TintaSiyasi.com -- Saat Anda bekerja di suatu perusahaan, maka berdasarkan aturan, seharusnya Anda didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan oleh perusahaan dengan iuran per bulannya beberapa persennya dibayarkan oleh perusahaan. Adapun kategori kepesertaan BPJS Kesehatan dengan iuran yang dibayarkan oleh perusahaan ini seringkali dikenal dengan sebutan BPJS PPU (Peserta Penerima Upah).
Ketika karyawan akhirnya keluar dari suatu perusahaan, mungkin mereka akan bertanya-tanya, lantas bagaimana dengan BPJS Kesehatan miliknya? Mengingat perusahaan tak lagi akan membayarkan iuran bulanan BPJS Kesehatan milik karyawannya yang sudah menyatakan resign. Lantas jika seseorang berhenti dari pekerjaannya, bagaimana nasib BPJS Kesehatan miliknya?
Terkait hal tersebut Kompas.com menghubungi Kepala Humas BPJS Kesehatan, Iqbal Anas Maruf. Saat dihubungi, Iqbal menjelaskan bahwa jika seseorang keluar dari pekerjaannya kemudian tidak pindah ke perusahaan lain, maka seseorang tersebut bisa memindah kepesertaan BPJS Kesehatannya ke segmen mandiri.
Kapitalisasi Hajat Kesehatan
Alih-alih memberikan jaminan layanan kesehatan. Kebijakan pemerintah soal JKN/BPJS malah membebani rakyat dengan kewajiban asuransi dan menyulitkan pemenuhan kemaslahatan lainnya.
Pada faktanya, tidak ada korelasi antara kebutuhan rakyat akan pengurusan SIM, STNK, SKCK, jual beli tanah, hingga naik haji atau umrah dengan kepemilikan BPJS. Sebaliknya, aturan baru ini terkesan memperumit pemenuhan hajat hidup rakyat. Urusan hidup mereka yang sejatinya mudah untuk dipenuhi dalam pandangan Allah (syariat Islam) malah dipersulit dalam pandangan kaum kapitalis sekuler.
Sistem kapitalisme, masalah apapun yang mereka selesaikan dalam kehidupan tidak pernah lepas dari pertimbangan untung dan rugi. Semuanya mereka nilai dari materi (uang). Termasuk urusan memenuhi hajat hidup rakyat.
BPJS Kesehatan tidak jauh berbeda dengan asuransi. Rakyat harus membayar iuran atau premi demi mendapatkan layanan kesehatan. Lantas di mana letak klaim pemerintah yang mengatakan bahwa kesehatan dijamin? Jika dikatakan bahwa kebutuhan rakyat akan kesehatan itu dijamin, pelayanan kesehatan, termasuk pembiayaannya, seharusnya ditanggung oleh negara. Faktanya, tidak demikian. Istilah “jaminan” hanya kamuflase untuk memalak rakyat. Bahkan lebih tepat apabila dikatakan pemerintah sedang menjamin dirinya sendiri agar mereka tidak perlu bersusah payah mengeluarkan biaya kesehatan untuk rakyat.
Inilah realita sistem kapitalisme. Masalah apapun yang mereka selesaikan dalam kehidupan tidak pernah lepas dari pertimbangan untung dan rugi. Semuanya mereka nilai dari materi (uang). Termasuk urusan memenuhi hajat hidup rakyat.
Dengan keharusan rakyat untuk memenuhi syarat sebagai peserta BPJS Kesehatan dalam beberapa pelayanan publik, aturan terkesan sebuah pemaksaan. Pemerintah pun membuat rakyat tidak berkutik.
Wajar apabila warga semakin tidak percaya. Peserta BPJS Kesehatan seakan-akan menjadi warga kelas dua yang tidak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Hal ini adalah bentuk kapitalisasi dunia kesehatan yang zalim. Layanan kesehatan telah dijadikan komoditas bisnis untuk meraup keuntungan.
Jaminan Kesehatan Dalam Islam
Dalam Islam, kesehatan adalah salah satu hak dasar publik, di samping hajat primer lainnya seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, dan hukum (rasa aman), yang harus dijamin dan dipenuhi oleh negara secara cuma-cuma. Negara melakukan tugas kepemimpinannya dengan ikhlas, tanpa berharap kompensasi apapun kecuali ridha Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda,
ÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ رَاعٍ ÙˆَÙƒُÙ„ُّÙƒُÙ…ْ Ù…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari).
Pemimpin juga harus bertindak amanah, jujur, dan adil di dalam menjalankan tugasnya melayani urusan rakyatnya. Jika tidak, mereka diharamkan Allah untuk mencium bau harum surga apalagi masuk ke dalamnya.
Bentuk layanan urusan rakyat yang dilakukan oleh negara di dalam Islam semata-mata adalah bentuk pengabdian pemimpin beserta seluruh aparat negaranya kepada Allah SWT. Adapun konsep jaminan kesehatan yang diberikan negara dalam pandangan Islam, dikembalikan kepada syariat Allah, yaitu Islam.
Di antara konsep agung tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, kesehatan adalah bagian dari hajat dasar publik. Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.
Kedua, pemerintah diwajibkan oleh Allah untuk bertanggung jawab penuh menjamin dan memenuhi kebutuhan dasar publik per individu.
Ketiga, pembiayaan atas jaminan kesehatan publik yang diberikan oleh negara diambil dari kas negara, Baitul Mal. Jika biaya tidak mencukupi, negara dibenarkan untuk menarik “dharibah” (pajak sementara) atas orang-orang kaya, sesuai yang dibutuhkan saja. Jika kebutuhannya sudah tercukupi, maka pajak tersebut dihentikan.
Makanan dan minuman yang beredar di tengah masyarakat terus dijaga oleh negara dari yang zat-zat menimbulkan mudarat lebih-lebih yang haram. Pembangunan dalam bidang kesehatan pun terus dikembangkan melalui beragam inovasi dan riset.
Konsep jaminan kesehatan menurut Islam yang dilakukan oleh negara, insyaallah kebutuhan publik akan kesehatan terjamin secara gratis dan berkualitas.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Deasy
Pegiat Literasi Kota Kendari
0 Comments