TintaSiyasi.com -- Setelah kenaikan harga sejumlah bahan pangan yang semakin melambung kini pemerintah memberlakukan kebijakan yang makin mempersulit rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasar yaitu pembelian BBM. Kali ini rakyat dipusingkan dengan rencana metode pembayaran Pertalite yang harus menggunakan aplikasi.
Pertamina akan memberlakukan aturan baru mengenai cara pembelian BBM Pertalite dan solar menggunakan aplikasi MyPertamina Per 1 Juli 2022 mendatang. Pertamina mewajibkan seluruh pemilik kendaraan roda 4 untuk mendaftarkan kendaraannya sebagai konsumen BBM Pertalite atau solar subsidi. Pemilik kendaraan dapat mendaftarkan kendaraannya melalui aplikasi MyPertamina atau melalui website resmi subsiditepat.mypertamina.id.
Uji coba pembelian Pertalite dan solar menggunakan MyPertamina ini, rencananya dilakukan di beberapa kota/kabupaten yang tersebar di lima provinsi antara lain Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta. Melansir dari laman subsiditepat.mypertamina.id. berikut daerah yang mulai melakukan, di antaranya Kota Bukit Tinggi, Kabupaten Agam, Kota Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Kota Banjarmasin, Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, Kota Manado, Kota Yogyakarta dan Kota Sukabumi (sindonews.com, Selasa, 28 Juni 2022).
Dengan kebijakan ini, Pertamina berharap bisa membuat penyaluran BBM subsidi makin tepat sasaran. Sebab, data yang ada di aplikasi akan menunjukkan pembeli berhak mendapatkan BBM subsidi atau tidak. Tepat sasaran artinya penikmat subsidi BBM ini memang rakyat yang tidak mampu. Sebab, pada kenyataannya banyak masyarakat kelas menengah bahkan atas ikut mengkonsumsi BBM subsidi.
Pun BBM bersubsidi ini penyalurannya diatur dalam Peraturan Presiden No. 191/2014 dan Surat Keputusan (SK) BPH Migas No. 4/2020. Dengan begitu, Pertamina dapat mencocokan data serta mengenali siapa saja konsumen Pertalite dan Solar sehingga ke depannya, bisa menjadi acuan dalam membuat program ataupun kebijakan terkait subsidi energi.
Namun menurut Bhima Yudhistira selaku Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios). Bhima mengkritik keras kebijakan yang disusun pemerintah dan Pertamina. Sebab, ia menilai ini cara halus atau tidak langsung untuk memaksa masyarakat menggunakan pertamax.
Menurutnya, pemerintah ingin membuat subsidi BBM hanya dinikmati oleh masyarakat miskin tanpa memikirkan kelas menengah. Padahal, ada 115 juta orang kelas menengah yang sangat rentan di Indonesia. Kelas menengah rentan ini juga dinilai perlu mendapatkan subsidi bukan dipaksa membeli pertamax.
Di sisi lain, Pengamat Minyak dan Gas (Migas) Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa untuk jangka pendek langkah yang diambil Pertamina paling rasional, tetapi bukan berarti yang paling tepat. Pasalnya, ia menilai skema yang paling pas untuk menyalurkan subsidi tepat sasaran adalah subsidi langsung. Meski demikian, ia melihat bahwa implementasi pembelian BBM subsidi di lapangan tidak akan mudah diterapkan. Sebab, kebijakan itu bisa menimbulkan antrean yang panjang, terutama jika pembeli yang datang masih gagap teknologi atau bahkan tidak memiliki smartphone.
Alih-alih membuat kebijakan menyediakan BBM murah untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat, justru yang ada pemerintah malah mempersulit rakyat untuk mengakses Pertalite karena rakyat diharuskan menggunakan aplikasi yang sulit. Selain itu, infrasturktur digital di tanah air juga tidak merata. Sebut saja nasib pengguna di desa desa seperti para nelayan atau pedagang kecil yang ingin BBM murah, mereka harus memiliki smartphone dan juga kuota. Kalaupun sudah ada, belum tentu lancar sebab sinyal tidak selalu ada. Kondisi ini menunjukkan pemerintah memaksa rakyat untuk mengkonsumsi BBM pertamax.
Belum lagi permasalahan teknis, seperti kesulitan mendaftar, mengunduh aplikasi, hingga persoalan barcode. Semua ini jelas menyulitkan rakyat dalam mengakses Pertalite yang keberadaannya mulai langka. Di sisi lain, BBM nonsubsidi Pertamax mudah diakses, misalnya dengan pembuatan Pertashop besar besaran yang menjual Pertamax. Sangat wajar jika rakyat beranggapan kebijakan ini adalah modus pemerintah untuk menghilangkan Pertalite, seperti saat Premium hilang.
Dari sini dapat kita lihat bahwa penyebab sejati sulitnya rakyat mendapatkan BBM bersubsidi adalah tata kelola sistem ekonomi kapitalisme dan liberalisasi yang dianut negeri ini. Dalam sistem ekonomi kapitalisme, negara bukan pengatur urusan umat justru negara hanya berperan sebagai regulator antara swasta dan rakyat, sehingga kebijakan yang dikeluarkan semata untuk menyelesaikan konflik antara keduanya saja bukan kesejahteraan rakyat. Sistem ini juga menjadikan APBN negara selalu defisit. Liberalisasi kepemilikan juga membuat sumber APBN yang melimpah (pengelolaan SDA) malah dikuasai swasta. Sehingga membuat Pemerintah sangat terbebani dengan subsidi yang diberikan kepada rakyat.
Namun berbeda dengan tata kelola dalam Islam. Khilafah mampu memenuhi BBM untuk rakyat dengan memberikan harga yang murah bahkan gratis. Posisi BBM dalam Islam adalah sebagai sumber daya alam milik rakyat. Islam tidak membolehkan penguasaannya oleh individu atau korporasi besar. Nabi SAW bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Berserikatnya manusia dalam ketiga hal ini maksudnya bukan karena zatnya melainkan sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan orang banyak, yang jika tidak ada rakyat akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya. Dengan demikian apa pun yang sifatnya sebagai fasilitas umum dan masyarakat membutuhkan serta memanfaatkannya secara bersama, pengelolaannya tidak boleh dikuasai individu, swasta, ataupun asing. Negaralah yang bertanggung jawab penuh atas pengelolaan harta milik umum tersebut. Sehingga hasil pengelolaannya bisa dinikmati oleh masyarakat secara keseluruhan dengan gratis atau biaya yang murah.
Di satu sisi Islam juga tidak mempersulit rakyat dengan adanya pembelian berbasis aplikasi yang menjadikan seluruh lapisan umat tidak dapat mengaksesnya. Tapi bukan berati Islam anti teknologi, hanya saja Islam berkomitmen memberikan kemudahan urusan rakyat. Jika ada yang mudah kenapa harus dipersulit. Ketika teknologi tidak digunakan untuk motivasi keimanan, justru akan menyengsarakan umat. Padahal teknologi adalah sesuatu yang dibolehkan syariat Islam dan dalam penggunaannya digunakan demi kemudahan dan kemaslahatan umat. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Rey Fitriyani
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments