TintaSiyasi.com -- Pekerja anak menjadi salah satu permasalahan sosial yang telah menjadi isu global bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia. Pekerja anak adalah setiap anak yang bekerja di bawah umur 18 tahun yang melakukan pekerjaan dapat mengganggu dan mebahayakan keselamatan serta tumbuh kembang anak.
Badan Dunia ILO (International Labour Organization) atau Organisasi Buruh Internasional menyebutkan pada saat ini ada 160 juta pekerja anak di dunia. Persentase pekerja anak paling banyak adalah di Afrika mencapai 75%, disusul oleh Asia 18% serta Amerika Latin 7%. Di Indonesia sendiri tercatat 2,3 juta pekerja anak yg tersebar di berbagai provinsi (kompas.com, 20/03/2022).
Jumlah pekerja anak ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan tingginya kemisikinan. Selain kemiskinan, pendidikan orang tua juga berpengaruh pada pola pikir anak menjadikan mencari uang lebih penting daripada sekolah. Anak-anak terpaksa bekerja dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena orang tuanya kesulitan ekonomi.
Pekerja anak merupakan masalah serius yang mengancam terpenuhinya hak-hak anak. Karena berisiko putus sekolah, terlantar dan masuk ke situasi berbahaya sehingga mengancam tumbuh kembang anak yang maksimal.
Semua ini adalah dampak dari penerapan sistem kapitalisme, di mana dalam sistem kapitalisme masyarakat yang lemah secara ekonomi kalah dengan masyarakat yang memiliki kekuatan ekonomi (modal dan koneksi). Akibatnya yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya.
Contoh pekerja anak di Indonesia salah satunya adalah pekerja anak di industri kelapa sawit dan eksploitasi anak di ladang tembakau. Di mana ILO memperkirakan bahwa mencapai 1,5 juta pekerja anak bekerja di sektor pertanian Indonesia. Sering pula kita dapati anak-anak usia SD berkeliaran di jalanan menjadi pemulung, berjualan hingga menjadi pengamen hanya untuk memenuhi kebutuhan perut.
Mirisnya, fenomena pekerja anak ini muncul di tengah adanya orang-orang kaya yang disebut crazy rich atau anak sultan yang memiliki kekayaan melimpah yang dengan mudah menghambur-hamburkan uang untuk mengikuti hawa nafsu, berlomba bergaya hidup. Padahal bagi rakyat bawah untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup pun sangat sulit sehingga anak-anak harus bekerja. Dan itu jelas adanya ketimpangan sosial di tengah masyarakat.
Sementara jika kaitkan dengan peraturan yang ada, ternyata fakta di lapangan bertentangan dengan berbagai hukum dan aturan-aturan yang ada dalam sistem saat ini. Badan dunia ILO memiliki beragam konversi yang sebenarnya mengatur pekerja yang layak maupun usia minimum untuk bekerja juga untuk menjamin keselamatan dari kekerasan dan pelecehan di tempat kerja.
Indonesia sendiri memiliki beberapa aturan undang-undang. Salah satunya pada pasal 34 ayat 1 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Kemudian pada pasal 27 ayat 2 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun pada nyatanya, aturan undang-undang dan fakta lapangan sangat bertentangan, rakyat sama sekali tidak mendapatkan haknya dari negara. Ini adalah bukti buruknya sistem yang berlaku saat ini.
Berbeda dengan sistem Islam yang memberikan perlindungan kepada anak, menjamin untuk mendapatkan kesempatan pendidikan, serta menjamin terpenuhinya nafkah setiap keluarga. Islam memiliki berbagai macam mekanisme sehingga anak bisa tumbuh kembang dengan optimal mendapatkan kasih sayang yang cukup. Islam mewajibkan negara untuk memiliki peran sangat besar dalam memberikan kesejahteraan dan perlindungan pada anak. Sehingga anak tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Setiap anak akan hidup sejahtera, aman serta mendapatkan haknya di bawah naungan Islam. []
Oleh: Ikeu
Member Ksatria Aksara Kota Bandung
0 Comments