Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

LBH Pelita Umat Melihat Ada Gejala Otoriter Konstitusional dalam RUU KUHP


News.Tintasiyasi -- Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H melihat adanya gejala otoriter konstitusional dalam substansi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 

“Dalam subtansi RUU KUHP saya menyebutnya seolah-olah tampak ada gejala otoriter konstitusional,” ujarnya dalam Bedah Media Umat: Membungkam Rakyat Ala RUU KUHP?, Ahad (03/07/2022) di Youtube Media Umat.

Artinya, ungkap dia, bisa ada tindakan represif terhadap rakyat, tetapi berlindung di bawah undang-undang yang disahkan melalui legislasi dan proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

“Saya nampak ada gejala itu, jika RUU KUHP ini disahkan dengan memuat beberapa substansi norma-norma yang kemudian dipersoalkan oleh masyarakat,” tuturnya. 

Ia menyarankan, jika pemerintah mengatakan tidak ada gejala otoriter, bisa dibuka drafnya untuk yang terbaru, apakah sudah ada perubahan yang sangat signifikan menghapus beberapa norma yang menunjukkan gejala terkait otoriter konstitusional. "Nah, ini saya kira harus dibuka,” tuturnya. 

Terkait draf baru RUU KUHP belum dibuka sampai sekarang, ia melihat seolah-olah tampak ada potensi mengulang kejadian beberapa RUU sebelumnya yang disahkan, kemudian pemerintah mengatakan, "Kalau anda tidak setuju silakan gugat di Mahkamah Konstitusi (MK)," ucapnya. 

"Jadi alurnya seperti itu, silakan disahkan dulu, kalau tidak setuju jangan main demo harus ke pengadilan (MK), pasti begitu,” ujarnya. 

Sementara masyarakat, lanjut bung Chandra, jadi mulai pesimis ketika ke Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, menurutnya, jika masih tidak dibuka tiba-tiba disahkan, tentu tidak salah kalau masyarakat memberikan stempel bahwa itu adalah gejala otoriter. “Tetapi kalau istilah saya lebih tepatnya gejala otoriter konstitusional,” imbuhnya. 

Hukum Warisan Asing

Chandra mengatakan bahwa hukum-hukum yang berlaku di Indonesia saat ini adalah warisan dari paham asing, ideologi asing, dan paham-paham lain. 

Lebih lanjut ia mengungkapkan, hukum warisan itu nerasal dari Belanda, Belanda dari Prancis. Prancis kemudian melakukan kodifikasi mengumpulkan beberapa hukum peninggalan dari Romawi disebut kode Napoleon yang dilakukan pada tahun 1811. 

“Kemudian itu dikumpulkan hukum-hukum yang di Romawi, termasuk dari beberapa hukum-hukum Katolik, juga beberapa kebiasaan pada waktu itu,” ungkap dia. 

Ini kemudian, lanjut dia, dikumpulkan dalam Kode Napoleon dan diberlakukan terhadap daerah jajahan Prancis, lalu terhadap Indonesia karena jajahan Belanda. 

“Kalau dari paham lain berarti patut menjadi warning ketika ada ajaran Islam dituduh sebagai ideologi dan paham, mestinya kita harus adil memperlakukan hal ini,” pungkasnya. [] Mariyam Sundari
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments