TintaSiyasi.com -- Situasi di Sri Lanka masih belum terkendali, berbagai kesengsaraan terus menimpa rakyat. Pada April lalu, Sri Lanka sempat menyatakan default atau gagal bayar utang luar negeri senilai 51 dolar AS atau sekitar 764,33 trilliun rupiah. Diketahui Sri Lanka kehabisan cadangan devisa untuk membiayai impor, sedangkan kebutuhannya selama ini bergantung pada impor termasuk bahan makan, obat obatan dan bahan bakar. Akibatnya inflasi naik di atas 50%, menyebabkan harga barang dan kebutuhan sehari hari melonjak tajam, sistem kesehatan diambang kehancuran akibat kekurangan obat obatan dan peralatan medis, terjadi pemadaman listrik nyaris setiap hari, sekolah dan perkantoran pun ditutup, layanan pemerintah non-esensial dihentikan demi menghemat persediaan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan ini kemudian mengundang kemarahan publik, protes dan demonstrasi terjadi disetiap penjuru negeri mendesak Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa mundur. Kondisi ini kian memanas ketika protes dijalan terus meluas, istana diduduki, dan rumah PM dibakar.
Setidaknya, ada faktor faktor penyebab krisis yang melanda Sri Lanka saat ini. Pertama, salah urus negara hingga adanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan para elit politik terutama pada proyek proyek pembangunan. Kedua, adanya pandemi COVID19 yang semakin memperburuk kondisi perekonomian di negara Sri Lanka, selain itu terjadi penurunan jumlah turis, sedangkan Sri Lanka selama ini mengandalkan sector pariwisata sebagai devisa utama negara. Namun, faktor tersebut sebenarnya adalah buah kebijakan dari utang. Di mana pemerintah Sri Langka membangun negerinya dengan mengandalkan utang luar negeri.
Jeratan utang luar negeri sebagai salah satu penyebab yang membawa penderitaan pada 22 juta penduduk Sri Lanka. Berbagai media dan pengamat ekonomi menilai Sri Lanka telah masuk ke dalam jebakan utang Cina, bencana besar ini terjadi akibat ketergantungan utang pemerintahan Rajapaksa pada Cina. Negara ekonomi terbesar kedua di dunia ini memang menjadi kreditur terbesar Sri Lanka melalui skema Belt and Road Initiative (BRI) yang bertujuan memberikan kucuran dana untuk di gelontorkan pada proyek infrastruktur seperti bandara, jalan raya, hingga pelabuhan. Sayangnya, sebagian proyek justru makrak dan tidak memberikan manfaat ekonomi bagi negaranya.
Ironisnya, demi mengatasi permasalahan ekonomi tersebut, Sri Lanka justru mengharapkan bantuan darurat dari IMF. Ibarat gali lubang tutup lubang, bantuan darurat yang diberikan oleh IMF tidak akan mampu menyelesaikan krisis yang menimpa negaranya tapi justru menambah beban bunga utang yang semakin menumpuk dan nantinya akan berimbas pada krisis multidimensi. Padahal International Monetary Fund (IMF) yang disebut sebagai lembaga keuangan dunia, hanyalah alat kerja negara kapitalis (AS) untuk menjadikan liberalisme ekonomi sebagai pedoman utama dalam merumuskan suatu kebijakan.
Baik utang Cina ataupun Barat, keduanya sama sama berbahaya. No Free Lunch, tidak ada makan siang gratis dalam paradigma kapitalis hari ini. Utang yang selain megandung unsur riba juga mengandung bahaya politis, karena pasti sebagai alat campur tangan dan control pihak asing terhadap kebijakan pemerintah. Dari sinilah kemudian muncul perselingkuhan antara pengusaha (sebagai kaki tangan asing) dengan penguasa (korporat). Filosofi utang, termasuk investasi hanyalah kedok sebagai alat penjajahan ekonomi, dan eksploitasi Sumber Daya Alam di negara negara berkembang. Mereka akan terus berambisi mempertahankan hegemoninya di dunia melalui cengkraman ekonomi kapitalisme.
Tidak hanya Sri Lanka, beberapa negara lainnya pun sebelumnya juga terjerat utang luar negeri. Seperti Zimbabwe, Nigeria, Venezuela, dsb. Maka ada dua pemain besar di balik jeratan utang luar negeri yang menimpa negara negara berkembang. Dua pemain besar itu, Amerika Serikat sebagai negara adidaya dan kiblat kapitalisme global, serta Cina sebagai peta ekonomi dunia baru di Asia tenggara, termasuk Afrika. Kedua negara tersebut ibarat negara induk yang akan terus berupaya menancapkan hegemoninya di seluruh dunia. Mereka akan mencengkeram negara-negara berkembang yang pada dasarnya tidak memiliki kekuatan politik, sehingga mudah untuk disetir menjadi negara pembebek. Itulah kejamnya sistem kapitalisme yang diemban oleh negara digdaya hari ini.
Butuh Solusi Sistemis
Kesengsaraan ekonomi, kemiskinan, kesenjanan yang terjadi pada jutaan orang di negeri negeri saat ini tidak lain adalah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme secara global. Maka perlu solusi sistemik yang menggantikan seluruh bangunan sistem. Islamlah sebagai satu satunya solusi sistemik yang mampu menggantikan sistem kapitalisme yang eksis hari ini. Islam memiliki sistem pengaturan ekonomi yang sangat terperinci, pengaturan yang bersumber dari sang pencipta yaitu Allah SWT yang tentu akan membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi setiap hambanya, hal ini terbukti selama 13 abad lamanya Islam diterapkan tidak pernah terjadi krisis yang berkepanjangan seperti yang saat ini banyak menimpa negeri-negeri dunia.
Islam memiliki pengaturan yang khas, yang dapat mengatasi agar krisis ekonomi tidak terjadi. Misalnya, dalam pengaturan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi secara tegas Islam mengharamkan adanya praktik ribawi, dalam Islam menolak pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada utang. Islam memiliki Baitul Mal yang keberadaannya untuk membiayai pembangunan infrastruktur utama seperti jalan, gedung sekolah, rumah sakit, dan lain lain yang dibutuhkan oleh masyarakat dan demi kemaslahatan umat. Selain itu, keberadaan Baitul Mal juga memiliki pos khusus yang akan digunakan sebagai penanganan bencana atau kondisi darurat. Sehingga ketika terjadi bencana maka negara telah memiliki cadangan biaya untuk mengatasinya.
“Apakah hukum jahiliah yang mereka hendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maaidah:50).
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Salsabila Isfa Ayu K.
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments