TintaSiyasi.com -- Dijadikannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi lembaga penegak hukum yang paling tidak dipercaya publik berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pada 18-24 Mei 2022, dinilai Peneliti Indonesia Justice Monitor Dr. Erwin Permana sebagai cermin buruk upaya pemberantasan korupsi.
"Hal itu menjadi cermin buruk pemberantasan korupsi di negeri ini yang dibuktikan oleh survei publik tersebut," katanya kepada TintaSiyasi.com, Senin (13/6/2022)
Menurutnya, bagaimana mungkin publik percaya dengan KPK ketika publik mengetahui kasus megakorupsi tidak disentuh oleh KPK. "Sebut saja, misalnya Jiwasraya, Asabri, Harun Masiku, saudara Bambang Susatyo juga pernah bilang bahwa APBN menguap 40 persen karena korupsi. Namun tidak ada yang dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman mati," sebutnya.
Malah, lanjut Erwin, KPK sibuk membuat sensasi, misalnya dengan kasus tes wawasan kebangsaan, dengan memangkas orang-orang yang berkinerja tinggi. "Sepertinya ke depan wajah pemberantasan korupsi oleh KPK belum akan terlihat cerah," yakinnya.
Ia memaparkan, bagaimana rezim membuat KPK menjadi sedemikian lemah dalam menghadapi korupsi kelas kakap. "Era reformasi ini ditandai semakin kuatnya korporatokrasi (oligarki), simbiosis antara penguasa dan pengusaha. Untuk membiaya ongkos politik yang mahal. Termasuk rezim ini yang secara kasat mata terlihat sangat di-back up oleh para oligarki," paparnya.
Para oligarki, yakni segelintir orang super kaya di Indonesia, menurut Erwin, kekayaannya patut diduga hasil dari kong kalingkong dengan para pengambil kebijakan melalui serangkaian proyek-proyek pemerintah.
"Hanya para oligarki yang berpotensi mampu menjadi koruptor kelas kakap. Sebab mereka yang punya akses kebijakan dan mengendalikan pengambil kebijakan. Bagaimana mungkin rezim ini mampu menghadapi tuannya sendiri? Kecuali kalau sudah bosan berkuasa," jawabnya.
Penyebab Korupsi
Ia menjelaskan beberapa aspek yang membuat korupsi di negeri pancasila korupsi menjadi marak, diantaranya. Pertama, life style (gaya hidup).
Ia mengatakan pelaku korupsi itu bukan orang-orang miskin, akan tetapi mereka yang sudah sangat tajir melintir. Tapi karena mereka hidup pada sauatu ekosistem dengan life style jet set, sehingga selalu muncul keinginan-keinginan yang berlebihan.
Misalnya, lanjut Erwin, mereka ingin mempunyai vila di mana-mana. Mempunyai mobil mewah dengan berbagai merek. Kalau sudah punya ingin, punya pesawat pribadi. Istrinya ingin punya tas Hermes. Dan mereka siang malam berusaha mewujudkan keinginan-keinginan tersebut.
“Bagaimana caranya agar cepat terwujud? Ya korupsi," kata Erwin.
Kedua, demokrasi biaya tinggi. Tidak ada demokrasi berbiaya rendah. Karena pesta demokrasi butuh sosialisasi, butuh kampanye, butuh media.
"Ini semua mahal, maka untuk menjadi bupati, Mandagri bilang setidaknya butuh 30 milliar. Kalau menjadi gubernur bisa mencapai ratusan miliar bahkan triliunan. Jika mereka berhasil menduduki jabatan tertentu, tentu yang dilakukan mengambalikan modal plus untungnya," ungkap Erwin.
Ia mengatakan, balik modal dalam hitungan bisnis itu rugi, karena ada time value of money. Maka harus ada untung. "Dengan cara apa agar modal cepat kembali berikut untung? Yang paling ringkas ya korupsi," katanya.
Ketiga, hukuman koruptor yang rendah. Temuan ICW rata-rata hukuman para koruptor hanya sekitar 3 tahun. Sedangkan kerugian pada pada tahun 2020 mencapai Rp57 triliun. Sedangkan pada tahun 2019 Rp12 triliun.
"Sangat tidak sebanding antara kejahatan yang mereka lakukan dengan hukuman yang mereka terima," pungkasnya.[] Nabila Zidane
0 Comments