TintaSiyasi.com -- Peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli mengusung tema “Anak Terlindungi Indonesia Maju”. Tema tersebut diharapkan memberikan motivasi serta mampu mendorong berbagai pihak untuk turut memastikan anak Indonesia tangguh, terpenuhi haknya, dan mendapat perlindungan khusus pasca pandemi Covid-19.
Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari keluarga. Ia merupakan indikator penting keberlangsungan manusia bahkan sebuah negara. Namun nyatanya jika dilihat ke belakang, Indonesia pernah menduduki peringkat 1 karena tingginya kematian anak akibat Covid-19. Bahkan 50 persen di antaranya adalah balita. Miris memang, berdasarkan fakta tersebut saja sudah membuktikan bahwa hak anak untuk hidup dan sehat masih jauh dari angan.
Di saat pemerintah sibuk menyiapkan tagline #AnakTangguhIndonesiaLestari sepertinya mereka masih lupa untuk menyiapkan generasi tangguh. Data yang diambil dari Kemenkes pada tahun 2015 saja keinginan untuk bunuh diri telah menyasar pelajar. Hasil survei menyatakan sebanyak 4,3 persen laki-laki dari 4.998 koresponden dan 5,9 persen perempuan dari 5.049 koresponden usia 12-18 tahun. Faktor ekonomi dan akses pendidikan pun diduga turut memberikan kontribusi kasus di masa pandemi. Hal tersebut diperkuat oleh hasil temuan TKP maupun data anamnesis keluarga dan orang terdekat korban.
Belum lagi tawuran pelajar. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, sepanjang 2021 setidaknya ada 188 desa/kelurahan yang dijadikan area tawuran. Jawa Barat sebagai provinsi yang dekat dengan Ibu Kota malah menjadi lokasi dengan kasus tawuran pelajar terbanyak, yakni 37 desa/kelurahan.
Ditambah perundungan yang marak terjadi hingga mengakibatkan hilangnya nyawa. Sebut saja bocah 11 tahun asal Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia dipaksa oleh teman-temannya untuk menyetubuhi kucing. Sebelumnya korban kerap menjadi korban perundungan dan pemukulan oleh teman sebayanya. Fenomena ini tentu bukanlah hal yang wajar. Kekerasan yang dilakukan terhadap anak yang dianggap lemah telah menunjukkan bahwa karakter emosional, sulit mengendalikan diri, pemarah dan superior telah menjadi bagian dari mereka.
Meskipun negara mencanangkan program Indonesia Layak Anak (IDOLA) melalui Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) namun KPPA justru mencatat laporan kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat tiga tahun terakhir. Jumlah kekerasan terhadap meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972 pada 2021.
Penilaian dari Komisi Perlindungan Anak (KPAI) menunjukkan bahwa faktor ekonomi, tekanan hidup yang meningkat, kemarahan terhadap pasangan menjadi pencetus kekerasan yang dilakukan orang tua pada anak. Kekerasan yang dilakukan anggota keluarga nyatanya berlatar belakang tekanan hidup. Belum lagi ancaman kekerasan seksual yang bisa terjadi di mana saja.
Dalam sistem saat ini anak memang rentan menjadi korban. Bahkan mereka secara langsung menghadapi dampak dari kebijakan negara. Sebut saja inflasi ekonomi, tidak sedikit dari mereka yang terpaksa putus sekolah dan membantu perekonomian keluarga.
Sederet tagline dan peringatan HAN saja tak akan cukup untuk mewujudkan perlindungan anak. Solusi yang diberikan pun harus benar dapat dirasa dan nyata. Negara sebagai pemegang kendali utama perlu menempuh langkah sistemis dan strategis dalam mewujudkannya.
Negara pun wajib memperhatikan aspek pergaulan, pendidikan, ekonomi, sosial masyarakat bahkan memberikan keamanan terhadap jiwa dan harta. Menjadikan itu semua sebagai satu mata rantai yang tak terpisahkan dalam melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Mengambil kebijakan untuk mensejahterakan masyarakat dan memastikan setiap individunya mendapatkan kebutuhan dasarnya.
Di saat yang sama masyarakat pun turut menciptakan sistem sosial yang saling menjaga dan mengasihi. Tidak berkata kasar maupun kotor, tidak mengejek, serta karakter tolong menolong dan berbuat kebaikan saling ditanamkan.
Keluarga sebagai garda terakhir dalam perlindungan anak, memastikan hak anak-anak mereka terpenuhi. Anak mendapatkan pengasuhan, pendidikan, dan ditanamkan nilai keimanan agar tumbuh menjadi pribadi yang bertakwa. Ibu sebagai sosok yang dianggap dekat dengan anak tak bisa dianggap remeh peranannya. Ibu selayaknya tidak dijadikan tulang punggung keluarga. Ibu berhak membersamai anak-anaknya, dan memperhatikan tumbuh kembangnya. Sementara jika si anak dan ibu tak memiliki wali maka melalui kas negaralah yang menjamin keberlangsungan kehidupannya. []
Oleh: Izza
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments