Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Berkaca pada Krisis Sri Lanka, Kapitalisme Biang Kehancuran

TintaSiyasi.com -- Sri Lanka, adalah salah satu potret nyata, betapa mengerikannya cengkeraman kapitalisme. Ia bukan hanya bisa menumbangkan satu atau sekelompok orang, tapi bahkan bisa menumbangkan sebuah konstitusi negara. Sri Lanka yang sedang dirundung krisis berkepanjangan hanyalah satu korban yang terekspos. Negara lainnya, hanya masih tertutupi kehancurannya, atau hanya tinggal menunggu waktu.

Terkuaknya kebangkrutan parah negara Sri Lanka adalah dari demo besar-besaran dan penyerbuan rakyat Sri Lanka ke istana Presiden pada 9 Juli 2022 yang lalu. Ratusan ribu pedemo merangsek masuk istana kepresidenan di ibu kota Colombo, dan "berpesta" menggunakan fasilitasnya seperti kolam renang dan kamar presiden. Sedangkan Presiden SriLanka, Gotabaya Rajapaksa melarikan diri ke lepas pantai dengan kapal Angkatan Laut, dan berencana untuk mengundurkan diri (cnbcIndonesia.com, 10/07/2022). 

Lantas, apa cerita dibalik keterpurukan Srilanka ini? Sebenarnya kondisi Sri Lanka ini bukan hal sulit untuk ditebak. Negara dunia ketiga atau negara berkembang yang ekonominya tidak stabil, memang sasaran empuk bagi negara maju untuk "menundukkannya" lewat jerat utang.

Di bawah pemerintahan Presiden Gotabaya Rajapaksa, Sri Lanka menjalin hubungan dekat dengan China dan meminjam miliaran dollar AS untuk proyek-proyek besar seperti stadion kriket, bandara, dan pelabuhan laut dalam. Selain itu, Sri Lanka juga banyak menginvestasikan pinjaman luar negeri pada sektor pariwisata. Sektor pariwisata memang menjadi sektor vital bagi negara ini sejak lama. Pariwisata Sri Lanka kolaps, awalnya karena dihantam serangan bom ekstremis di gereja dan hotel pada 2019, kemudian hantaman dilanjutkan oleh badai pandemi virus corona.

Lalu, pemerintah Sri Lanka kehabisan mata uang asing untuk mengimpor segala sesuatu mulai dari obat-obatan hingga makanan dan bahan bakar. Bahkan dengan bantuan dari India dan negara lainnya, Sri Lanka gagal bayar utang luar negeri sebesar 51 miliar dollar AS pada April 2002.

Warga Sri Lanka selama berbulan-bulan mengalami kekurangan obat-obatan dan makanan serta pemadaman listrik. Banyak barang, jika dapat ditemukan, terlalu mahal bagi rakyat untuk membelinya. PBB pun memperingatkan, Sri Lanka sedang menghadapi krisis kemanusiaan yang mengerikan. Jutaan orang sudah sangat membutuhkan bantuan.

Sri Lanka adalah bukti nyata yang sangat jelas dari mengerikannya dampak utang luar negeri. Jadi, naif, jika ada yang mengatakan bahwa Indonesia baik-baik saja, atau mengklaim bahwa utang luar negeri Indonesia masih aman, padahal telah mencapai 7000 triliun tanpa ada tanda-tanda utang tersebut akan lunas. Entah naif atau sengaja ingin menutupi kondisi bobrok yang sebenarnya demi terus melanggengkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Demi terus melanggengkan aksi penjarahan kekayaan bangsa untuk memperkaya diri sendiri.

Selayaknya, kita harus berkaca dari kejadian ini. Sebagai manusia yang berakal, kita harus sigap memetik pelajaran agar tidak jatuh ke jurang yang sama. Ada beberapa pelajaran penting yang harus kita ambil dari krisis Sri Lanka ini.

Pertama, menggantungkan ekonomi negara pada sektor pariwisata adalah kesalahan besar. Selain sektor ini sangat rentan kolaps, pariwisata juga membahayakan stabilitas sosial budaya maupun keamanan dalam negeri. Rentan kolaps karena menggantungkan ekonomi pada pariwisata artinya sama saja menggantungkan ekonomi pada negara lain. Sebab berjalan lancarnya kegiatan pariwisata tergantung pada banyaknya wisatawan asing yang masuk ke dalam negeri.

Banyaknya wisatawan adalah hal yang tidak bisa kita prediksi, tidak stabil tergantung kondisi dan situasi politik dalam negeri maupun luar negeri. Apabila negara dianggap tidak aman, dianggap tidak menarik lagi, atau muncul destinasi-destinasi wisata mancanegara yang lebih menarik, maka praktis sektor ini akan menjadi sepi. Jadi, menggantungkan ekonomi pada sektor pariwisata ibarat menggantungkan sesuatu pada tali yang sangat rapuh.

Selain itu, pariwisata juga bisa menjadi jalan masuk yang mudah bagi budaya asing. Demi menarik wisatawan mancanegara, tentu masyarakat dalam negeri akan mentolerir atau bahkan menyesuaikan kebiasaan atau budaya yang dimiliki oleh para wisatawan tersebut. Misalnya, kebiasaan orang Eropa berpakaian terbuka ditempat umum, berbikini di pantai, bergaul dengan lawan jenis tanpa batas di muka umum dan kebiasaan lainnya yang sebenarnya tidak layak diikuti. Hal-hal tersebut akan dimaklumi dan lama-lama akan ditiru oleh penduduk setempat. 

Pelajaran kedua yang harus kita petik dari Sri Lanka adalah jangan menginvestasikan dana besar pada proyek sekunder yang bukan lini vital bagi masyarakat. Seperti tol, rel kereta api cepat, ataupun infrastruktur lain yang tidak bisa dinikmati oleh seluruh rakyat. Sedangkan disisi lain, banyak jalan umum rusak, jembatan roboh, bangunan sekolah tidak layak, rakyat miskin dan lain sebagainya. Betapa banyak "proyek tidak penting" di Indonesia yang didanai oleh asing kemudian mandeg hanya menyisakan utang? Di ataranya Bandara Kertajati yang merugi dan jadi bengkel, proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, kereta api bandara yang sepi, hingga proyek LRT.

Pelajaran penting yang ketiga adalah sangat pentingnya swasembada kebutuhan pokok seperti pangan, obat-obatan dan bahan bakar. Dalam kondisi dunia yang kacau, jika swasembada kebutuhan pokok mampu dicapai, maka rakyat tidak akan kelaparan. Ketersediaan pangan tidak bergantung pada impor luar negeri. Khusus bagi Indonesia, sungguh sebenarnya adalah negara yang sangat subur dan potensial dalam bidang pertanian maupun pertambangan. Dengan pengelolaan yang benar, harusnya negara ini mampu mencapai kemandirian sejak lama.

Keempat, harus kita sadari sangat berbahayanya utang luar negeri. Semua krisis yang dialami Sri Lanka maupun negara lainnya, tidak lain bermuara pada tingginya utang negeri. Sistem kapitalisme yang dianut oleh seluruh dunia, tidak akan menciptakan kondisi di mana utang diberikan atas dasar kemanusiaan. Utang besar yang diberikan pasti mengandung tendensi politik atau keuntungan materi. Jika sebuah negara tidak mampu membayar utangnya, itulah yang sebenarnya mereka harapkan. Dengan begitu, negara yang mengalami krisis akut mau tidak mau harus merelakan negaranya dikuasai oleh asing. Inilah gaya penjajahan modern yang jarang disadari. 

Apabila kita telaah keempat hal tersebut. Keempat-empatnya telah terjadi di Indonesia. Jadi apakah Indonesia akan bernasib sama dengan Sri Lanka? Sangat bisa jadi. Pemerintah Indonesia kerap melontarkan pernyataan bahwa ekonomi telah membaik, bahkan meroket. Bahwa utang luar negeri Indonesia masih di level aman, padahal utang sudah melangit dan terus bertambah. Bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama dengan Sri Lanka, tentu ini adalah pernyataan kurang cerdas yang melenakan.

Faktanya saat ini rakyat Indonesia sedang di dera kekhawatiran. Baru saja harga pertalite naik, listrik dan LPG nonsubsidi pun naik. Diikuti oleh kenaikan berbagai kebutuhan pokok lainnya. Rakyat masih kesulitan mendapatkan fasilitas kesehatan berkualitas. Alih-alih gratis, iuran BPJS pun akan diseragamkan, artinya tidak ada iuran rendah lagi. Pendidikan pun makin mahal namun kualitas pengajar dan pendidiknya makin banyak masalah. Pengangguran dimana-mana. Intinya Indonesia sedang mengalami multi krisis. Tak kalah mengerikannya dengan Sri Lanka.

Namun, tentu masih ada jalan untuk mengubah keadaan negara ini. Setelah kita benar-benar menyadari bahwa kapitalisme adalah biang dari kehancuran, maka langkah tepatnya adalah mengganti kapitalisme dengan sistem yang lebih baik. Sistem yang tidak melanggengkan keempat pelajaran yang harus kita waspadai tersebut diatas. Satu-satunya sistem itu adalah sistem Islam.

Sejarah telah mencatat, bahwa sistem kenegaraan Islam adalah sistem yang mampu mensejahterakan seluruh rakyatnya. Negara bersistem Islam praktis akan menjadi negara yang mandiri dan tidak akan mengalami jerat utang. Sebab utang luar negeri sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah dan politik Islam yang menjadi pondasinya. 

Terutama, menerapkan Islam secara keseluruhan akan mendatangkan keridhaan dan keberkahan dari Allah SWT, sebab inilah aturan yang diwajibkan oleh Allah sebagai pencipta manusia dan penguasa seluruh alam semesta. Maka tidak akan timbul kekhawatiran apapun dalam diri manusia ketika menerapkannya. Bukankah Allah SWT yang paling berhak mengatur kita manusia? Yang paling paham bagaimana kondisi kita dan apa yang kita butuhkan? Lalu atas dasar apa hingga saat ini kita bersikeras menerapkan aturan dzalim manusia dan menolak aturan Allah SWT? Sedangkan bukti, fakta, dan peringatan-peringatan Allah sudah jelas adanya. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Dinda Kusuma W.T.
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments