TintaSiyasi.com -- Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengatakan reivisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disinyalir akan melahirkan otoritarianisme.
"Pengesahan revisi RUU KUHP disinyalir akan melahirkan otoritarianisme, karena ada sejumlah pasal yang mengekang masyarakat untuk menyampaikan kritik dan pendapat," ungkapnya dalam video singkat berjudul RKUHP Alat Represif, Minim Perlindungan Rakyat? Di YouTube Aspirasi News, Rabu (06/07/2022).
Ia mengatakan, sejumlah aturan dalam RUU KUHP justru tidak selaras dengan tujuan perlindungan terhadap kritik rakyat. Sehingga RKUHP dikhawatirkan mengganti watak kolonial dengan aturan yang bersifat otoritarian.
"Misalkan soal pasal penghinaan presiden, lembaga negara dan pemerintah begitu pun pasal-pasal pidana terhadap mereka yang melakukan demonstrasi," imbuhnya.
Aktivis 98 tersebut menegaskan, sejumlah pasal yang terkandung dalam produk-produk undan-undang dipastikan merupakan cerminan kepentingan politik kelompok elitis yang memegang kendali di balik penyusunan sebuah rancangan undang-undang.
"Maka banyak kalangan, termasuk sebagian akademisi menuding syarat dengan pasal yang berpotensi mengkrangkeng hak kebebasan berpendapat rakyat dengan dalih mengancam keamanan negara serta penggulingan kekuasaan," imbuhnya.
Misalnya, ia mengutip dalam Pasal 218-220 RKUHP Tahun 2019 yang menyebutkan kalimat penyerangan kehormatan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden merupakan tindak pidana.
"Dalam pasal yang lain 354 draf RUU KUHP tahun 2019 ditujukan kepada pengguna media sosial setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan, atau gambar, atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun," jelasnya.
Ia menjelaskan bahwa ketentuan pasal yang dimaksud sejatinya mengandung frasa karet, yang penafsirannya dapat ditarik kemana-mana sesuai dengan selera kekuasaan.
"Tentunya dampaknya para pegiat sosial yang kritis dengan kebijkan penguasa terancam dijebloskan ke bui penjara gegara kalimat kritis penggiat sosial itu ditafsirkan oleh elit kekuasaan seperti bentuk penghinaan pada lembaga negara," urainya.
Lebih lanjut, Agung menyatakan itulah problematik pasal penghinaan terhadap kepala negara dan lembaga negara tidak memberikan batasan demarkasi yang jelas antara niat penghinaan dan niat sekadar kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.
Ia mengingatkan, apabila sejumlah ketentuan pasal RUU KUHP terutama pasal penghinaan terhadap negara tetap dipertahankan, besar kemungkinan negara sedang menjadi justifikasi pemerintahan represif atau otoritarianisme baru.
"Mengulang gaya pemerintahan zaman kolonialisme dahulu, suara-suara kritis berpotensi akan dibungkam atas nama hegemoni kekuasaan. Terutama suara para aktivis dakwah Islam yang menyuarakan kebenaran Islam demi perbaikan negeri turut mengalami nasib harus meringkuk dibawah intimidasi kekuasaan," terangnya
"Sejatinya menyampaikan dakwah Islam merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, pembungkaman dakwah Islam sama saja dengan memadamkan cahaya Islam," pungkasnya.[] Alfia Purwanti
0 Comments