Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tujuh Dampak Pengesahan RKUHP terhadap Relasi Penguasa dan Rakyat


TintaSiyasi.com -- Dosen online Universitas Online (Uniol) 4.0 Diponorogo, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati, S.Sos. membeberkan tujuh dampak pengesahan rancangan kitab undang-undang hukum pidana (RKUHP) pada Juli 2022 yang dinilai berbagai kalangan mengancam kebebasan berpendapat. 

"Pengesahan RKUHP oleh kekuasaan otoriter sebagai bentuk kriminalisasi penghinaan (kritikan) kepada pejabat negara akan berdampak terhadap relasi penguasa dan rakyat," tulis keduanya dalam Materi Kuliah Daring Uniol 4.0 Diponorogo: Pengesahan RKUHP Juli 2022: Gejala Otoritarianisme di Tengah Represi Demokrasi, di grup WhatsApp, Sabtu (18/06/2022). 

Prof. Suteki menyampaikan dampak pertama, yaitu relasi penguasa dan rakyat laksana bangsa penjajah dengan yang dijajah. 

"Inilah yang terjadi saat hukum didominasi syahwat kekuasaan. Rakyat seakan jadi musuh bahkan pihak tertentu digiring agar menjadi common enemy. Equality before the law, presumption of innoncence, retroactive principle, are just the myth that daily lie," ujarnya. 

Kedua, sebagai alat gebuk kekuasaan. Pakar hukum dan masyarakat tersebut memandang, penerapan hukum represif digunakan oleh rezim berkuasa untuk membungkam suara kebenaran dan keadilan rakyat, serta dipakai untuk menyingkirkan lawan politik.  

Puspita menjelaskan dampak ketiga adalah timbulnya 'killing effect', yakni masyarakat takut mengkritik pemerintah bahkan sekadar menyampaikan pendapat di media sosial.

"Berdasarkan survei Indikator Politik (Oktober 2020), sebanyak 69,6 persen responden menyatakan 'setuju dan sangat setuju' bahwa warga semakin takut berpendapat. 73,8 persen responden 'setuju atau sangat setuju' warga makin sulit berdemonstrasi atau protes. Kemudian, 64,9 persen responden 'setuju atau sangat setuju' aparat makin semena-mena menangkap warga yang orientasi politiknya bukan penguasa saat ini," paparnya. 

Keempat, ia menyebut kebebasan berpendapat akan terancam. Menurut analis politik dan media itu, rakyat enggan mengkritik pemerintah jika sedikit-sedikit diancam akan dibui atau dipanggil, terlebih mengkritisi negara kerap kali dituduh melawan negara atau distigma menjadi kelompok tertentu.

Adapun kelima, Prof. Suteki mengindera bisa terjadi kegaduhan dan potensi konflik antarkalangan masyarakat. 

"Rancunya diksi penghinaan dan kritik, juga definisi kerusuhan dalam pasal 240 bisa menyebabkan kegaduhan di tengah masyarakat. Pun memicu pro kontra pada akar rumput," cetusnya. 

Dampak keenam, ia memprediksi RKUHP bakal mengeksiskan rezim otoriter dan sistem sekularisme kapitalis liberal. 

"Jika mulut rakyat terbungkam, penguasa akan leluasa membuat kebijakan sesuai syahwat politiknya. Tak ada lagi kontrol dan kritik saat penguasa tak memenuhi hak rakyat atau tak menjalankan aturan Allah dalam mengelola urusan rakyat. Selanjutnya, sistem sekuler nan zalim tetap eksis memandu rezim mengatur negara," ulas Guru Besar Fakultas Hukum Undip ini. 

Ketujuh, Puspita menambahkan, kezaliman terus berlangsung dan kerusakan kian meluas. 

"Inilah bahaya terbesar saat amar makruf nahi mungkar tidak berjalan," tegasnya. 

Di akhir mereka menegaskan bahwa pengesahan RKUHP akan menjadi alat represi membungkam suara kritis. 

"Alih-alih memberikan pengaturan yang memberikan rasa nyaman, kehadirannya justru mengeksiskan rezim otoriter dan antikritik," pungkas mereka.[] Alfia Purwanti
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments