Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Citayam Fashion Week: Mendobrak Sekat Sosial dan Potensi Arus Perubahan


TintaSiyasi.com -- Beberapa pekan ini, ibu kota dihebohkan dengan banyaknya remaja asal pinggiran kota yang memadati kawasan Sudirman dan SCBD. Sebelumnya, kawasan ini merupakan kawasan elit yang didominasi para eksekutif dan masyarakat high-end dari wilayah Jakarta Pusat dan Selatan. Puncak keberhasilan pembangunan ibu kota bisa kita saksikan di kawasan ini dengan keberadaan beragam fasilitas terbaik yang tertata rapi. Rupanya, hal ini justru menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar Jakarta. Sudut-sudut estetik mendukung mereka untuk membuat konten TikTok, Youtube, dan sebagainya. Jarak jauh yang harus dilalui dengan KRL Commuterline tidak menghalangi mereka untuk berkunjung ke kawasan nadi ibu kota.

Redanya pandemi, diduga menjadi titik awal fenomena ini. Masyarakat kembali memenuhi ruang publik dan dalam sekejap, kawasan SCBD berubah singkatan dari Sudirman Central Bussiness District menjadi Senayan, Citayam, Bojonggede, dan Depok akibat banyaknya remaja dari daerah tersebut yang berkumpul di kawasan Sudirman, Jakarta. Mereka berlalu-lalang dengan penampilan yang unik dan mencuri perhatian masyarakat lokal saat melihatnya. Hingga ada yang mengistilahkannya dengan Citayam Fashion Week.

Tentu, hal ini mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, Gubenur Jakarta Anies Baswedan sendiri menyambut baik fenomena tersebut. Bahkan beliau menyebutnya sebagai 'Demokratisasi Jalan Jenderal Sudirman' di mana awalnya Jalan Sudirman hanya biasa dilalui sebuah kelas masyarakat, kini bisa dinikmati oleh semua kalangan bahkan dari luar Jakarta. "Jadi tidak hanya untuk kelas sosial ekonomi tengah atas, justru ini harus didemokratisasi tempat ini sehingga bisa dinikmati siapa saja," katanya. "Asalkan pengguna harus tetap menjaga kebersihan hingga ketertiban pada area publik," lanjutnya (Dikutip dari cnbcindonesia.com, 07/07/2022).

Adapun pihak yang kontra menyebut bahwa gaya berpakaian dan kebiasaan remaja Citayam kurang pas dengan budaya Jakarta, terlebih dengan eksistensi anak-anak Jaksel yang melekat di kawasan tersebut. Juga dampak lingkungan yang menjadi kurang baik dengan banyaknya sampah yang berserakan, puntung rokok, bahkan tidak jarang mereka menghabiskan waktu di sana dengan mabuk-mabukan dan aktivitas lain yang menjurus kepada kemaksiatan.

Fenomena ini menarik untuk diamati. Di mana bias kelas mampu dihapus oleh segerombolan remaja yang berasal dari pinggiran kota yang punya arus budayanya sendiri. Hingga perlahan mampu menggeser eksistensi budaya masyarakat Jakarta yang semula.

Teringat beberapa tahun silam, aplikasi TikTok hampir tidak dilirik sama sekali, bahkan pelopornya yang sempat viral Bowo Alpenliebe dipandang sebelah mata. Tapi bertahun kemudian, masyarakat seolah menjilat ludahnya sendiri secara massal. Semua orang mulai menginstal TikTok dan menggunakannya hampir setiap hari. Mulai kalangan biasa hingga pejabat serentak melakukannya. Pola seperti ini, bukan tidak mungkin akan terulang dengan keberadaan remaja Citayam tersebut.

Yang harus kita cermati adalah bagaimana dampak dari invasi budaya ini? Akankah berkorelasi positif dengan kualitas generasi ke depannya atau justru semakin menghancurkan mereka?

Potensi generasi muda Indonesia sangat besar jika dilihat dari populasi mereka saat ini. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada tahun 2019 lalu, penduduk usia produktif masih mendominasi. Persentase laki-laki dan perempuan di usia produktif (15-64 tahun) sekitar 67,6 %. Sedangkan penduduk usia belum produktif hanya sekitar 26-27% (katadata.co.id, 04/03/2022).

Hal ini merupakan angin segar bagi mereka yang sangat mendambakan perubahan. Tentunya generasi muda akan lebih semangat dan berenergi dalam mengusahakan apapun yang menjadi cita-cita mereka. Namun hasil perubahannya nanti, tentu tidak lepas dari kualitas generasi muda yang ada saat ini. Apakah sudah tercermin dalam pribadi mereka akhlak terpuji? Sudahkah idealisme mereka terpaut pada cita-cita yang luhur dan mulia? Sudahkah remaja saat ini tahu betul siapa dirinya dan untuk apa hidupnya diperjuangkan?

Sayangnya, masih banyak dari mereka yang belum menyadari hal ini. Banyak dari mereka yang justru masih terlena dengan popularitas, eksistensi, kekayaan, kebahagiaan semu, dan hal-hal fana lainnya yang membuatnya lupa dengan asal dan tujuan mereka tercipta sebagai hamba Allah SWT.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja)” (QS. Adz-Dzaariyaat [51]: 56).

Maka, fenomena perang budaya semacam ini seharusnya membuat kita kembali merenung, sudahkah kita ambil bagian dalam menyadarkan remaja-remaja ini agar kembali kepada apa yang seharusnya mereka perjuangkan? Bukan lagi sekadar larut dalam lelucon Jaksel VS Citayam atau riuh dalam menyaksikan peragaan mode impromptu “Citayam Fashion Week” yang mereka adakan dalam rangka hiburan dan bersenang-senang.

Tentu mereka juga bagian dari umat Islam yang seharusnya mulia dan tidak lagi dipandang sebelah mata. Namun hakikatnya, kemuliaan tidak akan bisa diraih tanpa kita kembali pada jalan yang haq, yakni jalan Islam.

الإسلام يعلو ولا يعلى عليه

Sesungguhnya Islam itu mulia/tinggi tidak ada agama yang lebih tinggi daripadanya” (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, saatnya kita mengembalikan peran sejati mereka sebagai khairu ummah. Generasi Muslim yang punya misi hidup lebih tinggi dari sebatas menghitungi jumlah jari jempol dan hati. Muslim yang tahu jati diri, membawa kebaikan serta menebar manfaat untuk dunia dan akhirat.

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ

Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah” (Q.S. Ali Imran [3]: 110).

Kalau mereka saja dengan kepercayaan diri dalam berekspresi mampu merebut atensi penduduk negeri, bagaimana jika kemudian dibekali lagi dengan Islam sebagai nafas perjalanannya? Tentu akan lebih banyak kebaikan yang tersebar ke penjuru negeri. MasyaAllah, sesuatu yang awalnya dipandang sebelah mata, kemudian bisa menjadi warna utama bagi masyarakat dan dunia. Seperti yang telah Rasulullah SAW lakukan saat mengemban risalah Islam dan menerapkan syariat Islam kaffah dalam sebuah negara yang dinamai Khilafah Islamiah. Mampukah generasi saat ini yang mewujudkannya kembali? Mari kita buktikan dengan dakwah Islam tanpa henti!

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Aulia Rahmah
Youth Life Enthusiast
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments