Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

FAKKTA: Pangkal Masalah Kenaikan Listrik, Pengelolaan SDA yang Liberal


TintaSiyasi.com -- Peneliti Forum Analisis Kebijakan dan Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menegaskan pangkal masalah kenaikan tarif listrik karena pengelolaan sumber daya alam yang liberal. 

“Pangkal masalah PLN (Perusahaan Listrik Negara) itu adalah masalah pengelolaan sumber daya alam yang liberal, akibatnya, harga komoditas yang menjadi sumber pembangkit PLN menjadi mahal,” ujarnya kepada TintaSiyasi.com, Selasa (14/06/2022). 

Menurutnya, batu bara, misalnya, mencakup 63 persen bauran pembangkit PLN. Namun, semua batu bara itu dibeli dengan harga yang mahal, jauh di atas biaya produksinya. Saat ini rata-rata harga produksi sekitar 35 dolar AS per ton, tetapi dijual ke PLN dua kali lipat dengan harga 70 dolar AS per ton. 

“Hal ini karena mayoritas produsen batu bara adalah swasta. Coba kalau itu dikelola oleh negara dan komoditas itu tidak dipandang sebagai komoditas bisnis maka harga jual ke PLN akan jauh lebih murah, sehingga biaya pokok produksi listrik PLN menjadi lebih murah,” ujarnya. 

Ia menerangkan, masalah lainnya adalah 35 persen pembangkit listrik PLN dipasok oleh perusahaan swasta atau yang disebut independent power producer (IPP). Mereka ini menjual listrik ke PLN dengan harga pasar, baik listriknya diserap konsumen ataupun tidak. Dengan demikian, harga yang ditanggung PLN lebih mahal dibandingkan jika diproduksi sendiri. 

“Dan celakanya tren pasokan dari IPP terus meningkat, sehingga ke depan berpotensi akan menjadi dominan sehingga PLN hanya sebagai pengecer listrik saja,” tambahnya. 

Ishak menekankan, selain itu, PLN dalam beberapa tahun terakhir menanggung utang jumbo. Per tahun 2020 nilainya mencapai Rp650 triliun, sehingga BUMN itu harus membayar bunga yang cukup besar. “Kondisi tersebut menyebabkan biaya pokok produksi PLN menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga jualnya. Inilah yang kemudin disebut subsidi,” bebernya. 

Ia menjelaskan, semua itu terjadi lantaran Indonesia mengadopsi konsep kapitalisme dalam pengelolaan energi. Padahal jika negara ini mengadopsi sistem Islam, maka masalah listrik ini tidak akan menjadi masalah besar. 

Di dalam Islam, ungkap Ishak, seluruh barang tambang yang depositnya besar seperti minyak bumi, gas, dan batu bara, dikuasai negara. Sebab barang-barang itu masuk kategori milik publik yang peruntukannya untuk rakyat. Dengan demikian biaya produksi listrik menjadi lebih murah atau bahkan bisa gratis. 

“Pengelolaan SDA tersebut juga akan meningkatkan pendapatan negara sehingga pemerintah dan PLN tidak perlu berutang untuk membiayai operasionalnya,” pungkasnya.[] Riana Magasing
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments