TintaSiyasi.com -- Bertepatan dengan Perayaan Hari Pajak kemarin, Tagar #StopBayarPajak sempat viral. Menkeu Sri Mulyani menuding yang mempopulerkan tagar tersebut adalah oknum yang tidak ingin Indonesia maju. "Mereka yang menyampaikan hastag enggak bayar pajak, ya, berarti Anda tidak ingin tinggal di Indonesia. Atau tidak ingin lihat Indonesia bagus, gitu saja. Jadi, tidak perlu ditanggapi," katanya (m.jpnn.com, 19/7/2022).
Seperti diketahui, saat ini sumber pendapatan negara Indonesia di dominasi oleh pajak. Pajak merupakan penopang terbesar APBN di negara Indonesia. Kontribusinya dibayarkan oleh setiap rakyat wajib pajak kepada negara untuk kepentingan pemerintah dan kesejahteraan masyarakat umum. Lantas, benarkah kesejahteraan itu sudah terasa? Atau hanya milik mereka-mereka yang berkuasa? Faktanya, rakyat menengah ke bawah justru harus ikut menanggung beban pajak dari mulai pajak sembako sampai pajak pulsa. Yang besaran nilainya baru saja naik beberapa waktu lalu.
Dikutip dari atpetsi.or.id, pemerintah secara resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% per 1 April 2022 lalu. Ketentuan ini merupakan amanat dari UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Tagline "pajak dari, oleh, dan untuk rakyat" apa benar sudah sesuai dengan prakteknya? Realitasnya, pembangunan infrastruktur hanya terfokus pada kota-kota besar yang merupakan pusat perekonomian. Seperti pembangunan jalan tol, jembatan, jaringan listrik, dan lainnya. Tanpa diminta penduduk setempat, semua itu disulap menjadi ada. Berbanding terbalik dengan wilayah terpencil pedesaan yang jauh dari pusat ekonomi, cenderung pemerintah seakan tutup mata. Untuk membangun jalan utama ataupun jembatan penghubung antar desa harus melewati sejumlah birokrasi yang menyulitkan dan tidak jarang berakhir dengan swadaya masyarakat.
Pakar Ekonomi Senior, Didik J. Rachbini melontarkan kritikan kepada pemerintah terkait pengelolaan uang pajak yang habis hanya untuk membayar utang. Penerimaan pajak terealisasi Rp1.069,98 triliun di 2020 dan meningkat jadi Rp1.277,5 triliun di tahun 2021, penerimaan pajak ini hampir sama jumlahnya dengan defisit anggaran atau penarikan utang setiap tahunnya.
Defisit APBN adalah selisih kekurangan antara penerimaan negara dan belanja negara. Artinya saat belanja Rp2.000 triliun, dan penerimaan hanya Rp1.000 triliun, maka pemerintah butuh utang Rp1.000 triliun untuk menutupi belanja, ini yang dinamakan defisit. Menurutnya, hal tersebut yang membuat tumpukan utang makin besar. Sebab, uang pajak habis hanya untuk membayar defisit di tahun anggaran yang sama (rctiplus.com).
Seruan boikot bayar pajak adalah refleksi dari beratnya beban rakyat yang semakin menghimpit dengan beragam pajak. Sekaligus indikasi rasa percaya pada pemerintah yang kini semakin memudar. Belum lagi persoalan korupsi mafia pajak yang semakin akut tak terusut. Lembaga KPK seakan 'mati suri' memberantas korupsi, membuat praktik kotor itu kian tak terkendali.
Alih-alih dirasakan oleh para penguasa, malah baru-baru ini pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh (ekonomi.bisnis.com).
Kebijakan itu jelas menggambarkan betapa rezim kapitalis ini bak rezim pemalak. Pemerintah menerapkan aturan seolah-olah memastikan tidak ada yang lolos dari jerat pajak. Membuat rakyat makin sekarat.
Kondisi ini tidak terjadi dalam sistem Islam. Sebab, Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama dalam penerimaan Baitul Mal (Kas Negara dalam sistem Islam/Khilafah). Pendapatan Baitul Mal diperoleh sesuai dengan hukum-hukum syariah: zakat, kharaj, jizyah, ghanimah (harta rampasan perang), kaffarat (denda), waqaf, dan lain-lain yang dikelola untuk kepentingan umat.
Sumber-sumber pemasukan ini sebenarnya sudah cukup untuk mengatur urusan umat dan melayani kepentingan mereka. Sehingga pajak tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga. Hanya kaum Muslim yang berkelebihan harta saja yang boleh dipungut pajak. Skema pemungutan pajaknya pun bersifat temporal, hanya jika memang diperlukan dan jika kas Baitul Mal/kas negara kosong dan saat itu butuh dana sesegera mungkin. Misalnya, ketika negara butuh dana untuk menanggulangi bencana, tetapi kas negara kosong, kewajiban pun jatuh pada kaum Muslim yang kaya saja. Akan tetapi, setelah kas negara terisi kembali dan maslahat umat sudah tertunaikan, penarikan pajak langsung dihentikan.
Rakyat mana yang tidak senang hidup tanpa harus membayar pajak rutin dan dipaksa? Walhasil, sistem Islamlah harapan umat ke depan karena membuat siapa pun senang dan tenang. []
Oleh: Purnamasari
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments