TintaSiyasi.com -- Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr. Epi Taufik, SPt, MVPH, MSi mengatakan kesehatan hewan kurban harus dibuktikan dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH).
"Kesehatan hewan kurban harus dibuktikan dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH)," ujarnya kepada TintaSiyasi.com, Kamis (16/6/2022).
Ia menjelaskan, SKKH tersebut harus berasal dari otoritas dokter hewan yang memeriksa tempat asal hewan tersebut dan pastikan sehat hingga hari H untuk dipotong. Karena bisa saja dua hari sebelum hari H hewan terjangkit virus penyakit mulut dan kuku (PMK).
"Impor sapi dari India itu tidak ada, yang ada impor daging kerbau beku. Namun, ini kan belum ada rilis resmi serotipe jenis apa. Memang ada yang menyebut dari India, tetapi selama belum ada pernyataan resmi, maka kita tidak boleh menduga," ungkapnya.
Epi mengatakan, kalau memang tipe dari India, belum tentu ternaknya atau produk hasil ternaknya dari India.
"Contohnya di Inggris tahun 2001, ternyata serotipe virusnya PMK term Asia. Padahal, kan jauh Inggris dengan Asia. Kemungkinan virus itu dibawa oleh orang Asia karena virus sendiri bisa menempel di mana saja, misalkan di celana, sepatu dan tahan entah berapa lama, bahkan bisa menyebar lewat udara," katanya.
Ia menceritakan, adanya penumpang pesawat dari Asia yang membawa virus kemudian tercemar ke sisa makanan di pesawat tersebut, dan ternyata sisa makanan diberikan ke peternakan babi di sekitar bandara.
"Itu salah prosedur. Maka, virus merebak di sana. Seharusnya sisa makanan dari pesawat dimusnahkan," tegasnya.
Maka dari itu, ungkap Epi, belum diketahui dan belum tentu dari India, sebab impor sapi atau ternak hidup dari India tidak ada. Begitupun, apakah virus tersebut berasal dari daging beku impor dari India, belum tentu juga.
"Selama ini daging beku tanpa tulang dan jaringan pertahanan tubuhnya sudah diambil, risikonya sangat rendah," imbuhnya.
Ia menegaskan, masyarakat harus menunggu. Fokus pemerintah sekarang dan para sosiolog peternakan adalah pada penanganan virus PMK.
"Direktur Kesehatan Hewan (Keswan) dan Direktur Jenderal Peternakan pernah mengatakan, diduga impor ilegal domba atau kambing dari Thailand atau Malaysia. Jika benar ternak tersebut membawa virus PMK term dari India, belum tentu juga langsung dari India, dan yang jelas tidak ada impor sapi, kambing, dan domba hidup dari India," bebernya.
Ia menjelaskan, sebenarnya sudah ada surat edaran dari Kementerian Pertanian bahkan ada fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) meski berbeda dengan hasil Bahtsul Masa'il Nahdatul Ulama (NU) tentang bagaimana antisipasinya sudah lengkap.
"Ada perbedaan antara fatwa MUI dengan hasil Bahtsul Masa'il NU tentang kebolehan sapi atau ternak yang terkena PMK yang masih gejala ringan," ungkapnya.
Kemudian ia membeberkan, kalau MUI membolehkan, sedangkan dari NU tidak membolehkan hewan tersebut dijadikan hewan kurban. karena NU menilai, walaupun sakit ringan, jika dibuka atau dipotong di berbagai tempat akan menjadi peluang untuk menyebarkan virusnya, bukan berbahaya terhadap manusianya.
Sebab PMK bukan zoonosis dan tidak berbahaya, baik daging maupun susunya untuk manusia, tetapi menjadi sarana pencemaran yang dikhawatirkan oleh NU. Dengan dasar, Bahaya harus dihilangkan. Kemudian ia menambahkan dengan membacakan dasar yang lainnya, Menolak bahaya didahulukan daripada menarik manfaat.
"Maka dari itu, hewan yang tercemar PMK, meskipun dianggap ringan, dianggap membahayakan dalam konteks menyebarkan. Makanya, NU melarang." tutupnya.[] Nurmilati
0 Comments