Ustaz Ismail Yusanto |
“Kalau umpamanya pasal-pasal penghinaan terhadap pejabat, sampai katakanlah kita tidak ada ruang untuk melakukan kritik, maka bisa diduga bahwa intensinya adalah mencegah kritik. Misalnya kasus Habib Rizieq Shihab (HRS) yang dianggap sebagai kebohongan. Itu belum ada RUU KUHP. Apalagi nanti kalau ada RUU KUHP. Saya kira ini akan menjadi ranjau politik dan hukum yang sangat mengerikan. Kenapa kok baru dimunculkan ini hari?” ujarnya dalam diskusi daring Membungkam Rakyat Ala RUU KUHP?, Senin (04/07/2022) di YouTube Media Umat.
Ia mengkwatirkan jika RUU KUHP tersebut nantinya akan mudah menjerat setiap dinamika masyarakat. Semisal adanya pikiran-pikiran alternatif yang ditawarkan, kritik terhadap kebijakan dan langkah pemerintah yang sebenarnya sangat perlu untuk dikoreksi demi perbaikan bangsa dan negara.
Ustaz Ismail, begitu sapaan akrabnya, menegaskan bahwa dalam penyusunan RUU KUHP itu harus diketahui arah filosofisnya, sehingga bisa dibaca intensinya. Karena bisa jadi katanya, RUU tersebut hadir karena situasi politik hari ini yang juga tidak bisa dilepaskan menjelang pemilu 2024. Banyak kritik dari publik akibat kesalahan rezim sekarang dalam mengelola negara.
“Ini tidak lepas dari situasi politik yang ada sekarang, juga berkenaan dengan situasi yang sedang menghangat akhir-akhir ini menjelang 2024. Banyak ktitik-kritik tajam kepada para pejabat tinggi akibat pandemi, ancaman energi dan pangan, utang yang menggunung, sempitnya ruang fiskal, dan sebagainya. Sehingga dirasa perlu membuat semacam barrier atau penghalang kritik yang datang bertubi-tubi dari publik. Tentu barikade paling elegan adalah hukum,” imbuhnya.
Terkait pengesahan RUU KUHP, ia menyatakan bahwa wacana kebutuhannya sudah ada sejak zaman Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hanya saja, pasal-pasal pembungkaman seperti penghinaan terhadap presiden jika secara filosofis dianggap perlu tentu sudah ada sejak zaman-zaman itu. Pernah sempat dibincangkan, namun telah di-drop oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sekarang justru muncul lagi, karena katanya bisa jadi pemerintah merasa urgen untuk memasukkan pasal-pasal kontroversi tersebut demi kepentingan politik rezim.
Lebih lanjut, menurutnya, hal utama yang perlu dicari tahu adalah filosofis penyusunan RUU KUHP. Khususnya menyangkut masalah pasal kontroversial dalam pasal penghinaan. Sebab harus ada kejelasan untuk memisahkan antara kritik dan penghinaan.
“Nah, di sinilah kita melihat pentingnya mengetahui filosofis dari dibuatnya RUU KUHP. Khususnya menyangkut istilah pasal kontroversial dalam pasal penghinaan itu. Saya coba memahamai pernyataan Wakil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkuham) yang mengatakan bahwa kritik itu boleh, yang tidak boleh itu menghina. Persoalannya adalah, bagaimana memisahkan kritik dan penghinaan? Sebab, dalam kritik itu yang dikiritik kadang-kadang merasa penghinaan. Itulah masalahnya,“ katanya.
Ia menjelaskan jika terkait dengan kritik, sesungguhnya penguasa membutuhkan kritik dari publik. Sebab, penguasa adalah manusia biasa yang tidak lepas dari salah dan khilaf. Karena dampak dari kesalahan seorang penguasa jelas berbeda dengan perorangan. Ia mencontohkan sahabat Umar bin Khattab dan Abu Bakar Shiddiq yang tidak tersinggung ketika ada seseorang yang menyatakan akan mengoreksi kebijakan mereka dengan pedang.
Ustaz Ismail menekankan bahwa kritik adalah bentuk amar makruf nahi mungkar menurut ajaran Islam dan sangat dibutuhkan oleh para pejabat negara agar mereka terus berada dalam koridor yang benar.
Tentu sangat berbeda dengan penghinaa, ia menerangkan jika terkait penghinaan, jelas adalah perkara yang dilarang dan berdosa untuk dilakukan. Karena Islam tidak mengajarkan untuk menghina orang lain dan penghinaan itu konteksnya berbeda dengan kritik.
“Memang betul menghina tidak boleh. Dalam Islam disebutkan bahwa menghina sesama muslim itu termasuk fasik atau berdosa. Menghina itu intensinya merendahkan, seperti warna kulit, bentuk tubuh, apalagi bentuk kecacatan. Kalau kita membaca syarah dari hadis itu dikatakan bahwa menghina berarti secara tidak langsung melecehkan takdir atau qada Allah atas yang bersangkutan. Padahal kita ini diminta untuk ridha khairihi wasyarrihi (baik buruk dari Allah Subhanahu wa Taala),” tambahnya.
Ia mengakui bahwa menilai intensi itu tidaklah mudah. Hanya saja, bisa dilakukan pengkajian mendalam sehingga terbaca arahnya.
“Dulu ada istilah supersif, sekarang adanya penghinaan. Itu saya kira yang penting untuk diperhatikan. Memang, untuk memahami intensi atau maksud dari dibuatnya undang-undang tidak mudah. Karena intensi itu ada dalam benak atau hati seseorang. Hanya saja, dengan kita mengupas secara tajam, itu sebenarnya sudah bisa meraba intensinya ke mana,” sebutnya.
Oleh karena itu, Ustaz Ismail menyatakan bahwa waktulah yang akan menjawab semuanya dengan jelas tentang arah rencana RUU KUHP tersebut.
“Saat ini saja sudah banyak aktivis-aktivis yang diijerat perkara hukum dengan pasal-pasal yang begitu tampak dipaksakan. Ini sebelum ada RUU KUHP, lho. Apalagi nanti jika sudah disahkan. Apakah benar seperti itu? Saya kira waktu nanti yang akan menjawabnya,” pungkasnya.[] M. Siregar
0 Comments