TintaSiyasi.com -- Merespons kebangkrutan negara Sri Lanka, Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak memperingatkan negara Indonesia bahwa indikator kondisi ekonomi tidak sehat-sehat saja.
“Dari sisi market, IHSG sudah turun cukup dalam dari 7200 ke
6600. Saya kira
ini menjadi indikator bahwa kondisi ekonomi Indonesia
tidak sehat-sehat saja,” lugasnya Sabtu (16/07/2022) di Khilafah
Channel Reborn dalam acara daring bertajuk Kebangkrutan
Sri Lanka, Bagaimana Indonesia?.
“Nilai tukar rupiah sudah hampir melewati batas
psikologis Rp15.000. Tetapi terus-menerus ditahan oleh Bank
Indonesi, karena kalau sudah naik melebih Rp15.000, maka secara
psikologis para investor akan cenderung melepas kepemilikan rupiah mereka. Hal itu
sangat ditentukan oleh seberapa besar kemampuan Bank Indonesia untuk menahannya dan sangat
dipengaruhi oleh kekuatan devisa yang dimiliki,” terangnya.
Ketika
menanggapi kekhawatiran Indonesia akan mengalami nasib bangkrut serupa dengan
Sri Lanka, Ishak, sapaan akrabnya, menyatakan
bahwa kalau Sri Lanka sudah jatuh ke jurang krisis, maka Indonesia mengarah ke
jalan yang menuju titik krisis.
“Apa yang
terjadi di Sri Lanka pada saat ini, belum bisa disepadankan (dengan kondisi
Indonesia), tetapi tren atau arahnya sejalan. Kalau Sri Lanka sudah jatuh ke
jurang krisis, Indonesia mengarah ke jalan yang menuju titik krisis,” ulasnya.
Ia melihat
bahwa sebenarnya di Indonesia agak berbeda kasusnya. Ada yang sama dan ada yang berbeda dengan Sri Lanka kondisinya.
“Kalau melihat pertumbuhan gross domestic product (GDP) Indonesia
relatif baik untuk kuartal pertama tahun 2022 ini. Tetapi kalau dari
pertumbuhan Q to Q juga mengalami perlambatan hingga minus 1 persen dibandingkan
kuartal empat tahun lalu,” urainya.
“Kalau kuartal kedua tahun ini juga mengalami pertumbuhan negatif, maka
Indonesia sudah masuk dalam kategori resesi. Ini hasil survei Indonesia
Bloomberg, Indonesia
berpotensi masuk ke dalam resesi,” imbuhnya.
Jadi sebenarnya, Ishak melanjutkan, sudah bisa dirasakan apakah resesi atau tidak.
Data yang dikeluarkan oleh BPS setelah kejadian berlangsung. Situasi ekonomi
kuartal kedua ini juga lebih buruk dibanding kuartal pertama. “Kalau lebih
buruk berarti pertumbuhan negatif dan kita akan masuk ke dalam resesi. Menurut istilah
ekonom, resesi
adalah pertumbuhan negatif dua kuartal berturut-turut,” urainya.
“Berikutnya, cadangan devisa Indonesia terkuras cukup dalam beberapa bulan terakhir, karena memang tekanan
investor asing untuk menjual aset-aset mereka dan juga peningkatan
impor yang sangat besar yang dibandingkan dengan ekspor. Kalau ini terus menerus terjadi, bisa jadi
cadangan devisa akan menurun. Seperti krisis tahun 1998 ketika
cadangan rupiah
melemah, sementara cadangan devisa semakin lama
semakin berkurang sangat tajam, maka Bank Indonesia akan meminta negara-negara lain untuk memberikan bantuan likuiditas,” bebernya.
Ia
mengatakan, biasa juga ada swap agreement untuk
memberikan bantuan. Beberapa negara-negara yang sudah berjanji berkomitmen
ketika Indonesia mengalami kekurangan cadangan devisa, maka akan mendapatkan
bantuan. “Tetapi ada risiko yang harus ditanggung, seperti
Indonesia yang berdampak pada perubahan kebijakan akibat utang
tersebut,” sebutnya
mengingatkan.
“Indikasi-indikasi lainnya yang
arahnya mirip dengan Sri Lanka adalah tingkat inflasi yang cukup tinggi,
meskipun masih jauh di bawah inflasi yang terjadi di Sri Lanka. Inflasi Sri
Lanka hampir 50 persen dan kalau Indonesia 4,3 persen,” ujarnya.
Dari sisi utang piutang, Ishak meluruskan, bahwa
kadang-kadang pemerintah itu mengatakan aman, bahwa utang pemerintah pusat itu
hanya 7.000 trilium. “7000 triliun itu terdiri 5.000 mata uang domestik dan 2.000 mata uang
asing. Tidak pernah diungkap bahwa pemerintah berkewajiban untuk menanggung
pemerintah daerah dan BUMN yang menjadi tanggung jawab negara. Kalau ditotal
utang negara semuanya sekarang ini mencapai 13.728 triliun,” tandasnya.
“Ini cukup berbahaya ketika mata uang kita dalam
bentuk mata uang asing, saat rupiah ini mengalami penurunan, maka nilai
utang otomatis akan meningkat dengan sendirinya, termasuk bunga utang yang harus dibayar,”
paparnya.
Ishak menyebutkan, ekspor batubara
Indonesia sudah mulai turun, pada saat yang sama sangat bergantung pada BBM
impor, dan barang-barang industri manufaktur tidak mengalami perkembangan
yang cukup baik dibandingkan dengan negara lain.
Sri Lanka Bangkrut
Ishak
memaparkan, Sri Lanka adalah negara kecil di
Asia dibandingkan dengan Indonesia dan negara-negara tetangganya seperti India
dan Bangladesh. Summary dari apa yang menjadi penyebab mengapa Sri Lanka
itu mengalami krisis sebagai berikut.
Pertama, Sri Lanka merupakan negara importir pangan dan energi yang
meningkat sangat tajam. “Kedua, ekspor komoditas primer seperti teh, karet, dan tekstil.
mengalami penurunan yang sangat tajam,” ucapnya.
Ketiga, peningkatan pembayaran utang Sri Lanka meningkat dengan sangat
tajam seiring dengan jatuh temponya beberapa utang-utang pemerintah dan juga
utang-utang swasta di saat nilai tukar mata uang Sri Lanka merosot tajam akibat
terjadi defisit neraca pembayaran.
“Setiap kuartal biasanya diumumkan pembayaran suatu negara itu berapa. Apakah defisit
ataukah surplus. Kalau defisit dia harus
menggunakan devisa untuk menutupi defisit tersebut. Ketika devisa itu
berkurang, maka akan berimbas nilai tukar suatu negara, termasuk dalam hal ini
nilai tukar rupe yang mengalami perlambatan dan pelemahan akibat penurunan
devisa tadi. Imbasnya adalah government dalam hal ini bank sentral melakukan
pengetatan moneter untuk mengurangi tekanan terhadap mata uang Sri Lanka. Inilah strategi sistem moneter
kapitalisme,” paparnya.
“Sama dengan Indonesia, biasanya ketika modal banyak keluar, maka akan menahan laju
modal dengan menaikkan suku bunga, sehingga bank-bank komersial
atau domestik terdorong untuk menaikkan suku bunga pinjaman dan simpanan. Orang akan
menyimpan uangnya di bank, tetapi pada saat yang sama orang-orang yang
berhutang dalam bentuk atau konsumsi ataupun modal kerja atau investasi,
bunganya juga semakin naik. Ini berdampak pada kesulitan baik
itu konsumen dan produsen untuk memproduksi barang dan jasa,” imbuhnya lagi.
Ishak mengatakan, “Krisis yang
terjadi di Sri Lanka sekarang sudah menjadi kasus politik. Hal itu bermula dari
krisis ekonomi yang merupakan akumulasi dari berbagai kejadian atau peristiwa
yang saling bertemu di dalam satu saat bersamaan.”
“Di mulai dari kondisi makro ekonomi Sri Lanka itu sendiri yang
bermasalah secara internal, kemudian ditambah dengan pandemi pada tahun 2020 dan 2021, kenaikan harga
komoditas pangan dan energi pada tahun selepas meredanya pandemi tahun 2021. Sri Lanka
merupakan salah satu negara pengimpor pangan dan energi yang cukup besar. Tentu saja ini
menjadi masalah tersendiri,” ulasnya.
Ia
menyimpulkan bahwa kondisinya sangat terpuruk
dengan kebijakan moneter kapitalistik. “Kita juga
semakin semakin terpuruk, akhirnya terjadi
kelangkaan pasokan barang dan jasa, orang sulit mendapatkan energi atau BBM yang langka, ketidakmampuan
pembangkit listrik untuk menghidupkan pembangkit-pembangkit yang ada kemudian
pemadaman, rumah sakit yang mengalami krisis obat-obatan sehingga masyarakat
semakin sulit.”
“Itu secara indikasi terlihat inflasi yang
semakin tinggi. Inflasi
adalah refleksi dari harga-harga yang sangat tinggi. Harga impor yang
semakin mahal dan jika terjadi kelangkaan memunculkan
ketidakpuasan masyarakat yang kemudian mengakibatkan krisis politik,” tandasnya.
Kembali kepada Islam
“Kita sadari
bahwa krisis-krisis yang terjadi di dunia ini karena jauh atau menyimpang dari
hukum-hukum yang telah diperintahkan oleh Allah Taala, termasuk aspek ekonomi,
sehingga krisis itu tidak akan berhenti dan susul menyusul,” jelas Ishak.
Ishak
mengutip firman Allah Taala di dalam surah Thaha ayat 124 sebagai
muhasabah,
وَمَنْ
اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ
الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
Dan barang siapa berpaling
dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami
akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
Ia
mengingatkan, mungkin sekarang terjadi di Sri Lanka, besok bisa menimpa Indonesia. “Fundamental atau
struktur ekonomi sistem ekonomi kita ini tidak sesuai atau
menyimpang dari apa yang sudah ditetapkan Allah Subhanahu wa Taala. Mau
tidak mau kita harus kembali pada hukum-hukum Allah Subhanahu wa Taala dalam
segala hal, termasuk dalam aspek ekonomi ini,” tuturnya menyarankan.
“Sebagai catatan, kembalinya kita
pada hukum-hukum Islam tadi semata-mata adalah kewajiban dari Allah Subhanahu
wa Taala, zat yang menciptakan kita, zat yang memberikan rezeki, dan akan
kembali mempertanggungjawabkan perbuatan kita, termasuk perbuatan para government
pengambil kebijakan di Indonesia ini. Apakah mereka ini menjalankan pemerintahan sesuai
hukum Islam atau berkiblat pada negara-negara kapitalisme asing yang itu
bertentangan dengan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Taala,” pungkasnya.[] Reni
Tri Yuli Setiawati
0 Comments