Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Citayam Fashion Week, Hipokrisi Kebebasan Berekspresi


TintaSiyasi.com -- Fenomena remaja di Sudirman Central Bisnis District (SCBD) kian menyibak tabir hipokrisi kebebasan yang diagungkan sistem demokrasi kapitalisme. Bagaimana tidak? Lain Sudirman, lain Malioboro. Lain Roy-Jeje, lain Enzo Zenz Allie. Lain street fashion style, lain kerudung jilbab syar'i

Jalan Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta yang mendadak viral itu diapresiasi banyak kalangan, tak terkecuali petinggi negeri. Kepala daerah, bahkan menteri menilai positif para remaja dari luar Jakarta, seperti Citayam, Bojonggede, Depok dan sekitarnya yang memadati Jalan Sudirman. Tokoh-tokoh itu menilai remaja berpenampilan eksentrik yang nongkrong hingga malam, sekadar cuci mata, pacaran, bergaya konten agar eksis di dunia maya itu sebagai kreativitas seni dan kebebasan berekspresi.

Apresiasi publik hingga petinggi negeri atas fenomena yang dikenal sebagai Citayam Fashion Week ini berbanding terbalik dengan Jogja Mengaji yang terjadi di Jalan Malioboro menjelang Ramadhan bulan Maret lalu. Orang-orang yang mengaji di trotoar Malioboro itu dinilai mengundang polemik, dipermasalahkan mulai dari perizinan, dianggap riya', hingga radikal.

Di sini hipokrisi dipertontonkan. Bila SCBD dipuji dengan dalih kebebasan berekspresi, mengapa tidak demikian untuk Jogja Mengaji? Remaja-remaja yang berani menunjukan gaya pacaran vulgar itu ramai diberi panggung, mulai dari podcast hingga televisi, seolah mereka contoh yang baik. Mereka menjadi semakin percaya diri dan berani. Alih-alih mendapat nasihat ataupun teguran dari pejabat akan pergaulan bebasnya, justru apresiasi, harapan dan beasiswa pendidikan diberikan.

Berbanding terbalik dengan yang diterima calon taruna Akademi Militer (Akmil) bernama Enzo Zenz Allie yang viral 2019 lalu. Enzo yang berkarakter Muslim yang kuat dengan latar belakang pesantren, meski menguasai empat bahasa asing, tetap distigmatisasi. Bahkan, ia dikabarkan akan dipecat dari TNI karena dianggap simpatisan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Semua itu hanya karena foto Enzo Allie membawa Ar-rayah (bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid) beredar di media sosial. Enzo pun dituduh terpapar radikalisme. Padahal, Ar-rayah adalah bendera umat Islam dan HTI pun organisasi yang teguh mendakwahkan Islam.

Namun, narasi negatif radikalisme terus disematkan kepada orang-orang yang berpegang teguh dan bangga atas identitasnya sebagai Muslim. Bahkan, Menteri Agama masa itu mangatakan bahwa radikalisme masuk biasanya dimulai dari anak yang good looking, yaitu berbahasa Arab baik, pengetahuan agamanya cukup, dan penghafal Al-Qur'an. 

Dalih kebebasan berekspresi tak berlaku untuk Enzo yang berfoto dengan bendera tauhid. Kebebasan berekspresi juga kelu untuk santri-santri yang menutup telinga dari suara musik demi menjaga hafalan Al-Qur'an-nya. 

Begitu juga terhadap busana takwa bagi para Muslimah. Gelombang hijrah remaja Muslimah dengan busana kerudung dan jilbab syar'i dipandang sebelah mata. Dianggap kearab-araban, mencoreng kearifan lokal, dinarasikan negatif dengan frasa penutup kepala ala manusia gurun. Di sebagian kasus, pelajar Muslimah bahkan terancam dikeluarkan dari sekolah karena mempertahankan jilbabnya. 

Sementara, tren busana jalanan diapresiasi atas nama kebebasan berekspresi. Lalu, ke mana kearifan lokal yang pernah digaungkan itu? Lagi-lagi hipokrisi dipertontonkan. Budaya bangsa tak lagi lantang disuarakan di hadapan street fashion style ala Harajuku-Jepang, Gangnam-Korea, Fourty Second Street-New York, Paris Fashion Week-Prancis, dan semisal ini. 

Meskipun penguasa negeri-negeri Muslim, bahkan penguasa dunia mengklaim tidak fobia terhadap Islam, realitas menunjukkan dunia tak berpihak kepada Islam. Meski PBB telah menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia yang diikuti dengan Gerakan Nasional Anti-Islamofobia pada 15 Juli, faktanya narasi mendiskreditkan Islam terus digulirkan. Anti-islamofobia pun sama hipokritnya.

Nyatalah dunia dengan ideologi kapitalismenya memang tak benar-benar memerangi islamofobia. Sebaliknya, imperialis itu tak menghendaki umat Islam bangkit memimpin dunia. Karenanya, mereka akan terus berupaya menjerumuskan umat Islam, demi misi gold, gospel and glory (3G). 

Segala strategi pun digunakan, baik hard dengan artileri, maupun soft dengan pemikiran. War on terorism (WOT) dengan militer ditempuh, war on radikalism melalui serangan ide-ide menyesatkan pun digencarkan. Invasi budaya liberal, permisif, hedonis kian masif melalui celah-celah food, fun and fashion. Sementara, akidah Islam sebagai benteng terakhir umat Islam pun diporak-porandakan dengan paham moderasi beragama, pluralisme dan sinkretisme. 

Fenomena SCBD adalah alarm besar bagi umat bahwa kapitalisme nan batil ini tengah memberangus tunas-tunas peradaban Islam. Imperialis kapitalis itu tentu menyadari, jika calon pemimpin masa depan itu berhasil terhipnotis hingga membebek liberalisasi mereka, niscaya hegemoninya tak tergoyahkan. 

Karena itu, untuk menjaga bangunan peradaban nan bobrok ini, kapitalis terus berupaya menjejalkan sekularisme. Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang menjadi fondasi kapitalisme jelas bertentangan dengan akidah Islam. Akidah Islam mengharuskan manusia yang merupakan makhluk Allah untuk terikat syariat-Nya. Sementara, sekularisme mewajibkan manusia bebas tanpa campur tangan Tuhan. 

Karenanya, sekalipun negeri ini Muslim terbesar dunia dan mengakui keberadaan Tuhan, ketika Ketuhanan Yang Maha Esa tidak diejawantahkan dengan penerapan syariat Islam sebagai wujud ketaatan kepada Pencipta, peradaban bobrok kapitalismelah yang terbangun. Fenomena SCBD menjadi indikatornya.

Kapitalis pastinya bersorak gembira. Peluang bisnis terbuka lebar. Karenanya, apresiasi dan dana tak sedikit rela digelontorkan. Semua demi menjaga ide-ide kebebasan. The four freedom (empat kebebasan; kepemilikan, beragama, berpendapat dan berekspresi) inilah pilar penyangga kapitalisme. Wajarlah jika hipokrisi kebebasan berekspresi terus saja dipertontonkan.

Bila sudah demikian, kini kuncinya ada di tangan umat Islam. Akan terus rela dinista kapitalisme, atau bangkit menyelamatkan generasi? Jika diam, tidakkah takut akan pertanggungjawaban kelak di akhirat? Padahal, anak-anak Citayam dan seluruh generasi Muslim, tunas-tunas penjaga bumi ini hanya bisa diselamatkan dengan penerapan syariat Islam. Karena, Islamlah penyelamat, penebar Rahmat bagi seluruh alam. []


Oleh: Saptaningtyas
Analis Mutiara Umat Institute
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments