TintaSiyasi.com -- Ada 14 pasal di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih digodog pemerintah telah mengundang kegaduhan di tengah masyarakat. Terutama di poin ke-3 yang mengangkat isu terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden (pasal 218).
Pakar hukum bereaksi, seperti, Suparji Ahmad dari Universitas Al-Azhar, yang menilai pasal-pasal di KHUP ini bernuansa kolonial karena pembaruannya tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan. Tentang penghinaan, tentang binatang yang lari ke kampung pekarangan orang lain, secara substansi RKUHP ini belum sejalan dengan nilai-nilai HAM dan nilai-nilai Demokrasi. Dalam hal ini terkait dengan kebebasan berekspresi yang malah bisa berpotensi dikenai pidana (detik.com, 25/6/2022).
Sebagai catatan, RKUHP ini sudah dirancang dari tahun 2015 sampai sekarang. Dikarenakan Indonesia masih menggunakan KUHP sebagai induk peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Belanda sejak tahun 1886 (cnnindonesia.com, 8/7/2022).
Tidak hanya itu, ratusan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi mendatangi Gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta, untuk berunjuk rasa menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini (cnnindonesia.com, 30/6/2022).
Permasalahan isu di poin ke-3 pasal 218 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden yang sebelumnya ditegaskan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, pemerintah tak memasukan pasal tersebut ke dalam 14 isu krusial RKUHP. Alasannya, telah diuji dan diputuskan oleh Majelis Konsitusi (MK). Dan dinyatakan ditolak (detik.com, 22/6/2022)
Namun ternyata isu ini tetap dimasukkan dalam draft RKUHP yang gagal diputuskan bulan ini, karena masih menurut Wamenkumham, Edward Syarief Omar Hiariej, masih banyak yang salah ketik (kompas.com, 28/6/2022).
Rezim Kembaran Kolonial
Dari beberapa rezim yang memerintah Indonesia, rezim saat ini dinilai sama dengan kolonial. Semaunya sendiri. Tak mendengar kritikan. Bahkan melakukan langkah-langkah untuk menghilangkan segala hal yang dinilai bisa berpotensi menumbuhkan "perlawanan", seperti memonsterisasi para kiai dan ajaran Islam.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, sebut saja Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Hasanudin dan sederet pahlawan nasional yang memperjuangkan tanah air dari penjajahan Belanda.
Pencabutan BHP ormas Hizbut Tahrir Indonesia, Pembubaran Ormas FPI, kriminalisasi para ulama, upaya deredikalisasi para santri, dan lainnya, terjadi di rezim saat ini. Maka wajar bila dikatakan, rezim sekarang kembaran rezim kolonial.
Rezim Antikritik
Omong kosong sistem demokrasi yang menjanjikan jaminan kebebasan. Termasuk kebebasan berpendapat, bila berasal dari lawan politik, apalagi suara Islam. Sebab hanya pendapat Islam, pendapat yang benar. Dan rezim sekarang, tahu benar. Adanya pembiaran opini Islam akan membahayakan eksistensi mereka sebagai pelaku yang menerapkan sistem kapitalisme demokratis.
Maka, pembungkaman suara Islam sebagai bentuk keharusan demi melanggengkan kekuasaan. Mereka tak sungkan membuat Undang-Undang, seperti di RKUHP pasal 218, yang mewujudkan eksistensi sejati sebagai rezim anti kritik.
Menjelang Pemilu, Muka Dua Rezim Kapitalis
Sepak terjang rezim yang anti-Islam dan antikritikan, sesungguhnya menjadi bumerang ketika ingin melanggengkan kekuasaan. Maka rezim harus berhati-hati mengambil dan memetakan langkah. Kita bisa lihat tampilan yang lebih alim, atau melunak dalam berbagai diskusi publik, padahal biasanya garang dan tak tahu batasan moral. Bermuka dua, tak hanya dalam urusan agama, dalam kehidupan juga.
Seharusnya ini menjadi momentum tepat bagi rakyat mengambil keputusan. Saatnya tinggalkan sistem demokrasi, yang terlalu banyak intrik. Unjung-ujungnya kembali pada kepentingan dan mengembalikan modal kampanye yang dikeluarkan. Belum lagi balas jasa pada para kapitalis melalui kebijakan yang mencekik rakyat. Betul-betul wajah sejati rezim kapitalisme.
Hentikan Kegaduhan, Islam Beri Jawaban
Islam sebagai sistem hidup yang sempurna, menjalankan mandat dari Sang Maha Pencipta untuk memakmurkan dunia. Maka dalam sistem Islam yang diwariskan oleh Baginda Nabi Besar Muhammad SAW, dengan sistem negara yang bernama Khilafah, memudahkan rakyat menentukan pilihan siapa yang menjadi pemimpinya.
Khalifah atau Amirul Mukminin, pemimpin tunggal kaum Muslim. Dalam pemilihannya, wajib memenuhi syarat-syarat yang ditentukan hukum syarak, yaitu; Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu. Jika memenuhi syarat, bisa diajukan sebagai calon khalifah yang nanti diseleksi. Hasil akhirnya, diangkat dengan baiat. Bisa langsung oleh umat atau perwakilan dari umat.
Dalam sistem Islam, membatasi ketiadaan seorang Khalifah hanya tiga hari (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm. 132). Sebagaimana ijmak sahabat, ianya berlaku sebagai salah satu dari sumber hukum syarak. Hal ini meminimalisasi biaya yang dikeluarkan negara.
Dengan begitu, tidak ada kegaduhan dalam rangka memanfaatkan dan melanggengkan jabatan. Apalagi mengembalikan modal selama kampanye pemilihan. Dan pastinya, sistem Islam memberikan satu-satunya jawaban dari setiap permasalahan. Terlebih, Islam memosisikan orang yang mengeritik penguasa, sebagai jihad yang utama. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: "“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zalim itu) membunuhnya” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath). Wallahu a'lam. []
Oleh: Sri Ratna Puri
Pegiat Opini Islam
0 Comments