Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

BBM dan LPG Naik, Rakyat Kian Tercekik


TintaSiyasi.com -- Sejumlah bahan bakar minyak (BBM) dan LPG nonsubsidi kompak naik. PT Pertamina (Persero) resmi menyesuaikan kenaikkan harga sejumlah bahan bakar minyak (BBM) serta LPG nonsubsidi mulai tanggal 10 Juli 2022 di masyarakat. 

Kenaikan harga meliputi Pertamina Turbo naik dari Rp. 14.500 per liter menjadi Rp. 16.200 per liter , Dexlite dari Rp. 12.950 per liter menjadi Rp. 15.000 per liter, Pertamina Dex naik dari Rp. 13.700 per liter menjadi Rp. 16.500 per liter serta LPG non subsidi seperti Bright Gas dan LPG 12 Kg harganya naik Rp. 2000 /kg (cnbc.com, 13/7/2022).

Penyesuaian ini memang terus dilakukan secara berkalà sesuai dengan Kepmen ESDM 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU). Penyesuian harga ini dilakukan mengikuti tren harga pada industri minyak dan gas dunia serta Contract Price Aramco (CPA) yang terus meningkat pada bulan Juli ini. Tercatat harga minyak ICP per Juni menyentuh angka US$ 117,62 /barel, lebih tinggi sekitar 37% dari harga ICP pada Januari 2022. Begitupula dengan LPG, tren harga (CPA) pada Juli ini mencapai US$ 725 /Metrix Ton atau lebih tinggi 13% dari rata-rata CPA sepanjang 2021 (Tirto.id, 10/7/2022).

Kondisi inilah yang mendorong pemerintah melakukan berbagai cara, mulai dari pembatasan penggunaan BBM subsidi melalui aplikasi digital hingga menaikkan harga.


Dampak Kenaikan BBM dan LPG

Banyak opini menganggap kenaikan BBM dan LPG tidak berdampak pada daya beli masyarakat. Faktanya, BBM dan gas bersubsisi sendiri makin dibatasi persediaan dan cara membelinya. Maka, kenaikan ini jelas berpengaruh pada naiknya harga pengeluaran. Pasalnya kenaikan ini akan mengerek kenaikan harga yang lainnya.  

Selain itu kenaikan harga BBM dan LPG ini dapat memicu hal negatif. Mulai potensi oplosan yang membahayakan, penimbunan, tingginya tindak kriminal, pengangguran dan kemiskinan. Sehingga rakyat kian tercekik apalagi pada situasi pandemi yang berkepanjangan.


Tata Kelola Kapitalistik Biang Keladinya

Sejak 2004, Indonesia telah menjadi net importir minyak akibat produksi minyak domestik tidak mencukupi kebutuhan. Penyebabnya kenaikan tingkat konsumsi tak diiringi dengan kenaikan tingkat produksi dalam negeri. Sehingga kebutuhan akan impor ini yang menjadikan harga BBM distandarkan terhadap minyak dunia.

Kenaikan minyak dan gas juga akibat dari tata kelola energi dengan paradigma kepemimpinan kapitalistik neoliberal di mana pelayanan publik harus sesuai mekanisme pasar, di mana negara harus menggunakan prinsip untung-rugi. Karena itu tidak heran BBM dan LPG yang merupakan kebutuhan utama rakyat yang harusnya bisa dinikmati dengan harga murah bahkan gratis semakin dibatasi pembeliannya hinga harganya terus mengalami kenaikan. 

Paradigma kepemimpinan dan tata kelola negeri yang berkiblat pada kapitalistik neoliberal bukan dalam kerangka mengurusi urusan umat (riayah umat). Melainkan, kepemimpinan yang berorientasi pada kekuasaan dan kepentingan segelintir golongan saja. Karena itu, meski negeri ini memiliki kekayaan sumber alam yang berlimpah, namun rakyat tidak bisa menikmati pemanfaatannya dg murah gahkan gratis. Sebab negara menyerahkan pengelolaan dan memberi keuntungan terbesarnya pada kelompok elit.


Dibutuhkan Paradigma Baru

Dibutuhkan sebuah paradigma baru dalam mengelola sumber energi di negeri ini. Dibutuhkan negara yang berpandangan hubungan mereka dengan rakyat adalah riayah (melayani) bukan berbisnis dengan prinsip untung rugi. Negara ini adalah Khilafah Islam.

Bahan tambang yang jumlahnya melimpah seperti minyak dan gas adalah termasuk harta kepemilikan umum dalam Islam. Status pemiliknya adalah rakyat (umat). Tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta maupun asing. Pengelolaannya dilakukan oleh negara yang mewakili umat dan pemanfaatannya digunakan untuk kemaslahatan umat seluruhnya yang semata-mta untuk mencukupi terpenuhinya kebutuhan energi umat.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, "Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api" (HR. Abu Daud).

Kapitalisme bertolak belakang dengan Islam. Islam berpijak pada kedudukan migas sebagai harta milik umum sehingga melarang untuk dioerjualbelikan menyerahkan kepada individu, swasta maupun asing untuk mengelolanya.

Khilafah akan menerapkan Islam secara keseluruhan, tidak menyerahkan kepada mekanisme pasar sehingga harga semakin mahal dan mencabut subsidi seperti paradigma kapitalisme.

Dengan gambaran tersebut, kita sebagai kaum Muslim seharusnya memilih sistem Islam dalam pengelolaan negeri ini untuk kemaslahatan umat, bukan melanggengkan sistem kapitalisme yang senantiasa terus menerus menambahkan beban hidup rakyat dengan kebijakan-kebijakannya. Saatnya kita umat Islam menyuaraka sistem Islam sebagai satu-satunya solusi untuk meringankan beban rakyat yang kian berat.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Nur Afifah
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments