TintaSiyasi.com -- Belakangan ini, Islam dan umat Muslim kembali disorot mata khalayak, bukan karena keagungan dan nilai-nilai luhurnya melainkan akibat kasus demi kasus yang mencoreng wajah agama rahmatan lil ’alamin ini. Salah satu kasus menimpa ACT, lembaga filantropis Islam. Begitu banyak kaum Muslim baik dalam maupun luar negeri yang terbantu dari perpanjangan tangannya dalam mengelola dana donasi umat untuk umat.
Dugaan penyelewengan untuk gaji pengurus,
Kasus yang hingga saat ini masih berstatus dugaan dan sedang diselidiki secara intensif ini berkaitan dengan sejumlah penyelewengan dana umat yang didonasikan melalui ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang ditenggarai digunakan untuk kepentingan sejumlah pengurus lembaga tersebut. Salah satu dugaan penyelewengan yang diungkapkan kepolisian adalah penggunaan dana CSR untuk keluarga korban kecelakaan pesawat yang diberikan oleh pihak Boeing.
Di media sosial sendiri, kasus penyelewengan dana donasi oleh petinggi ACT ini telah lebih dulu viral dan mendapat kecaman dari berbagai pihak. Bahkan tak sedikit masyarakat yang langsung memvonis buruk ACT dan hilang kepercayaan kepada salah satu lembaga filantropis tersebut meski kasusnya masih didalami pihak berwajib. Dugaan dana digunakan untuk kepentingan pribadi mulai dari menggaji para pengurus dengan angka fantastis ratusan juta hingga membiayai hidup berfoya-foya mereka tak pelak membuat geram banyak orang.
Dugaan penyelewengan dana yang paling menjadi fokus pihak kepolisian adalah dana santunan pihak Boeing kepada korban kecelakaan pesawat Lion air disinyalir tidak disalurkan secara utuh kepada pihak keluarga korban. Polisi menduga sebagian uang yang tidak disalurkan kepada keluarga korban inilah yang disalahgunakan demi kepentingan pribadi di mana pihak ACT sendiri tidak membuat realisasi jumlah serta bagaimana mereka mengelola dana CSR Boeing secara terbuka. Diberitakan, sebelum pihak kepolisian memulai proses penyelidikan, PPATK atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan secara bertahap sudah melakukan pemblokiran atas tiga ratus rekening yang dimiliki dan dikelola oleh ACT. Kabar yang mencengangkan lagi, bersumber dari database ACT dan kajian mendalam pihak PPATK, timbul dugaan kuat aliran dana dari penyelewengan ini mengalir kepada Al Qaeda, salah satu kelompok teroris yang sering dikaitkan dengan Islam [Kompas, 10/07/2022].
Dalam kasus ini, pihak ACT dikenakan berbagai pasal selama penyelidikan, mulai dari pasal 372 KUHP dan/atau pasal 45A ayat (1) jo pasal 28 ayat (1) undang-undang nomor 19 tahun 2016 yang berisi tentang Infromasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Pasal kedua yaitu pasal 70 ayat 1 dan ayat 2 pasal 5 UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan garis miring atau pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Dalam sebuah konferensi pers, pihak ACT sendiri yang diwakili oleh Ibnu Khajar selaku presiden menyatakan bantahan pihaknya telah menggelapkan dana. Ibnu mengungkapkan jika sejak tahun 2017 silam, ACT hanya mengalokasikan biaya sejumlah 13.7 persen dari total dana yang terkumpul untuk mendukung biaya operasional [Dream, 05/07/2022].
Pendapat Pakar Ekonomi Islam
Dr Imran Mawardi selaku Pakar Ekonomi Islam Universitas Airlangga dalam sebuah wawancara menyoroti bahwa pengelolaan keuangan ACT memang melanggar undang-undang yaitu PP nomor 29 tahun 1980 mengenai pelaksanaan pengumpulan sumbangan di mana dalam undang-undang tersebut tertulis pemakaian dana donasi yang ditujukan untuk biaya operasional maksimal sebesar 10% saja. Sementara pihak ACT sendiri menggunakan sebesar 13,7%, meski begitu Imron Mawardi juga menanyakan bagaimana peran pemerintah dalam regulasi dan pengawasan dana publik terutama pada lembaga filantropi semacam ACT yang mana pelanggaran semacam ini sudah berlangsung cukup lama [MSN, 12/07/2022].
Transparansi dan Stigma
Dari keriuhan kasus lembaga penggalangan dana sosial ACT ini jika dikembalikan pada syariat Islam maka ada beberapa poin yang harus diperhatikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri agar hal-hal serupa tidak terjadi lagi.
Pertama, transparansi keuangan. Dalam Islam sendiri penggalangan dana demi kepentingan kaum Muslim seperti pembangunan masjid atau membantu anak yatim dan mereka yang membutuhkan diperbolehkan. Rasulullah sendiri pernah menggalang dana untuk kepentingan kaum Muslim saat melakukan perjanjian dengan bani Amir. Meski tentu saja penggunaan dana harus sesuai dengan kebutuhan.
ACT merupakan lembaga filantropi milik publik yang menggalang dana dari masyarakat luas. Oleh karena itu sebagai lembaga publik ACT memiliki tanggung jawab untuk membuka secara transparan dan akuntabel penggunaan dana yang ada sesuai dengan ketentuan-ketentuan lembaga publik kepada para pendonor khususnya maupun masyarakat pada umumnya. Hal ini tentu untuk menumbuhkan kepercayaan, ketenangan dan juga kepuasan bagi para pendonor serta mencegah timbulnya fitnah. Selain transparansi keuangan lembaga publik, penggalang dana sosial juga wajib melakukan transparansi program yang digelar mulai dari target capaian kebutuhan dana sampai penyalurannya ke mana saja.
Kedua, arti ikhlas dalam mengabdi. Banyak orang yang berpikir salah selama ini tentang arti ikhlas dalam pengabdian kepada masyarakat. Kebanyakan orang berpikir ikhlas berarti tidak boleh menerima upah atau imbalan dari hasil kerjanya. Katakanlah seorang ustaz yang mengajar ngaji maka seringnya dianggap tabu untuk menerima pembayaran dengan dalih harus ikhlas demi mendapatkan ridha Allah. Padahal ilmu yang diberikan itu merupakan sesuatu yang mahal dan semestinya tidak sebanding jika dihargai dengan materi saja. Belum lagi biaya operasional sebagai guru ngaji yang bukan hanya harus meluangkan waktu tetapi juga tenaga dan biaya.
Dari contoh ini bisa kita kaitkan dengan kasus ACT, di mana pengambilan dana sebesar 13,7% untuk biaya operasional menjadi begitu menghebohkan karena konotasi masyarakat tentang lembaga sosial harusnya tidak menerima biaya sebesar itu demi kepentingan pengurusnya. Padahal dalam mengelola sesuatu dibutuhkan ilmu dan juga profesionalitas agar pengelolaan bisa berjalan dengan baik apalagi pengelolaan dana yang jumlahnya besar dan harus disalurkan kepada berbagai pihak di berbagai tempat.
Selayaknya posisi amil zakat dalam Islam yang juga mendapatkan bagian dari zakat yang dikelolanya, sebenarnya gaji yang diterima oleh para pengurus ACT bukanlah hal yang haram. Sudah sepantasnya pekerja sosial dihargai selayaknya pebisnis profesional yang mengelola bisnis mereka, tetapi pemberitaan yang terlalu over ditambah nominal gaji pimpinan yang terlalu wah membuat masyarakat mengonotasikan gaji pengelola dana sosial adalah hal yang sangat negatif.
Reaksi Berlebihan Pemerintah
Hal yang paling disayangkan dari kasus hebohnya dana ACT ini adalah pemerintah yang bersikap terlalu over reaktif ditambah masyarakat terutama di media sosial yang juga menanggapi sama reaktifnya. Padahal, peran pemerintah dalam hal ini juga bisa dikatakan lalai dan ikut bertanggung jawab, dan Kemensos yang memberikan izin lembaga juga semestinya melakukan pengawasan secara berkala. Tindakan pencabutan izin ACT yang diambil juga terkesan terburu-buru, padahal seharusnya pemerintah melakukan penelusuran, audit, lalu pembinaan terlebih dahulu. Peran pemerintah dan reaksi yang diberikan dalam menanggapi kasus sejenis ini tentu sangat mempengaruhi penilaian masyarakat.
Kasus penggelapan dana atau penyelewengan sebenarnya bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia dan bukan hanya menyeret lembaga filantropis berbasis Islam saja. Akan tetapi ketika kasusnya menimpa sebuah lembaga yang pelakunya memiliki keterkaitan dengan simbol Islam maka pemberitaan di berbagai media terlihat begitu masif dan menjatuhkan. Apalagi ketika aliran dana dari lembaga diberitakan diduga kuat memiliki keterkaitan dengan kelompok teroris yang selama ini dicap radikal ekstrimis dan membahayakan. Maka sudah barang tentu akan membuat masyarakat menjadi was-was dan takut menyumbangkan dana kepada lembaga pengumpul dana yang berbasis Islam.
Konklusi
Dari kasus ini juga kita bisa memahami, kasus penggelapan dan penyelewengan dana bisa terjadi di mana saja baik lembaga pemerintah, swasta, hingga lembaga pengumpulan dana semacam ACT. Hal ini dikarenakan sistem kapitalisme sekularisme hari ini yang jauh dari syariat Islam. Sistem di mana orang sangat berfokus pada materi, bebas berlomba-lomba memperkaya diri dengan menghalalkan segala cara. Sistem sekularisme juga selalu berusaha memisahkan agama dengan kehidupan manusia sehingga umat semakin jauh dari Allah dan mudah terhasut dalam perbuatan maksiat.
Ditambah regulasi dan pengawasan dari pemerintah yang kurang tegas sehingga selalu saja ada celah untuk penyelewengan dana. Jika pun ada sanksi hukum yang diterapkan kepada pelaku penyelewengan, tetap tidak mampu memberantas korupsi itu sendiri dikarenakan sanksi yang kurang tegas dan kadang bersifat tebang pilih. Satu-satunya solusi terbaik tentu kembali kepada syariat Islam dan hukum Allah. Dengan penerapan hukum yang sesuai ketentuan Allah akan menimbulkan efek jera dan terjaganya umat dari tindak kejahatan yang merugikan dan menghinakan. []
Oleh: Virlyana Azhari Uswanas
Voice of Muslimah Papua Barat
0 Comments