham yang bertentangan dengan Islam yaitu paham nasionalisme (negara bangsa). Yang mana masing-masing wilayah meyakini hanya hasil rukyatnyalah yang harus dijalankan dengan mengambil dalil rukyat lokal (Mazhab Imam Syafi'i), tanpa memperdulikan kalau di negara tetangganya yang berdekatan sudah terlihat hilal (berdasarkan hadis rukyat global yang telah disepakati oleh Imam Hanafi, Maliki, dan Hambali). Maka hal demikian itu diharamkan. Tidak boleh mengikuti hasil rukyat pemimpin di setiap negeri yang jelas memerintahkan pada kemaksiatan sebagaimana hadis Rasulullah dari Ali bin Abi Thalib: "Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan, ketaatan hanya kepada yang makruf" (HR. Bukhari dan Muslim).

Apalagi kalau hanya sekadar ingin berbeda dengan Arab Saudi, karena menganggap adanya perbedaan Islam Arab dengan Islam Nusantara. Hal ini terlihat adanya selebaran yang telah ditandatangani oleh beberapa petinggi termasuk menteri agama sendiri pada tanggal 7 April 2022, yang menyatakan bahwa hari raya Idul Adha jatuh pada hari Sabtu 9 Juli 2022. Namun yang terjadi yang diumumkan adalah sebaliknya, hari Idul Adha jatuh pada tanggal 10 Juli 2022 yaitu hari Minggu. 

Dan tidak dipungkiri perbedaan ini kemungkinan mudharatnya lebih besar. Yaitu berimbas pada praktik pengamalannya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dua hari raya adalah hari yang diharamkan berpuasa. Sebagaimana hadis Nabi SAW dari Abu Hurairah: "Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada dua hari, yaitu hari Idul Fitri, dan hari Idul Adha” (HR. Bukhari dan Muslim). Sementara negeri tetangga sudah melihat hilal. Hanya karena sentimen egoisme nasionalisme (wilayah Indonesia belum terlihat hilal karena mendung dianggap lah wajar digenapkan bulan sebelumnya 30 hari dengan memakai dalil dari hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Abbas ra. Padahal negeri tetangga bisa dijadikan bukti kuat kalau hilal sudah terlihat.

Dan tiga hari setelah 10 Dzulhijjah merupakan hari-hari tasyrik yang juga diharamkan untuk berpuasa. Sedangkan hari-hari tasyrik yaitu ketika jamaah haji keluar dari Padang Arafah menuju ke Mina. Sebagaimana hadis yang dikeluarkan oleh Abu Hurairah juga yang artinya: "Hari-hari di Mina (hari-hari tasyrik) adalah hari-hari untuk makan dan minum serta mengingat Allah SWT” (HR. Muslim).

Seharusnya waktu pelaksanaan wukuf itulah waktu puasa Arafah tidak ada makna lain. Puasa Arafah di mana waktu jemaah haji wukuf di Arafah yaitu tepatnya hari Jumat tanggal 8 Juli 2022, yang ditetapkan sebagai tanggal 9 Dzulhijjah oleh pemerintah Arab Saudi berdasarkan hasil rukyat Makkah atau berdasarkan pengakuan dua orang saksi yang disetujui oleh pemimpin Makkah (bisa saja hilal yang dilakukan oleh orang-orang yang diluar dari arab Saudi/rukyat global). Sebagaimana hadis dari Husain bin Harits Al Jadali, yang menyampaikan : 

Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah) berkhutbah dan menyatakan : "Rasulullah SAW memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan rukyat. Apabila kita tidak melihat (rukyat)nya, sementara dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut” (HR. Abu Daud).

Namun, jika pemerintah menetapkan 10 Dzulhijjah jatuh pada tanggal 10 Juli, artinya 9 Juli umat Islam Indonesia berpuasa, sementara sejatinya hilal di Indonesia pun sudah menunjukkan tanggal 10 Dzulhijjah. Padahal tanggal 10 Dzulhijjah adalah waktu yang diharamkan untuk berpuasa. Sebagaimana dalil yang berkenaan penetapan puasa Arafah, yang mana puasa Arafah dilaksanakan ketika jamaah haji di Makkah melakukan wukuf di Arafah. Dan berarti tanggal 9 Juli sudah memasuki tanggal 10 Dzulhijjah waktunya umat Islam berhari raya kurban dan haram untuk berpuasa.

Dalam hal ini Allah SWT telah menegaskan bahwa kelak pemimpin yang diikuti akan berlepas diri dari yang mengikutinya. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah yang artinya:

"Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa. Dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami" (TQS. Al-Baqarah ayat 166-167).

Oleh karena itu mengenai perbedaan ini perlu diselesaikan, tidak boleh berlarut-larut. Sebab akan menimbulkan perselisihan dan saling mengolok-olok, bahkan bisa menimbulkan dosa karena beramal tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan berdasarkan dalil yang lebih rajih, serta bisa mengundang azab dan sebagainya. Sebab itu, yang dibutuhkan umat saat ini adalah hadirnya seorang perisai dan pemersatu, yaitu seorang khalifah pemimpin umum untuk kaum Muslim seluruh dunia. Sebab pemimpin umum dalam Islam akan menghilangkan perselisihan. Sebagaimana kaidah hukum syarak yang mengatakan 'Amr al-Imam yarfa’u al-khilaf', yang artinya "Perintah imam/khalifah menghilangkan perselisihan". 

Dan untuk menghadirkan seorang khalifah di tengah-tengah umat perlu institusinya yaitu khilafah. Sebab, tidak akan ada khalifah kalau khilafah tidak ada. Karena sistem khilafahlah yang memilih seorang khalifah sebagai pemimpinnya dengan proses baiat, bukan yang lain. 

Karena institusi khilafah-nya saat ini juga belum ada. Sehingga keberadaan khilafah sebagai suatu keniscayaan yang dibutuhkan umat saat ini dan memperjuangkannya sebagai suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah hukum syarak yang menyatakan, "Tidak akan sempurna suatu kewajiban tanpa sesuatu, maka keberadaan sesuatu itu wajib".

Karena khilafah-lah yang yang memilih pemimpin dengan proses baiat, dan khalifah dibutuhkan untuk menyelesaikan perselisihan. Dengan demikian kehadiran khilafah sebagai institusi Islam adalah kewajiban. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Fadhilah Fitri, S.Pd.I
Muslimah Peduli Umat
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments