TintaSiyasi.com -- Di tengah kesulitan masyarakat memenuhi kebutuhannya, kenaikan harga pangan masih menjadi keluhan. Disusul dengan kenaikan harga BBM dan Gas non subsidi yang menggila. Ini menambah daftar beban tanggungan masyarakat. Meskipun begitu, pemerintah tetap memberlakukan kebijakan tersebut dengan tujuan mengikuti tren harga industri minyak dan gas dunia.
PT Pertamina (Persero) menjelaskan kenaikan harga disesuaikan dengan Kepmen ESDM 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU). Diantaranya Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite serta LPG non subsidi seperti Bright Gas. Berdasarkan ketentuan harga untuk BBM per liter maupun LPG per kg naik Rp. 2000.
Di sisi lain demi mempertahankan daya beli masyarakat, Pertamina tetap menjaga ketersediaan energi dengan harga yang terjangkau. Sehingga harga BBM non subsidi jenis Pertamax, Pertalite, Solar, dan LPG 3 Kg bisa stabil. Karena sebelumnya sudah mengalami kenaikan (tirto.id, 10/07/2022).
Sebenarnya penolakan kenaikan harga terus digulirkan oleh masyarakat. Namun pemerintah seolah tutup mata dan telinga. Padahal dampak dari kenaikan harga akan memungkinkan potensi praktik penimbunan ataupun oplosan yang membahayakan. Tentunya berdampak pula bagi naiknya pengeluaran yang semakin memberatkan masyarakat, terutama kalangan miskin.
Selain itu biaya produksi akan bertambah, sebagian para pengusaha terpaksa gulung tikar karena tidak mampu untuk menekan pelonjakan biaya produksi. Bahkan kebutuhan pokok akan mengalami kenaikan juga karena daya beli masyarakat menjadi turun. Kemudian nasib rakyat miskin semakin tercekik karena tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian akan menetaskan angka kemiskinan yang tinggi.
Maka jelas berbagai kekacauan nampak di depan mata, termasuk sektor pengelolaan migas. Pemerintah terus mengutak-atik harga yang menjadi kebutuhan masyarakat. Harusnya pemerintah bisa mempertimbangkan resiko yang akan terjadi. Jangan karena mengikuti perkembangan lonjakan harga migas dunia, malah mengorbankan nasib rakyat. Justru membuat regulasi sebagai pintu masuknya pihak asing untuk turut andil dalam pemanfaatan migas.
Bahaya begitu nyata karena cengkeraman asing semakin kuat. Perlahan tapi pasti. Tanpa disadari keuntungan mudah diraih oleh asing dengan merampok hasil penjajakan minyak dan gas secara halus. Ini menandakan adanya liberalisasi pengelolaan migas ala kapitalistik. Materi yang digencarkan, agama dijauhkan.
Lebih parahnya rakyat terus dikenakan pajak demi menutupi utang yang tak kunjung berakhir. Sama saja rakyat mensubsidi kebutuhan mereka sendiri dan tidak menikmati hasil yang dijanjikan pemerintah. Dan sebagian besar pendapatan pajak rakyat justru masuk ke kantong para kapitalis penguasa industri migas.
Bagaimana rakyat bisa dikatakan sejahtera jika kenyataannya sumber daya alam dan kekayaan lainnya diserahkan pada swasta dan asing. Sungguh miris, perusahaan migas swasta maupun asing diberi kebebasan menguasai usaha hulu minyak dan gas secara besar-besaran. Sedangkan rakyat hanya dapat sisanya. Sistem demokrasi telah menciptakan ketidakadilan, nampak kesenjangan antara si kaya dan miskin.
Tentunya semua permasalahan tidak akan terjadi jika negara menganut sistem Islam. Karena Islam mengatur semua aspek kehidupan. Tak terkecuali pengelolaan migas. Islam memandang migas sebagai barang kepemilikan umum yg harus dikelola negara dengan mengerahkan orang-orang yang amanah. Tujuannya demi kemaslahatan rakyat dan disimpan di Baitul Mal. Dengan kata lain, negara harus memberlakukan sistem ekonomi Islam agar pendistribusiannya secara merata dan adil di tengah masyarakat sesuai hukum syariah.
Rasulullah SAW bersabda, “Kaum Muslim bersekutu dalam tiga perkara yaitu air, padang rumput, dan api” (HR Abu Daud).
Negara berperan untuk melindungi kepentingan umat dengan tidak mengambil keuntungan, kecuali biaya produksi yang layak. Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan migas kepada pihak swasta, apalagi asing. Maka bisa dipastikan harga migas menjadi murah (bahkan gratis) dan mudah diakses seluruh rakyat.
Penjabaran tersebut sama halnya dengan kisah Abyadh bin Hammal pada hadis riwayat Tirmidzi. Bahwasanya Abyadh bin Hammal meminta kepada Rasulullah SAW untuk mengelola sebuah tambang garam. Kemudian Rasulullah SAW pun memenuhi permintaan itu.
Namun sahabat mengingatkan Rasul, "Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepada dia? Sungguh engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir." Lalu Beliau bersabda, "(Kalau begitu) tariklah kembali tambang tersebut dari dia."
Dari kisah ini bisa disimpulkan bahwa tambang tersebut merupakan salah satu sumber daya alam yang jumlahnya banyak. Sehingga Rasulullah SAW mencabut kembali pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut merupakan milik umum yang harus dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat secara merata.
Adapun hasil pengelolaan tersebut dapat dialokasikan dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, atau kebutuhan publik lainnya secara gratis. Dengan ketegasan batasan kepemilikan seperti ini tidak ada ruang sedikitpun bagi para kapitalis untuk menghisap habis potensi sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak masyarakat umum.
Inilah pengaturan sistem Islam yang dapat menjadi solusi dari kerusakan pengelolaan sumber daya migas yang diterapkan oleh sistem kapitalisme. Dengan begitu seluruh rakyat akan hidup sejahtera dan bahagia dalam naungan kehidupan syariat Islam. Dalam hal ini, penerapan sistem yang berasal dari Sang Pencipta, Pemilik sekaligus Pengatur yang akan menurunkan rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Yeni Purnamasari, S.T
Muslimah Peduli Generasi
0 Comments