TintaSiyasi.com -- Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng mengatakan, yang tidak disadari pemerintah soal aplikasi Mypertamina adalah akan terkuak siapa yang mengonsumsi solar dan pertalite subsidi.
"Tetapi, okelah ini belum bisa direalisasikan. Pemerintah belum berpikir sejauh itu. Bukannya bagus jika mulai sekarang kita tahu siapa sebetulnya yang mengonsumsi solar dan pertalite subsidi?" kata Daeng kepada TintaSiyasi.com, Selasa, 5 Juli 2022.
Menurut Daeng, hal itu bukan pelarangan penggunaan subsidi, tetapi itu adalah pendataan. "Sekarang mau mulai dengan merapikan dulu lewat Pertamina. Yakni mulai dengan Mypertamina. Aplikasi untuk mengontrol BBM subsidi. Aplikasi untuk mengetahui siapa dan berapa seseorang mengkonsumsi solar dan pertalite subsidi," tutur Daeng.
Ia menjelaskan, digitalisasi akan menyajikan data itu, data yang terbuka dan transparan. "Tidak ada satu manusia pun di era transparansi digitalisasi ini yang dapat menyembunyikan keinginannya dan apa yang dia makan," katanya.
Ia melihat, ada yang menolak sebuah rencana pendataan melalui digitalisasi Mypertamina untuk mengontrol pengguna BBM bersubsidi, solar, pertalite dan bahan bakar lainnya. "Mengapa ditolak? Ini pendataan, ini untuk memastikan siapa yang memperoleh BBM subsidi, berapa yang dibeli setiap hari? Karena digitalisasi maka nanti semua akan tahu siapa dan betapa orang orang yang punya mobil, truk, kapal, kereta, yang memakan sibsidi BBM," cetusnya.
"Mengapa ditolak? Ini pintu masuk untuk transparansi. Siapa mereka yang menolak ini? Masalah ada pungutan yang disoal, pertamina tolong hapus pungutan itu. Masalah selesai. Ini adalah alat kontrol penggunaan BBM dan subsidi pada energi fosil," tanya Daeng lagi.
Menurut Daeng, itu tentu agenda yang baik. "Agar solar kencingan dan solar gojekan hilang. Orang mengambil atau mencuri BBM dari pertamina dan lalu menjualnya dengan harga tiga kali lebih mahal ke industri atau diseludupkan ke luar negeri. Mereka semua ini bukan orang biasa, bukan orang kebanyakan, mereka orang kuat men! Ayo rapikan dirimu menyongsong era digitalisasi dan big data," jelasnya.
Ia mengungkap, apa yang terjadi selama ini. "Solar subsidi konon kata Ibu Dirut Pertamina lari ke perusahaan sawit dan tambang. Kalau demikian, maka perlu segera diselidiki, luar biasa perusahaan-perusahaan ini, sudah menikmati subsidi minyak goreng masih pula menikmati subsidi solar. Banyak sekali uang mereka," sindirnya.
Demikian juga dengan bisnis tambang, ia menjelaskan, sudahlah menikmati harga tambang yang melambung tinggi, masih juga menikmati subsidi solar. Sementara, diketahuinya, setoran mereka kepada negara dalam bentuk bagi hasil dan royalti hanyalah seupil.
"Berapa subsidi bahan bakar yang mereka nikmati? Dua sampai tiga kali dari harga yang mereka bayar sekarang ini untuk mendapatkan BBM. Padahal harga komoditas yang mereka nikmati yang melambung tinggi adalah satu kesatuan dengan harga minyak mentah yang naik," tanyanya.
Menurut Daeng, tidak fair, yang bisnis BBM jual murah bahan bakar kepada pengusaha sawit dan tambang batu bara yang menikmati harga komoditas tinggi saat ini. "Yang enggak enak Pertamina yang jual BBM yang enak pengusaha sawit dan tambang batu bara yang menikmati harga komoditas selangit. Mereka pengusaha tambang dan sawit serta pengusaha logistik lainnya mendapatkan subsidi BBM dari negara," katanya.
Ia mengutip perkataan Sri Mulyani, subsidi pemerintah mencapai Rp500 triliun lebih, terdiri dari Rp420 triliun sunsii BBM dan sekuat 80 triliun subsidi listrik. "Banyak sekali yang mereka terima. Lalu rakyat terima apa dari subsidi semacam ini? Rakyat tidak terima apa apa. Harga bahan pokok, kebutuhan primer dan sekunder lainnya tetap mahal di Indonesia," katanya.
Menurut Daeng, harusnya subsidi sebesar itu bisa membuat segala kebutuhan hidup murah, karena bahan bakarnya subsidi. Tetapi, hal itu tidak terjadi. " Harga harga tetap mahal. Sementara mereka mengambil subsidi bahan bakar dengan alasan agar tidak ada inflasi. Faktanya harga bahan bakar belum naik, inflasi sudah terjadi. Mereka menipu negara," katanya.
Ia menegaskan, negara memang wajib memberikan subsidi. "Di negara mana pun di dunia ada subsidi. Apalagi di tengah krisis banyak yang harus diselamatkan dengan subsidi. Fakir miskin, anak anak terlantar, dipelihara oleh negara. Mereka harus disubsidi. Itu adalah kewajiban negara. Tapi apakah mereka menikmati, mendapatkan subsidi BBM dan listrik Rp500 triliun sebagaimana yang dikatakan Sri Mulyani? Tentu saja tidak mendapatkan," katanya.
Ia menjelaskan, mereka yang miskin di Indonesia itu 40 persen penduduk dengan pendapatan terbawah, atau lapisan termiskin dari jumlah penduduk. "Jumlahnya sekitar 100 juta. Mereka itu bukan pemilik 16 juta mobil yang ada di Indonesia sekarang. Atau yang mutlak miskin sekitar 7 persen dari jumlah penduduk. Atau sekitar 19 juta jiwa. Mereka ini benar benar miskin dan lapar. Merekalah yang harus mendapatkan subsidi Rp500 triliun," pungkasnya.[] Ika Mawarningtyas
0 Comments