TintaSiyasi.com -- Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. mengungkapkan, bagaimana memahami Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ini dengan hati, lakukan komunikasi hukum dengan baik.
“Bagaimana memahami RKHUP ini dengan hati, lakukan komunikasi hukum dengan baik,” tuturnya dalam acara Perspektif PKAD: RKUHP Mau Disahkan, Penegakan Hukum atau Alat Politik di kanal Pusat Kajian dan Analisis Data, Jum’at (17/06/2022).
Prof. Suteki mengatakan, masyarakat wajib dilibatkan. “Wajib ada sounding dan partisipasi masyarakat. Dibuka sedikit, kemudian ada masukan-masukan. Perlu dimunculkan lagi draf yang terakhir, draf terbaru,” katanya.
Lebih lanjut, ia membeberkan, bagaimana komunikasi itu dibangun dengan mengajak bicara dan melibatkan masyarakat. Melakukan komunikasi hukum dengan baik dan hati-hati tentang materi RKUHP.
“Kalau sekarang belum terlanjur, itu yang draf terbaru dibuka, diekspos lagi, dikaji lagi di universitas-universitas, dengan ormas, dengan lembaga negara, perguruan tinggi itu dipakai. Untuk mengkaji ini lagi, bukan dari nol, tetapi kita misalnya mintakan pendapat akhir tentang draf terbaru dari RKUHP. Ini kenapa tidak dilakukan?” tanyanya.
Patuh Hukum
Prof. Suteki juga menjelaskan bahwa ada dua faktor utama mengapa rakyat bisa atau mau mematuhi hukum.
“Dalam buku yang berjudul Why People Obey the Law, ada dua faktor utama mengapa rakyat itu bisa atau mau mematuhi hukum. Pertama, yang disebut dengan instrumen perspektif baku. Kedua, normatif perspektif," jelasnya.
“Instrumen perspektif itu mengutamakan andalannya adalah pejabat, aturan, dan sangsinya. Ada sarana untuk memaksa orang patuh itu melalui aturannya. Jadi aturan harus tegas tidak ambigu, pejabat yang harus dipercaya punya integritas, lalu sangsinya harus tegas tidak bisa sembarangan, apakah sangsi itu ke perdata atau pidana itu harus dipikirkan," bebernya.
“Yang membuat orang sadar hukum normatif perspektif, ini yang disentuh adalah persoalan kesadaran hukum masyarakat. Kenapa masyarakat sadar hukum? Karena mereka merasa membuat undang-undang. Ada perlemen yang memilih adalah rakyat, mestinya parlemen itu mewakili rakyatnya. Kalau Rakyatnya merasa juga membikin peraturan maka, dia akan malu untuk tidak menjalankan peraturan itu,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, kalau masyarakat jauh dari hal tersebut, maka rakyat tidak ikut membikin, mereka justru merasa terancam. "Hukum yang semacam ini sifatnya responsif. Hal ini yang justru sebenarnya akhirnya akan mencari celah-celah dan seterusnya tidak patuh pada hukum. Tetapi selalu mencari celah-celah hukum bagaimana mensiasatinya,” pungkasnya.[] Isty Da’iyah
0 Comments