TintaSiyasi.com -- Sri Langka telah memperlihatkan gambaran jelas kebangkrutan negara akibat jerat kapitalisme yang diemban oleh para pemangku jabatan. Bangkrutnya Sri Lanka harusnya menjadi acuan bagi negara-negara lain dalam mengambil kebijakan untuk membangun negerinya, tanpa menyandarkan sepenuhnya terhadap utang luar negeri yang kelak akan menjeratnya. Krisis global yang melanda akibat pandemi Covid-19 dan perang Rusia vs Ukraina pun memperburuk keadaan perekonomian dan politik di Sri Langka.
Krisis diawali dengan anjloknya pendapatan pariwisata (merupakan andalan Sri Langka) disebabkan aksi pengeboman gereja pada tahun 2019. Lalu disusul pandemi Covid-19 yang memaksa adanya pembatasan menambah guncangan perekonomian Sri Langka. Dilansir dari ngopibareng.id, Minggu (10/7/2022), menyatakan bahwa jeratan utang tinggi pada Sri Lanka sebesar USD 51 miliar mengakibatkannya tidak mampu membayar bunga utang, yang sebagian besar dana pinjaman berasal dari IMF. Mata uang Sri Langka pun terjun bebas hingga 80 persen, kebutuhan pangan tidak terpenuhi dengan baik, dan diperparah tindakan korupsi oleh para pejabat negaranya semakin memperburuk perekonomian Sri Langka.
Begitu kompleks penyebab krisis yang dialami Sri Langka. Selain karena lemahnya kepemimpinan pemerintahannya juga disebabkan kebijakan yang diambil dalam menyelesaikan permasalahan negerinya yang tidak tepat. Dilihat dari nilai utang Sri Langka yang besar, diiringi dengan defisitnya pendapatan negara maka yang terjadi utang menumpuk tanpa bisa dikembalikan. Bahkan untuk membayar bunga utang pun, Sri Langka tidak sanggup.
Menurunnya devisa negara akibat peristiwa di dalam negeri dan diperparah oleh pandemi Covid-19, semakin memicu pemasukan Sri Langka terganggu. Padahal mereka menyandarkan kebutuhan pangan sebagian besar dari impor, berikut bahan bakar minyak pun mengimpor. Otomatis pengeluaran negara untuk pemenuhan kebutuhan warganya jauh lebih besar. Tidak sebanding dengan pendapatan negaranya. Kesulitan keuangan yang melanda Sri Langka dengan terhempasnya pariwisata dan devaluasi mata uang menimbulkan krisis pangan dan krisis energi.
Terkait krisis energi di Sri Langka, salah satunya dipengaruhi perang Rusia vs Ukraina. Kita ketahui Rusia selama ini merupakan pemasok energi di dunia. Dengan kondisi perang ini, maka pasokan energi menjadi terganggu dan semakin sulit untuk mendapatkannya. Pasokan terbatas tentu saja berimbas pada kenaikan harga energi yang secara langsung berhubungan dengan kenaikan harga dasar pangan dan produk yang dihasilkan. Ini semakin memberatkan kondisi di Sri Langka dan negara-negara lain yang bertumpu pada impor energi dan pangan. Sama seperti Indonesia.
Secara politik, keadaan di Sri Langka pun mengalami guncangan dahsyat karena ulah pemimpin beserta oknum pejabat negara yang sibuk dengan kehidupan mewah di saat warganya kesulitan ekonominya dan mengalami kelaparan. Mereka berlepas tangan terhadap krisis yang menghempaskan negaranya. Tidak amanah dalam menjalankan pemerintahannya. Pun pengawasan pemerintahan yang lemah di dalam negerinya menambah deretan penderitaan warga di Sri Langka.
Inilah fakta yang tersaji dari kebijakan di dalam sistem kapitalisme demokrasi. Pengambilan kebijakan ekonomi mengandalkan utang luar negeri yang justru menjerat negara dalam krisis berkelanjutan. Penyelesaian dari pandemi Covid-19 yang berdasarkan kapitalisme global nyata menunjukkan kegamangan karena hingga hari ini kasus hariannya masih ditemukan di beberapa negara.
Pemerintahan Islam, khilafah memiliki mekanisme ekonomi Islam yang kokoh. Pertumbuhan ekonomi Islam dibangun atas sektor riil, dengan pengelolaan sumber daya alam langsung oleh negara. Pendapatan negara dari pengelolaan sumber daya alam, termasuk ke dalam harta milik umum dan dikelola oleh negara. Pembangunan infrastruktur di dalam Islam memberikan efek yang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Khalifah sebagai pemimpin negara adalah seorang yang amanah dan bertanggung jawab. Menjalankan perannya sebagai hamba Allah yang taat syariat dan pemimpin umat dengan sebaik-baiknya. Berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya tanpa membebani rakyat dengan berbagai kebijakan yang justru menyengsarakan. Karena khalifah memahami setiap keputusannya akan dipertanggungjawabkan kelak di Yaumil Akhir.
Berbeda dengan kapitalisme yang mengandalkan sektor ekonomi nonriil, dibangun dari investasi tidak langsung di pasar modal, menghalalkan riba dari bunga utang. Pengelolaan sumber daya alam pun dikapitalisasi sehingga tidak menjadi pendapatan negara yang utama karena keuntungan untuk para kapitalis. Demikian dengan pembangunan infrastruktur hanya mementingkan para kapitalis terbukti dari proyek-proyek yang mangkrak. Pertumbuhan ekonomi seolah-olah positif padahal berpangku dari utang negara.
Maka jelas, kekuatan perekonomian negara dapat terwujud jika sistem ekonomi Islam yang menjadi landasannya. Dan semua dapat terlaksana dengan menyeluruh ketika Khilafah Islamiah tegak di muka bumi ini. Sehingga krisis yang terjadi di Sri Langka pun tidak akan terulang pada negeri lain, termasuk Indonesia, jika fondasi ekonomi kokoh dan kuat. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Ageng Kartika
Pemerhati Sosial
0 Comments