TintaSiyasi.com -- Kawasan Dukuh Atas belakangan menjadi viral. Sejumlah remaja laki-laki dan perempuan memperagakan busana eksentrik di zebra cross yang disulap sebagai catwalk. Selain itu, mereka juga nongkrong di seputaran Dukuh Atas, Jakarta Pusat, pada Sabtu (16/7/2022) dan Minggu (17/7/2022). Muncullah istilah Citayam Fashion Week (CFW) di kawasan Sudirman Center Business District (SCBD) ini yang kemudian mereka namai dengan "SCBD" alias Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok.
Street fashion ini bukanlah hal baru di kalangan anak muda. Ini merupakan gejala yang sudah lebih dulu muncul di berbagai dunia seperti Jepang, Korea, dan negara-negara Amerika dan Eropa. Street fashion menjadi salah satu cara anak-anak muda untuk show up identitas dirinya. Tujuan bersama yang ingin mereka capai dari aksi yang menimbulkan crowd ini adalah atensi publik, eksistensi, dan viral tentunya.
Gayung bersambut, aksi ini mendapat respons dari sebagian masyarakat termasuk para pejabat publik. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno misalnya, berharap kawasan SCBD dan CFW ini bisa seperti fashion street di Harajuku, Jepang. Ia juga melihat ada potensi ekonomi di balik fenomena CWF ini paling tidak menjadi sumber konten menarik untuk mengangkat urban tourism. Sang Menteri berharap SCBD dan CFW bisa menjadi trendsetter bagi fesyen. Sekaligus menjadi influencer yang mensupport promosi UMKM.
Gubernur Anies Baswedan pun turut mengapresiasi senada. Ia ditemani Wakil Presiden Bank Investasi Eropa Kris Peeters dan sejumlah tamu dari benua biru lainnya catwalk bersama di penyeberangan jalan itu. Anies mengatakan bahwa anak muda itu selalu bisa melihat dengan perspektif baru, perspektif yang tidak terpikirkan sebelumnya, mereka mewakili masa depan sehingga patut diberi kesempatan.
Mindset Penguasa
Ini menarik, narasi kebijakan pemerintah hanya mentranslet hubungan potensi generasi muda semata-mata dalam bahasa ekonomi, yakni bagaimana potensi pemuda usia produktif bisa memberi profit bagi pembangunan ekonomi di negeri muslim terbesar ini.
Nampaknya mindset kapitalis sekuler telah meresap ke lubuk hati penguasa, hingga mereka tidak mampu melihat relasi ideologis dan strategis antara usia produktif dan kualitas peradaban. Inilah cacat bawaan ideologi kapitalisme yang mengkhianati peran politis kenegaraan dari penguasa dan meninggikan apa yang disebut empowerment through employment sebagai derajat yang paling tinggi bagi kaum muda, lalu mengaruskan aneka jenis preneurship sebagai solusi kemacetan ekonomi. Lihat saja, pendidikan vokasional dan pelatihan kewirausahaan terus digenjot sedemikian rupa.
Di sisi lain, ambisi terhadap economic growth membuat penguasa negeri ini menjadikan kualitas generasi sebagai tumbalnya. Mereka hanya dipandang sebagai sekrup-sekrup mesin pemutar roda industri kapitalis, sekaligus menjadi objek pasar bagi produk yang dihasilkan. Tengok saja konsep merdeka belajar yang hanya ditujukan untuk menciptakan generasi produktif dan punya daya saing serta kemandirian pada aspek ekonomi semata, bukan sebagai motor peradaban.
Problematis
Bila kita cermati, budaya CFW ini tak hanya menampilkan mode tetapi juga style gaul bebas dan pacaran bahkan konon ada di antaranya yang mengidap penyakit seksual menyimpang. Dari sini kita patut bertanya, profil anak muda seperti inikah yang kita harapkan bisa mengisi masa depan bangsa, menyongsong Indonesia Emas tahun 2045?
Padahal tak bisa dimungkiri, problem kepemudaan kita sebagian besar dipicu oleh pergaulan bebas yang pada akhirnya merembet pada maraknya kriminalitas di kalangan remaja. Anak nongkrong, anak jalanan, adalah komunitas yang sangat identik dengan beragam problem generasi muda. Ditambah derasnya arus moderasi yang seiring dengan arus liberalisasi, kaum muda nyaris merasa asing dengan agamanya. Problem moralpun ada di mana-mana.
Sungguh, tsunami informasi di dunia maya saat ini dipadati oleh nilai-nilai sekuler dan tsaqafah asing. Di dunia islam, tsunami informasi ini telah memarginalkan tsaqafah Islam sebagai ‘informasi yang mulia dan penting’ bagi generasi muda. Lewat kemajuan pesat dunia digital, Barat telah menginvasi dunia muslim melalui sosial media dengan beragam bentuk budaya, gaya hidup hedonis dan liberal yang sama sekali tidak berharga bagi kemajuan peradabannya.
Kemajuan fisik dan ekonomi yang mereka capai sebagai negara maju telah mengantarkan pada dehumanisasi yang hebat bahkan menjadi ancaman kepunahan ras mereka sendiri sebagaimana Jepang. Perlu diketahui, arus berbahaya ini berlindung di bawah payung ekonomi digital yang telah bersimbiosis dengan rezim perdagangan bebas. Keduanya sama-sama menggilai pertumbuhan ekonomi yang memperlakukan generasi muda sebagai mesin penghasil cuan. Nampaklah daya kritis dan idealisme mereka lumpuh sehingga terhadap identitas keislaman, mereka semakin menjauh. Maka sekali lagi kita patut bertanya, mampukah suatu bangsa menjadi hebat dan kuat peradabannya jika generasinya lumpuh? Dan kita juga bertanya, apalah gunanya perekonomian gagah jika manusianya punah?
Butuh Format Ulang
Sebagai umat Muhammad yang menempati kawasan mayoritas Muslim, semestinya kita menjadikan islam sebagai rujukan dalam memformat ulang peradaban yang sekarang. Selain sesuai dengan fitrah humanisme, Islam juga memiliki mekanisme memajukan peradaban. Visi Islam memastikan bahwa modernitas dan digitalisasi tidak akan menyebabkan kekacauan dan kerusakan sosial di masyarakat.
Dalam pandangan Islam, negara memiliki peran strategis dalam menyiapkan generasi penerus yang hebat sebagai agen-agen dakwah penebar risalah kebaikan dan rahmat bagi semesta raya. Posisi pemuda adalah sebagai motor perubahan, karenanya mereka harus cerdas, beriman, dan sadar akan identitasnya sebagai hamba Allah dan tugas utamanya sebagai khalifah pemakmur bumi Allah.
Invasi budaya asing yang menyebabkan krisis identitas dan krisis iman di era sekularisasi digital harus dihadapi dengan dakwah digital yang intensif kepada kaum muda agar kembali mengarahkan perhatian terbesarnya pada Islam. Kekuatan yang kita butuhkan bukan lagi bedil dan meriam, melainkan kekuatan sudut pandang dan literasi informasi. Dan ideologi Islam punya itu semua. Ideologi islam akan menjadi sensor bagi banyaknya informasi yang diterima sehingga generasi muda Muslim mampu menimbang berbagai peristiwa dengan lensa akidah Islam. Mereka akan memiliki imunitas terhadap gosip murahan, iklan produk dan gaya hidup yang sia-sia. Dengan kekuatan akidah Islam, ‘bedil dan meriam’ budaya sekuler liberal tidak akan menembus ataupun bersarang di tubuh umat Islam.
Dakwah digital juga harus bertarget untuk membentuk kepribadian Islam yang kuat dan khas, sehingga pola pikir dan pola sikap generasi muda Muslim tidak alay apalagi lebay. Hal ini membutuhkan kehadiran negara sebagai perisai yang akan menghalau kekuatan korporasi asing yang mengeksploitasi pasar melalui pemanfaatan teknologi. Negara hadir bukan sebagai ‘wasit’ atau regulator semata, melainkan sebagai periayah (pengasuh) rakyat yang akan serius mewujudkan tidak hanya ekonomi yang sehat, tetapi juga masyarakat yang sehat serta generasi muda yang berkepribadian kuat dan berintegritas.
Negara memiliki strategi politik media yang mengadopsi Islam dan memaparkan konsep-konsep Islam dengan pemaparan yang kuat agar umat manusia memahami hakikat Islam sebagai way of life yang sahih dan sebagai satu-satunya solusi atas berbagai persoalan yang manusia hadapi dalam kehidupannya. Strategi politik ini akan mengonstruksi kesadaran politik yang kuat pada generasi muda Muslim sehingga mereka memahami percaturan politik yang sesungguhnya.
Umat ini sangat membutuhkan generasi leader yang akan mengeluarkan negeri ini dari kegelapan kapitalisme sekuler menuju cahaya Islam, bukan generasi follower yang mengikuti jejak Barat menuju liang peradabannya yang gelap. Semua itu ditujukan semata-mata agar firman Allah SWT dalam QS Ali Imran ayat 110 berikut ini menjadi realitas, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.
Wallahu a’lam. []
Oleh: Pipit Agustin
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments